Tantri Syalindri Ichlasari merebahkan diri. Kaki kanan bertelekan kaki kiri yang ditekuk sekenanya. Dengan tangan menggenggam mikrofon, ia melantunkan “Pelan-Pelan Saja”. Rocker yang namanya menjulang ini bukan tengah menghafal lirik salah satu lagu milik bandnya, Kotak. Ia juga bukan tengah leyeh-leyeh di ranjang beralaskan kasus empuk, melainkan tiduran di bibir panggung. Tepatnya di atas stager kecil terbuat dari rangka besi. Tidak jauh darinya terlihat Cella dan Chua, gitaris dan pemain bas Kotak, anteng dengan instrumennya masing-masing.
Ibu muda yang belum lama dikaruniai seorang putra ini kemudian melompat. Tubunya nampak bersimbah peluh. Teriakannya terdengar lantang seakan hendak merobek langit malam. Di hadapan penonton yang terus-menerus meneriakkan namanya, Tantri seperti sedang memeragakan bagaimana seorang penyanyi musik keras seharusnya beraksi.
Adegan di atas merupakan rangkaian dari Super Raw Fest 2017 yang digelar oleh Lima Production di enam kota Jawa Barat, yaitu Garut, Cirebon, Banjar, Purwakarta, Cianjur, dan Bandung. Tugas Kotak membuat semacam ‘pemanasan’ sebelum /rif dan God Bless melakukan gempuran.
Tampil sepanggung dengan para seniornya tidak membuat nyali personel Kotak menjadi ciut. Memasuki usia karier ke-11 tahun, trio jebolan festival Dream Band ini tampak semakin solid saja. Selama hampir satu jam ketiganya menguasai panggung dengan lagu-lagu pilihan seperti “Terbang”, “Satu Indonesia”, “Tendangan Dari Langit” , “Beraksi” atau “Pelan-Pelan Saja” yang begitu ditunggu para Kerabat Kotak, sebutan untuk penggemar mereka. Tantri semakin fasih membangun komunikasi dengan penonton. Bahkan tanah Sunda seperti memberi penyanyi kelahiran Tangerang ini energi lebih dalam melahirkan lelucon kedaerahan yang mengundang tawa.
Penampilan Kotak yang terlihat ekspresif tidak lepas dari dukungan tata lampu mewah yang mampu memberi aksen pada setiap lagu. Terjawab sudah salah satu titik lemah dunia pertunjukan musik selama ini, yaitu permainan tata lampu yang jarang berhasil memberi makna pada pesan sebuah lagu. Kali ini mata penonton sungguh dimanjakan. Selama tiga jam penuh panggung menjadi sebuah tontonan yang tidak membosankan.
Sekarang perhatikan bagaimana /rif membuka atraksinya dengan menempatkan Ovy dalam bentuk siluet, berdiri kokoh di tubir panggung dalam siraman warna putih. Dari sana gitarnya menyalak . Itulah intro “Loe Tu Ye”. Meski berlangsung tidak lebih dari satu menit, kesan misterius ini terekam kuat dalam ingatan. Lalu pada saat lagu “Bunga”, video wall menyajikan hamparan bunga dengan dominasi warna kuning. Terkesan harfiah memang, namun Yoni Wijoyo, lighting designer dari Zoom Management, tampaknya tahu betul siapa penikmat karyanya kali ini. Mereka adalah anak muda sekelas SMU, atau bahkan SMP, yang datang ke tempat pertunjukan untuk melihat dari dekat musisi idolanya atau sekadar berjingkrak untuk lagu favoritnya. Mereka tidak cukup memiliki waktu guna mencerna esensi suguhan multimedia yang terus-menerus berubah bentuk.

Sebagai band yang besar di kafe, /rif punya reputasi cemerlang dalam hal menghibur. Selalu tampil dengan kostum glamor dan sangat cermat mengisi kekosongan panggung. Di luar hal itu, Andy-lah pusat perhatiannya. Dengan gaya sedikit flamboyan, cowok bernama lengkap Restu Triandy ini mampu memancing tepuk tangan bahkan untuk lagu yang kurang dikenal sekali pun. Dengan dua gitar yang berpacu menebar distorsi, sesunggguhnya band ini nyaris tampil paling maskulin. Sayang, sound engineer mereka sepertinya kurang mengenal karakteristik musik /rif dengan baik. Pada beberapa lagu terjadi penumpukan suara. Kemampuan showman ship Andy yang berhasil mengalihkan perhatian penonton dari gangguan tersebut.
