Pantera, salah satu band heavy metal paling berpengaruh di era ’90-an, tengah bersiap menggelar tur 41 kota di Amerika yang akan dimulai 19 April sampai 13 September 2025. Sepuluh kota di antaranya bakal bersepanggung dengan Metallica. Dan, penampilan di the Adidas Arena, Paris, 15 Februari lalu, menjadi semacam pemanasannya. Phil Anselmo (vokal), Zakk Wilde (gitar), Rex Brown (bass) dan Charlie Benante (drum) bermain maksimal.
Paris selalu menjadi kota persinggahan ‘wajib’ bagi kebanyakan band dunia yang tengah melakukan lawatan tur ke sejumlah negara Eropa seperti Jerman, Belanda atau negara Eropa Timur lainnya. Saya sendiri sudah mengantongi tiket untuk konser ini sejak setahun sebelumnya. Dari tempat saya di Villefrance, dibutuhkan waktu sekitar 6 jam perjalanan dengan menggunakan mobil dan kereta.
Tiba di Paris tepat pukul 2 siang, saya segera melanjutkan perjalanan dengan menumpang metro menuju hotel yang berada di distrik 10. Lokasi konsernya sendiri terletak di distrik Chapelle (distrik 18). Gedung serbaguna ini diresmikan pada 11 Februari 2024 dengan kapasitas 8000 orang – kurang lebih seperti Istora Senayan, Jakarta.

Seperti sebagian calon penonton lain, saya masih sibuk berburu pernak-pernik mechandise ketika band pembuka King Parrot naik panggung. Kapasitas gedung baru terisi sepenuhnya ketika band pembuka kedua, Power Trip, kebagian giliran. Band asal Texas ini cukup menarik perhatian melalui repertoar yang kental dengan nuansa old school thrash metal nya.
Tepat pukul 9 malam tirai raksasa bertuliskan PANTERA diturunkan menutupi latar depan panggung. Suasana mulai bergemuruh. Pada layar nampak cuplikan dari Vulgar Videos From Hell diikuti “In Heaven” dari film Eraserhead sebagai intro ritual mereka. Sesaat usai Zakk Wilde menyayat dawai gitarnya pada “A New Level” sebagai lagu pembuka, penonton di kelas festival langsung menggila seraya merangsek ke arah barikade. Menciptakan gelombang manusia yang ber-crowd surfin.
Sebagai pengingat, kemunculan formasi yang diresmikan pada 2023 ini sempat memantik kontroversi di kalangan penggemar fanatik Pantera dikarenakan tidak satu pun menyisakan personel orisinal. Mimpi para metalhead untuk dapat menyaksikan Pantera reuni pupus sudah setelah Dimebag Darrel ditembak mati di klub malam Alrosa Villa di Columbus, Ohio, 8 Desember 2004. Gitaris bernama asli Darrel Lance Abbott itu dianggap ruhnya Pantera. Berkat inisiatif Anselmo, Pantera benar-benar bangkit namun pemaknaan reuni tak pernah mendapat legitimasi.
Meski sempat hiatus selama 22 tahun namun Pantera ini tetap memperlihatkan taringnya. Vokal Phil Anselmo mungkin sudah mulai menurun namun tetap stabil. Ia mampu memperlihatkan karisma seorang veteran cadas: tenang dan sanggup mengendalikan agresifitas publik hanya dengan gerakan tangan.

Begitu juga dengan Rex Brown yang stabil mengawal setiap lagu dengan tone bass-nya dengan solid. Namun yang menakjubkan saya adalah performa Charlie Benante. Selain respek dengan fill- fill nya yang ekspresif, sound drumnya terkesan dibuat satu napas dengan sound almarhum Vinnie Paul. Triggernya kering tapi lebar dan galak. Dua jempol buat mantan drummer Anthrax tersebut.
Sementara itu permainan Zakk Wylde sesuai dengan dugaan, cenderung mendominasi setiap komposisi. Ini persis seperti yang dia lakukan pada bandnya terdahulu, Black label Society. Penggemar fanatik Pantera yang sudah mengenal betul format permainan Dimebag Darrel mungkin akan sependapat bahwa rally gitarnya malam itu terlalu berlebihan. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa dirinya bukanlah tipikal pemusik yang terbiasa berbagi peran.
Terbukti Phil Anselmo harus menunggu dengan sabar sampai Wylde benar-benar berhenti solo, baru dapat berkomunikasi dengan penonton. Wylde menghamburkan pinch harmoni di hampir setiap liukan. Dia sepertinya masa bodoh dengan pig squeal-nya Dime. Dia seperti berusaha keluar dari pakem orisinal. Jika kesabaran Anselmo menunjukkan kelas seorang legenda metal, maka gaya permainan Wylde lebih menegaskan tipikalnya sebagai gitaris solo.
Beruntung permainan solonya di lagu ikonik “Floods” Wiyde sedikit terkendali. Nampaknya dia menaruh respek dengan pakem yang dimainkan Dime.

Di tengah pertunjukan Phil Anselmo barkata bahwa di salah satu bangku penonton terdapat seorang rockstar.
“The singer from f*cking Iron Maiden is here…! teriaknya.
Yang dimaksud adalah BruceDickinson! Tentu saja ini kejutan besar. Anselmo kemudian mengajak semua penonton untuk beruluk salam kepada vokalis Iron Maiden tersebut. Bukan hanya itu. Ketika Pantera membawakan “Walk”, Bruce meloncat ke atas panggung dan ikut bernyanyi pada bagian reffrein. Heboh, tentu saja. Anselmo langsung sujud hormat kepada rocker legendaris ini.
Setelah Bruce Dickinson berlalu, Pantera membombardir the Adidas Arena dengan “Cowboys From Hell”, “F*cking Hostile”, “Yesterday Don’t Mean Shit” mau pun “Strenght Beyond Strenght”. Selama lebih dari satu setengah jam pertunjukan berlangsung gegap gempita. Waktu terasa cepat sekali berlalu.
Aksi Pantera era baru itu berhasil mengikis sinisme sebagian penggemar fanatik yang cenderung meremehkan. Terlepas dari sosok Zakk Wilde yang bermain lebay untuk konsep Pantera yang mengedepankan kaidah groove metal, penonton malam itu dibuat puas.

Dalam perjalanan pulang menuju ke hotel, imajinasi saya seperti terlempar oleh mesin waktu ke masa kelas 1 SMA. Saat itu masih aktif main band. Kami biasa berlatih dengan menyewa sebuah studio sempit di kawasan Pasar Burung, Bojongloa, Bandung. Salah satu lagu yang sering kami pelajari adalah “Regular People”.
Kini 35 tahun kemudian akhirnya dapat menyaksikan langsung band idola masa remaja.
Thank you Pantera!
Penulis : Dikyana Hidayat
Editor: Denny MR
Foto image : Pantera Official.