Yockie Suryo Prayogo In Rock Menjilat Matahari

Sebuah pembelajaran bagaimana mendesain komposisi ingar-bingar tanpa  menistakan unsur harmoni

“Sajak ini tentang asal-muasal masyarakat nusantara. Saya mau lewat konser ini kita dapat berdaya di negeri kita sendiri. Pasar ini milik kita sendiri.”

Kalimat di atas diucapkan Yockie sebagai prolog dari pertunjukan Yockie Suryo Prayogo in Rock Menjilat Matahari, 11 Oktober lalu di The Pallas, SCBD, Jakarta. Penulisnya adalah N Riantiarno, pentolan Teater Koma. Judulnya “Ladangku Yang Subur”. Entah untuk apa sapaan bernada prihatin ini diluncurkan, karena jelas mengandung makna bahwa pasar musik Indonesia belum sepenuhnya dikuasai tuan rumah negeri ini.  Yang empunya hajat lantas menggulirkan jemari di atas keyboard, mengeluarkan bebunyian lirih dan berwarna psychedelic. Andy/rif membacakan teks sajak di tangannya dengan hati-hati, bercerita tentang awal mula lahirnya kehidupan di Nusantara. Jangan pernah mencari tahu dari album mana lagu ini dipetik karena Yockie memang belum pernah merekamnya, namun ia sempat membawakannya saat mengelar Rock Opera di Jakarta, 15 Agustus 2002.

Masih dalam warna yang sama Nicky Astria kemudian menyambung dengan “Misteri Cinta”. Dirombaknya aransemen, termasuk penurunan tempo, menjadikan lagu rock klasik ini terasa menyatu dengan lagu pembuka tadi. Alam bawah sadar penonton seakan dibimbing untuk memahami alasan dimunculkannya lagu ini sungguh pun bukan ciptaaan Yockie. Dan, hingga memasuki refrain, Nicky praktis hanya berpatokan pada denting gitar akustik yang dimainkan oleh Edi Kemput. Ia tidak menyanyi dengan gaya powerful seperti biasanya. Baru ketika Andy/rif mengambil-alih dengan membawakan “Kehidupan”, tensi pergelaran mulai memasuki jantungnya. Tata lampu pun segera berpendaran.  

Diambil dari album Semut Hitam (1988), lagu ini menandai bergabungnya kembali Yockie dengan God Bless pada 1987, dan merupakan fase baru band rock tersebut mulai memainkan heavy metal. Menebar banyak hits seperti “Semut Hitam”, “Rumah Kita” atau “Bla Bla Bla”, penjualan album ketiga ini terbilang laris sehingga disebut-sebut sebagai karya terbaik God Bless. Berbeda dengan versi rekaman, kini intronya diwarnai oleh solo pendek keyboard, namun memang riff gitarnya sangat ikonik.  

Konser Menjilat Matahari merupakan episode baru dari eksibisi perjalanan kariernya. Setelah sukses menggelar LCLR Plus Yockie Suryo Prayogo di Balai Kartini, Jakarta, 1 Oktober 2015, kali ini giliran tampil komposisi-komposisi  bernapas rock yang dirangkum dari kebersamaannya dengan Kantata Takwa, God Bless, Chrisye, dan Nicky Astria. Musisi pengiringnya pun adalah mereka yang terbiasa memainkan musik cadas. Gitaris Edi Kemput dan drummer Rere, dua personel Grass Rock, kemudian gitaris Totok Tewel dan pemain keyboard Krisna Prameswara. Untuk membangun dinamika pertunjukan, hadirkan musisi generasi lebih muda: pemain biola Didiet, pemain akordeon Windy Setiadi, dan gitaris Nara Putra Prayinda yang juga adalah putra Yockie. 

Judul acara ini diambil dari salah satu lagu hit ciptaannya yang terdapat pada album Raksasa (1989). Dari sini juga lahir “Maret 1989” yang malam itu dinyanyikan secara duet oleh Andy/rif dan Aryo Wahab. Publik kerap menyebut judul lagu ini “Satanic Verses”, mengacu pada temanya yang bercerita seputar kontroversi sosok Salman Rusdhie. Pada titik ini para musisi diberi kesempatan untuk melakukan aktraksi instrumen masing-masing. Gitar Edi Kemput dan Totok Tewel saling menyalak, bas Daeng Oktav berdentam, dan keyboard Krisna menjerit-jerit, berbaur dengan tepuk riuh penonton.   

Tidak hanya musisi yang diberi kebebasan untuk menciptakan interpretasi sendiri, para vokalis juga. Menurut Ariyo Wahab, Yockie menginginkan sesuatu yang berbeda dari bentuk yang sudah ada.  ”Itulah tantangan dan justru kebahagiaan bagi saya,” katanya saat ikut melakukan jumpa pers di di Gedung Mega, Jakarta Selatan, pada 3 Oktober.

