kamarmusik.id. Duran Duran tetap memancarkan magnet sebagai ikon new wave yang pernah berkibar pada 1980-an. Keberhasilannya menjual album 100 juta copies di seluruh dunia dengan 18 hit single di Amerika dan 21 hit singel di Inggris, dua piala Grammy dan delapan pengharagaan Life Achievment, menjadikannya salah satu band tersukses sepanjang masa.
Terakhir mereka tampil di Paris pada 2008, wajar jika kedatangannya sangat ditunggu para Duranies – sebutan untuk penggemar berat Duran Duran. Saya pun harus bersyukur karena masih berhasil mengantongi tiket.
Malam itu, 21 Oktobter 2025, sekitar 7000-an penonton terlihat memadati stadium Le Zenith, Prancis. Dan, seperti sudah diduga, penonton usia setengah baya terlihat mendominasi. Mereka adalah generasi yang beruntung mengalami masa kejayaan Duran-Duran.

Konser seharusnya memulai konsernya pada pukul 8 malam, namun ternyata didahului oleh aksi DJ cewek yang membutuhkan waktu 30 menit untuk ngeset alat ! Anehnya penonton terlihat cukup bersabar. Tidak terdengar teriakan menggerutu.
Tepat pukul 9 pertunjukan pun dimulai. Panggung sederhana bahkan cenderung apa adanya untuk band yang pernah dikenal sangat memperhatikan detail panggung. Hanya ada satu giant screen, tanpa side screen di kiri-kanan. Dari sana terlihat para personnel Duran Duran – Simon Le Bon (vokal), John Taylor (bass), Nick Rhodes (synthesizer) dan Roger Taylor (drum) – sedang berada di pesawat ruang angkasa dan bersiap untuk melakukan perjalanan pulang ke bumi.
Dua lagu pertama, “Night Boat” dan “Wild Boys”, cukup memperlihatkan bahwa vokal Simon Le Bon masih cukup prima, karena saya yang berusaha ikut menyanyi bareng langsung megap-megap. Sementara Le Bon melaluinya dengan santai.

“Paris, this song is for you….because my name is Bon…Simon Le Bon!” dan meluncurlah video intro 007 dengan Roger Moore tengah berjalan tegap sebelum berbalik menembakan pistol. “A View To A Kill” merupakan soundtrack dari film James Bond rilisan 1985 yang video clipnya menampilkan pernak-pernik Prancis seperti acordeon, truk Citroen H dan tentu saja menara Eiffel.
Gitaris additional Dom Brown, yang bergabung sejak 2004 mengisi kekosongan yang ditinggalkan Andy Taylor, menjadi titik kelemahan band ini karena sound-nya terdengar seperti gitaris top 40. Tanpa karakter dan cenderung bermain aman. Jauh lebih baik Warren Cuccurullo meski saya tidak begitu mengikuti di eranya dia.
Setelah “Union Of The Snake”, “Invisible” dan “Notorious”, mereka melanjutkan dengan “Lonely in Your Nightmare” yang diselipi lagu dari Rick James, “Superfreak”, yang judulnya dimodifikasi menjadi “Super Lonely Freak” – dari album terakhir Danse Macabre (2023)

Judul album terakhir itu memang banyak meng-cover karya musisi lain namun dengan tema Helloween, seperti “Paint It Black” (The Rolling Stones), “Spellbound” (Siouxie and the Banshees) atau “Psycho Killer” (Talking Heads).
Saya kaget ketika mereka membawakan “The Chauffeur”. Ini lagu favorit yang jarang sekali dibawakan. Padahal lagu inilah yang membedakan mereka dari dari band-band new wave lainnya sekaligus mempertegas citra mereka sebagai pelopor new romantic.
Di saat jeda Le Bon bercerita masalah Gaza. “Perdamaian sudah tercapai, itu bagus tapi alangkah bagusnya mengakhiri sampai tuntas penderitaan saudara-saudara kita di sana.”
Kalimat tersebut seolah menjadi intro “Ordinary World”

Melalui penuturan Le Bon baru diketahui bahwa Duran Duran pertama kali tampil di Paris pada 1981 di sebuah kulb kecil di Champ Elysee. Ketika membawakan “Hungry Like the Wolf”, konon ada seorang penonton yang bergelantungan di gordin panggung dari satu sisi ke satu sisi panggung lainnya dan berakhir dengan jatuhnya Simon yang terlilit kabel microphone.
“Nous voulons que vous chantez tous sur cette chanson ! And please turn on the flashlight of your phone please,” pintanya sebelum kemudian meluncurlah lagu yang bikin merinding, “Save a Prayer”!
Salah satu hit dari album kedua ini, Rio (1982), seakan mengisap ke mesin waktu. Lagu inilah yang memperkenalkan pada Duran-Duran. Saat itu saya masih berumur 13 tahun dan tinggal di Bandung, di kamar tidur sempit yang temboknya penuh ditempeli poster Duran Duran, terutama sosok John Taylor. Jujur, dialah yang membikin saya ngebet ingin menjadi bassist meski akhirnya berpindah ke drum karena tak sanggup memegang necknya yang panjang dan senarnya gede-gede.
Sekarang, idola masa kecil tersebut berdiri di depan mata!