Berbeda dengan tema lagu-lagu Kotak dan /rif yang yang umumnya berceloteh seputar dunia remaja, seperti “Pelan-Pelan Saja” atau “Jeni”, God Bless yang muncul di urutan terakhir cenderung menyuarakan tema global seperti “Kepada Perang”, yang pertama kali dipopulerkan oleh Gong 2000. Sebuah bentuk kebosanan terhadap segala pertikaian. Lagu berirama cepat ini menawarkan interlude nan megah, dan sejak dulu memang selalu ditempatkan sebagai nomor pembuka. Sayang penonton yang umumnya berusia belasan tahun tak banyak yang mengenalnya.
Sambutan baru menghangat ketika “Menjilat Matahari” dibawakan. Ratusan tangan segera mengacung ke udara. Di panggung, video wall memperlihatkan bola dunia yang membara seakan ingin menegaskan suasana kritis. Sound gitar Ian Antono membuat lagu yang aslinya dibawakan oleh God Bless formasi Eet Syahranie ini menjadi terdengar pangling.
Sesungguhnya tampil di hadapan mayoritas penonton berusia muda cukup berisiko bagi band yang terbentuk pada paruh tahun 1970-an seperti God Bless. Ada pemutusan subkultur yang mengakibatkan rasa asing pada antargenerasi. Namun kekuatan lagu-lagu mereka yang mampu menembus segala lapisan usia membuat God Bless tidak sampai kehilangan dukungan. Sebagian besar dari mereka ikut menyanyi pada lagu “Rumah Kita”, “Syair Kehidupan”, maupun “Panggung Sandiwara”. Beberapa di antaranya bahkan sambil menyalakan lampu telepon seluler. Pastilah maksudnya biar lahir efek suasana romantis.
Kotak, /rif, dan God Bless adalah band panggung dengan produksi suara yang memekakkan gendang telinga. Dapat dibayangkan tingkat keriuhannya saat ketiganya tampil bareng menyanyikan “Semut Hitam”. Getarannya seperti hendak merobohkan tempat berpijak. Nampaknya secara simbolis pihak Lima Production ingin menampilkan kebersamaan. Ini terlihat dari dialog instrumen yang dirancang. Chua (Kotak), Teddy (/rif), dan Donny Fattah (God Bless) tampil melalui permainan bas solo. Pada bagian lain Tantri, Andy, dan Achmad Albar saling bersahutan. Suasana semakin riuh rendah karena di bawah sana penonton pun ikut membentuk koor dengan tak kalah bersemangat.

Ide dasar acara ini berawal dari upaya mengangkat kembali musik hard rock yang belakangan terasa semakin langka. Panggung cadas selama ini lebih sering mengetengahkan aliran variannya seperti speed metal, thrash, death metal, alternatif, dan entah apa lagi. Hard rock sebagai genre yang tetap mempertahankan harmonisasi sekaligus akar dari segala subgenre musik keras nampaknya sudah dianggap konvensional. Di Amerika sendiri, sebagai pusat peradaban musik rock, hard rock mulai tersisih terutama sejak Kurt Cobain mengobarkan revolusi anti hero yang membuka kesadaran baru bahwa untuk menjadi musisi seseorang tidak perlu memiliki skill yang tinggi. Gerakan Seatle Sound ini kemudian berhasil menjungkirbalikkan tatanan lama dan menggantinya dengan karya-karya ekspresionis. Pemahaman pada ukuran harmonisasi pun bergeser.
Super Rawk Fest 2017 mencoba menggali kembali nilai-nilai lama namun masih tetap dianggap memiliki greget. Itu kenapa sebabnya muncul God Bless sebagai menu utama. Achmad Albar dan kawan-kawan dianggap berjasa memberi kontribusi penting pada tumbuhnya sejarah rock di Indonesia. Salah satu band rock tertua Indonesia ini juga baru saja melepas album terbaru, Cermin 7. Artinya, sejak terbentuk pada 1973 mereka tidak berhenti berkarya, baik melalui rekaman maupun panggung. Pengaruh mereka dirasakan oleh hampir seluruh personel BIP. Hal ini bisa dilihat dalam akun Instagram mereka, saat mengucapkan selamat ulang tahun ke-43 tahun kepada God Bless dalam bentuk rekaman video.