Lagu-lagu yang dibawakannya, baik secara solo maupun duet bareng Andy/rif dibuat saat kultur musik dari Eropa dan Amerika menyerbu Indonesia pada dekade 1970-an. “Saat itu saya memainkan musik Jimi Hendrix, Queen, U2, Deep Purple, The Rolling Stones, Genesis, dan lainnya. Karena merekalah inspirasi saya dalam bermusik.”

Jejak Genesis ini dapat dirasakan pada pola permainannya ketika terlibat dalam pembuatan soundtrack Badai Pasti Berlalu (1977) bersama Chrisye (vokal, bas) dan Fariz RM (drum). Album yang sebelumnya dipersiapkan untuk mengisi ilustrasi film berjudul sama ini sarat oleh denyut art rock. Setidaknya dapat dijadikan cermin bagaimana sebuah keterpengaruhan secara perlahan-lahan menjelma menjadi milestone sejarah musik pop Indonesia.  Pencapaian estetisnya tak perlu diurai lagi. Majalah ini menempatkannya di peringkat pertama dalam daftar “150 Album Indonesia Terbaik” yang terbit pada Desember 2007.

Pada 1990 Yockie ikut mendirikan Kantata Takwa bersama Setiawan Djodi, WS Rendra, Iwan Fals, dan Sawung Jabo. Seharusnya kelompok ini juga beranggotakan Harry Roesli, namun almarhum belakangan mengundurkan diri karena faktor domisili.  Perjalanan musik Yockie pun mulai menyentuh ranah sastra dan teater. Inilah kumpulan yang terbentuk dari diskusi panjang tentang berbagai topik. ‘Campur tangan’ WS Rendra segera mengibarkan wibawa Kantata Takwa sebagai kelompok yang sangat diperhitungkan. Konsernya di Stadion Gelora Bung Karno, 23 Juni 1993, ditonton oleh lebih dari seratus ribu orang. Hingga kini rekor tersebut mungkin belum terpecahkan.

Dua buah lagu, “Orang-Orang Kalah” dan “Kesaksian”,  malam itu dimainkan dengan rasa baru. Setiawan Djodi memang masih nampak di sana, namun Iwan Fals dan Sawung Jabo urung hadir.

“Sebenarnya saya mengundang juga Iwan (Fals) dan Sawung Jabo, tetapi berhalangan karena yang bersangkutan ada latihan,” ujar Yockie sebelum memanggil Budi Cilok yang memang memiliki karakter vokal mirip Iwan Fals. Parade gitar pun segera membuat panggung terdengar riuh, namun tetap memberi kesadaran bahwa permainan Yockie-lah ‘bintang’ aransemen lagu tersebut.

Kebersamaan Yockie dengan Kantata Takwa hanya berlangsung satu album saja. Pada proyek selanjutnya, Kantata Takwa Samsara, namanya sudah tidak lagi tercantum. Saat saya menanyakannya dalam sebuah obrolan, ia menjawab melalui sebuah argumen. “Bagi gue Kantata sudah selesai dengan kepergian Mas Willy (WS Rendra).” Ini seperti mematahkan asumsi publik bahwa kedahsyatan nama Kantata Takwa  disebabkan oleh figur Iwan Fals.

Bak pemain sirkus, perjalanan karier Yockie Suryo Prayogo bergerak lincah di antara beragam genre. Permainan jemarinya berkelindan dengan berbagai musisi lintasgenerasi. Sikap bermusiknya yang fleksibel antara lain dirasakan oleh personel Pure Saturday yang pernah berkolaborasi baik di panggung maupun rekaman.

Pada 2011, penyelenggara Djakarta Atmosphere menyodorkan nama Benny Soebardja dan Mus Mudjiono untuk tampil sepanggung dengan band indie asal Bandung itu. Namun formasi mereka sendiri sudah memiliki tiga gitaris. Setelah berunding, akhirnya dengan berdebar mereka memilih Yockie.

“Bagi kami permintaan ini sebenarnya mustahil banget mengingat nama besarnya,” kenang Ade Purnama, pemetik bas Pure Saturday, yang mengaku terkejut mengetahui lamarannya ternyata disambut baik. Dari panggung Djakarta Atmosphere kerja sama berlanjut ke rekaman. Rupanya mereka mengincar sound Hammond-nya yang khas itu untuk mendapatkan aura Deep Purple, Uriah Heep, dan Barry Palmer. Yockie mengisi dua buah lagu dalam album Grey (2013): “The Horsemen” dan “Albatross”. Proses pengerjaannya diwarnai suasana tegang.

“Waktu itu kami mendapat jadwal di studio DSS (milik Donny Hardono) pukul 15.00, tapi kami sudah hadir di sana pukul delapan pagi. Latihan dulu,” kenang Ade terkekeh. 