Konser selama 2 jam itu pun diakhiri oleh “Rio” yang berhasil memaksa semua penonton berdiri dan berjoged bersama. Mereka terlihat seperti kesetanan dan melupakan umur.
Sungguh, Duran Duran telah berhasil membangkitkan kenangan masa remaja, termasuk saya. Teringat saat masih ber-BMX ria, rambut di gel Lavender dan berjambul, sepatu Warrior dengan tali sepatu jumbo, tas triplek poster, meminta diputarkan lagu ke radio melalui telepon umum koin dan main dingdong di Dallas, Alun-alun, dan tentu saja membaca serial Lupus-nya almarhum Hilman Hariwijaya.
Thank You Duran Duran, sudah menarik kita sejenak dari kepenatan hidup jaman sekarang ke jaman-jaman tanpa beban. 80s rules !
Penulis : Dikyana Hidayat Editor : Denny MR Grafis: Junior Eka Putro
Foto image : Matt Crossick/PA Wire
Duran Duran di antara Hilman dan Adri Adrian

kamarmusik.id. Pada pertengahan 1990-an, saya mendapat tugas meliput konser Duran Duran sekaligus mewawancarai Nick Rhodes (keyboard) di Hongkong. Teman setongkrongan yang sama-sama kontributor di Majalah Hai, Hilman Hariwijaya, langsung menyatakan keinginannya ikut serta dan bersedia membeli tiket sendiri.
Akhirnya kami berangkat dengan ditemani fotografer bernama Sute.
Sebagai Duranies, Hilman bukan cuma melahap lagu demi lagu di setiap album yang dirilis oleh band idolanya. tapi juga mengadopsi elemen fashionnya. Kegilaan pada bassist John Taylor melahirkan rambut model jambul yang kemudian menjadi identitas Lupus, tokoh fiktif ciptaannya yang populer di kalangan remaja generasi tahun 1980-an.
Jika tengah bepergian bersama, terpaksa bergantian memutar kaset karena saya lebih menyukai heavy metal semisal Van Halen atau Iron Maiden. Kebiasaan ini tanpa disadari menumbuhkan sikap toleran di antara kami. Persahabatan bertahun-tahun itu kemudian dikukuhkan dengan menulis bareng, termasuk Seno M Harjo, sebuah buku Berjudul 10 Tokoh Showbiz Musik Indonesia.
Bersama teman-temannya seperti Gusur, Boim dan Anto yang menjadi karakter-karakter dalam serial Lupus, Hilman sering menginap di rumah saya – kawasan Bantar Kemang, Bogor. Rumah kontrakan kecil itu – benar-benar kecil, menjadi penuh sesak jika keempat sekawan itu tiba-tiba bermunculan di depan pintu. Mereka rela tidur tumpang-tindih. Pintu pun menjadi susah dibuka karena terhalang oleh tubuh Gusur yang gendut.

Mengenakan blazer warna pink, seperti halnya personel Duran Duran, juga pernah dilakukan oleh Adi Adrian – keyboardis KLa Project sekaligus Ketua WAMI (Wahana Musik Indonesia). Dia mengaku sudah keranjingan Duran Duran sejak masih duduk di SMP. Band itu pula yang mempertemukannya dengan Romulo Radjadin dan kemudian sepakat mendirikan KLa Project.
Adi lantas membandingan sosok Nick Rhodes dengan Tony Banks, keyboardis Genesis yang juga menjadi idolanya ketika mulai bermain musik.
“Mereka (Duran Duran) berjasa memperkenalkan musik baru melalui aplikasi teknologi,” katanya. “Skill Nick Rhodes terletak pada kemampuannya menciptakan program.”
Panjang lebar Adi Adrian mendeskripsikan “A View to Kill’, lagu tema untuk James Bond, yang dikatakannya sebagai karya luar biasa. “Sound keyboardnya gila itu!” puji pria yang ketika saya hubungi tengah berada di Beijing itu.
Alasan di atas yang meyakinkan dirinya bahwa personel Duran Duran merupakan kumpulan musisi avant garde pada zamannya.
“A View to Kill” merupakan satu-satunya lagu tema James Bond yang berhasil menduduki puncak tangga lagu dunia. Inilah lagu terakhir yang direkam dengan formasi lengkap. Perpecahan tidak bisa dihindari lagi. John dan Andy Taylor mendirikan Power Station dengan merekrut Robert Palmer (vokal) dan Tony Thompson (drum). Mereka banyak meminkan rock and roll. Sementara Simon Le Bon, Nick Rhodes dan Roger Taylor mendirikan Arcadia yang lebih berorientasi ke pop.

Bukan cuma perpecahan yang menghajar karir Duran Duran. Dikutip dari CNN Indonesia (3/12/2016), mereka kehilangan haknya atas sejumlah ciptaannya yang terkenal seperti “A View to Kill”, “Rio” atau Girls on Film”. Pengadilan Inggris memutuskan Duran Duran tak lagi diperbolehkan mengeklaim ulang lagu mereka dikarenakan telah menjadi milik Glouchester Place Music, label yang dimiliki Sony/ATV.
Meski terkejut, Nick Rhodes mengakui bahwa ketika menandatangni kesepakatan perilisan lagu-lagu itu dia dan teman-temannya masih sangat muda.
Duran Duran termasuk band pop funk dan new romantic yang jeli memanfaatkan music video sebagai sarana promosi yang ampuh. Ini terbukti lewat lagu “Hungry Like the Wolf” – hal yang belum terpikirkan oleh band seangkatannya.
Di Indonesia, pengaruh dan nama besar mereka hanya bisa disaingi oleh The Police. Satu hal pasti, Duran Duran terbukti lebih tangguh dari band seangkatannya yang kini telah banyak berguguran. Seperti yang dikatakan oleh Adi Adrian, Duran Duran bukan cuma menciptakan musik baru melalui teknologi, tetapi juga fashion yang digilai remaja . (*)
Penulis : Denny MR