“Ide ucapan itu muncul begitu saja saat gue dan anak-anak (BIP) mengetahui bahwa God Bless baru saja merayakan ulang tahun,” tutur vokalis Ipang Lazuardi. “Itu lebih ke bentuk ucapan terima kasih kami kepada God Bless. Karena berkat merekalah kami punya mimpi jadi anak band. Pay (gitaris BIP) itu ter-influence banget oleh God Bless.”
“Lagu-lagu God Bless menjadi referensi kami pada awal /rif mulai ngeband,” kata Andy.

Kelompok /rif diikutsertakan karena dianggap mewakili musisi yang tumbuh dan besar pada periode 1990-an dan hingga kini tetap eksis. Band asal Bandung ini sejak 2013 menjadi musisi independen dan pada tahun lalu baru saja merilis single “Nikmati Saja”. Kotak dianggap merepresentasikan musisi rock 2000-an, band dengan format hard rock yang sukses baik di panggung maupun rekaman. Inilah ujung tombak terakhir yang dianggap berjasa menjaga tradisi hard rock.
Kebersamaan yang terbilang langka ini dimanfaatkan oleh Cella untuk menyerap wawasan dari seniornya. Cella mengaku sudah mengidolakan God Bless sejak masih SD. “Waktu masih SD gue sudah mendengarkan lagu-lagu God Bless. Jadi kalau sekarang bisa main sepanggung itu dream comes true banget,” katanya. Keakraban umumnya terlihat pada pagi hari, saat personel ketiga band bertemu untuk sarapan pagi. Toh tetap saja terdapat kabut tipis bernama rasa hormat dalam kebersamaan selama acara berlangsung di enam kota.
“Sebebas-bebasnya bercanda dengan Mas Donny Fattah, misalnya, tetap saja akan berbeda kalau gue bercanda dengan anak-anak Boomerang atau Slank,” cerita gitaris /rif Jikun terkekeh.
Super Rawk Fest 2017 besutan Lima Production ini digarap cukup serius, termasuk mengangkat kembali tradisi lama dalam penyelenggaraan sebuah pertunjukan musik yang di beberapa kota besar sudah tidak pernah lagi dilakukan, yaitu pawai artis. Hanya saja kali ini namanya dibuat lebih keren: Rolling Thunder. Seluruh musisi diajak keliling kota dengan pengawalan klub pecinta mobil tua dan sepeda motor yang tergabung dalam klub Super Friends. Kegiatan yang sudah langka dilakukan ini memberikan hiburan tersendiri bagi warga setempat. Mereka dapat menyaksikan wajah-wajah yang selama ini hanya bisa dilihat melalui televisi.
Di setiap kota, acara ini selalu didahului oleh Meet N Greet. Kedua klub tadi, termasuk media massa setempat, dapat bertanya seluas-luasnya kepada seluruh personel God Bless, /rif, dan Kotak. Di kota-kota tertentu acara ini dihadiri sejumlah Kerabat Kotak.
Mengangkat potensi daerah setempat juga menjadi bagian dari rangkaian acara ini. Bentuknya adalah festival band. Tidak tanggung-tanggung, penyelenggaraannya berlangsung serentak di 16 kota Jawa Barat yang diikuti oleh sedikitnya 2600 peserta. Jumlah ini mengisyaratkan bahwa profesi sebagai musisi tetap menjadi mimpi anak muda. Di saat lapangan kerja formal semakin sulit, peluang sektor informal ini sepertinya menjadi celah yang terlalu sayang untuk disia-siakan. Apalagi para pemenangnya mendapat kesempatan langka, yaitu berkolaborasi langsung di atas panggung dengan God Bless, /rif, dan Kotak. Mereka juga mendapat pencerahan berupa klinik musik musik dari sejumlah musisi seperti Baron, John Paul Ivan, Ahmad Sebastio (bassist band Sahara), Ervin (vokalis Edane), dan banyak lagi.
Jikun menilai perhelatan ini sebagai festival yang istimewa. “Gue jarang banget melihat ada festival band yang dibuat dengan serius seperti ini. Produksinya nggak main-main.”