Pergelaran Menjilat Matahari mestinya menjadi sebuah tontonan menarik jika melihat konsep materi dan susunan musisinya. Sayang, daya tarik tersebut tak sepenuhnya sampai ke penonton karena kurang didukung kualitas tata suara. Sound gitar kerap timbul tenggelam seperti halnya vokal para penyanyi yang kerap tertelan gaung keyboard.     

Dari 14 lagu yang dibawakan selama hampir dua jam, tiga di antaranya sudah pernah dimainkan dalam LCLR Plus Yockie Suryo Prayogo, yaitu “Serasa”, “Djuwita”, dan “Jurang Pemisah”. Ketiga lagu yang pernah ngetop berat ini tampaknya tetap diperlukan sebagai katalis untuk memunculkan kegembiraan di ruang pertunjukan. Jika benar, kiat ini cukup berhasil. Hampir seluruh penonton yang memenuhi The Pallas turut menyanyi dan bergoyang. Nada-nada indah serta lirik yang memabukkan membius mereka ke saat-saat masih menjadi remaja gaul.

Namun jika pergelaran malam itu dimaksudkan sebagai sebuah antologi, pengulangan tadi terasa sebagai sebuah kesia-siaan. Akan lebih memberi makna jika diisi dengan karya lainnya yang selama ini belum pernah diusung ke panggung. Jangan lupa, Yockie pernah melahirkan proyek ambisius.  Masih ingat Musik Saya Adalah Saya (1979)? Konsepnya memotret fenomena sosial dari sudut pandang idealisme seorang musisi. Tentang industri musik yang tengah dijajah para produser. Melalui narasi yang disampaikan Kasino, kita diberi gambaran bagaimana para cukong rekaman–istilah populer ketika itu–mendikte musisi agar mengikuti kemauan mereka.

Musik Saya Adalah Saya menginformasikan dua hal: pertama, penguasaan wawasan penggagasnya tentang dinamika yang terjadi dalam industri musik ketika peran kesenian dibonsai semata-mata demi mengejar komersialisasi. Kedua, ide paparan yang dikemas semi-orkestra memperlihatkan kefasihan Yockie atas persoalan komposisi. Ini album rekaman yang tidak biasa. Pendukungnya tercatat  antara lain Rafika Duri, Harvey Malaiholo, Chrisye, Berlian Hutauruk, Bram Manusama, Andi Meriem Matalatta, Keenan Nasution, Achmad Albar, dan Idris Sardi.  Jangan lupa, usianya baru 25 tahun  saat berkolaborasi dengan maestro biola itu. Toh dia sudah membekali dirinya dengan keberhasilan LCLR Prambors 1977,  LCLR Prambors 1978, dan Badai Pasti Berlalu.

Secara kreatif, inilah puncak pencapaiannya sebagai musisi. Bahwa awam susah mencerna ide musikalnya itu persoalan lain. Bukankah kreativitas tidak harus selalu dibentur-benturkan dengan nilai komersialisasi?

Awal dekade 1980-an merupakan periode kerja samanya yang panjang dengan Eross Djarot dan Chrisye, salah seorang tambang emas label yang bermarkas di kawasan Pancoran, Jakarta Selatan, ini. “Studio di Musica sudah seperti milik pribadi. Kapan gue mau rekaman tinggal bilang, he-he.”

Proyek lainnya yang perlu mendapat perhatian lebih adalah Suket, band dengan formasi Naniel (flute, suara latar), Jalu (kendang, perkusi), Edi Kemput (gitar), Rere (drum), Didiet Shaksana (bas) dan Ancha Haiz (vokal). Suket, menurutnya, adalah sejenis rumput liar yang tumbuh di mana-mana. Melalui album Potret Zaman (2013), Yockie secara sadar telah meninggalkan keunggulannya dalam merekayasa bebunyian indah untuk kemudian melakukan pergumulan dengan berbagai problema sosial. Sebuah ‘ilmu’ yang ia akui diolahnya dari pergaulan dengan lingkungan teater.     

Yockie Suryo Prayogo adalah sosok yang selalu bersemangat ketika berbicara hakikat seni pop modern. Dalam Menjilat Matahari ia berusaha mempertahankannya, sungguh pun kesehatan yang terus merosot membuat dirinya terlihat ringkih. Musik baginya bukan lagi sekadar profesi, melainkan sudah menjadi bagian dari napasnya. Ia sudah mengisyaratkannya dalam wawancara dengan majalah Rolling Stone pada 2011.     

 “Karya saya adalah satu-satunya martabat yang dapat saya persembahkan bagi anak dan cucu saya kelak ketika sudah tidak ada lagi di dunia yang fana ini.” (*)

Leave a comment