Dengan rentetan acara yang cukup padat di setiap kota, sungguh tidak mudah mengatur tiga band dengan kesibukan masing-masing yang cukup tinggi. Tidak selamanya perencanaan berjalan mulus. Di Bandung, jadwal soundcheck /rif yang biasa dilakukan sehari sebelum pertunjukan terpaksa dimajukan beberapa hari karena ada personel yang harus tampil dengan Pas Band. Ovy bahkan pernah tampil dalam keadaan tubuh menggigil terserang demam. Ia mengaku kurang istirahat.
Kelelahan juga dialami Tantri. Saat muncul di kota terakhir, Bandung (13 Mei), Kotak saja baru membawakan lagu kedua ketika penyanyi tersebut terhuyung-huyung. Tantri berusaha tetap tampil prima. Namun sambaran lampu strobo membuatnya kehilangan konsentrasi. Untungnya Tantri tidak sampai terjengkang, apalagi penonton meresponsnya dengan tepuk tangan karena mengira itu bagian dari aksi panggungnya. Kepungan jadwal ketat juga membuat Chua harus berulang-ulang meninggalkan bayinya. Suatu ketika saya bermaksud meneleponnya untuk suatu urusan. Bassist itu meminta waktu sebentar untuk menidurkan bayinya terlebih dulu. “Sebentar, Kang, anaknya lagi merem-merem ayam,” balasnya melalui pesan WhatsApp.
Lain lagi dengan yang dialami oleh Fajar Satritama, drummer God Bless. Kesibukannya sebagai Head of Department di Bank ICBC Indonesia mengharuskannya selalu berangkat terpisah dari rombongan. Sekali waktu Fajar ditugaskan kantornya pergi ke Bandung dan baru kembali ke Jakarta pada 24 Maret. Di tol Cipularang, kendaraan Fajar berpapasan dengan rombongan God Bless yang saat itu justru tengah menuju Garut karena sudah ditunggu Meet N Greet.

Berbeda dengan /rif dan Kotak yang kerap menuju ke kota lain setiap usai pertunjukan, God Bless memilih pulang keesokan harinya. Entah kenapa, setelah meyelesaikan penampilan di Banjar (8 April), mereka memilih langsung pulang ke Jakarta. Rombongan berangkat dari Banjar pukul dua dini hari. Menjelang pagi rombongan tersebut merapat di sebuah rest area yang terdapat di salah satu ruas jalan tol Cipularang. Di saat para personel dan para teknisi asyik menikmati kentalnya kopi hitam, Achmad Albar yang biasa dipanggil Iyek nampak sendirian di dalam bus, sibuk mengamati keadaan sekeliling. Beberapa saat kemudian ia menyusul bergabung. Tetapi baru saja Iyek bermaksud menyulut sebatang rokok, tiba-tiba saja serombongan kecil ibu-ibu, sebagian menuntun anak kecil, mengerubutinya untuk foto bersama. Iyek dengan sabar melayani permintaan pengemarnya. Hanya saja setelah itu ia segera mengurungkan niatnya ikut nongkrong dengan yang lain dan memilih masuk kembali ke dalam bus.
Persoalan belum selesai. Sesampainya di kediamannya di kawasan Cinere, Iyek mendapati Dewi Sri, istrinya yang tengah hamil sembilan bulan, tengah menjerit-jerit. Rupanya ketuban Dewi pecah. Kantuknya langsung lenyap. “Saya hanya sempat menyimpan koper bawaan, langsung membawanya ke rumah sakit,” cerita Iyek yang merasa terheran-heran karena menurut jadwal istrinya baru akan melahirkan pada 12 April 2017.
Keberhasilan menyatukan tata lampu, tata suara, multimedia, dan ketatnya skenario dari show director menjadikan Super Rawk Fest 2017 pertunjukan musik spektakuler. Dan ini hanya sebuah langkah awal. Di masa depan, jenis yang akan diusung mungkin saja berubah. ”Tetapi tetap ketiga band akan ditampilkan berasal dari genre tersebut,” jelas Inyo Tanius Saleh yang bertindak sebagai technical advisor.
*) Dimuat pertama kali di Majalah Rolling Stone Indonesia, edisi Juni 2017