KamarMusik.id. Semesta akhirnya tersenyum. Setelah 48 tahun merilis album tunggal, Guruh Gipsy berhasil dimunculkan ke panggung Synchronize edisi ke-10, tepatnya 4 Oktober 2025 di Gambir Expo, Jakarta. Langkah yang harus diapresiasi mengingat selama lebih dari empat dekade nama tersebut lebih menyerupai mantra yang berkelebat dari satu diskusi ke diskusi lain.
Beberapa hari sebelumnya David Tarigan, Artist & Repertoire Synchronize Fest, sempat meminta testimoni saya untuk keperluan konser. Pada 2007 kami pernah bergabung dalam tim perumus Majalah Rolling Stone Indonesia dan, bersama almarhum Dennie Sakrie serta Theodore KS, menempatkan karya Guruh Gipsy di peringkat ke-2 Album Terbaik Sepanjang Masa setelah Badai Pasti Berlalu.
Terjadi perdebatan panjang sebelum berujung pada kesepakatan bahwa album ini terlahir mendahului zamannya. Sebuah karya masterpiece yang menjadi pondasi perkembangan sejarah rock Indonesia.
Dan, malam itu Guruh Gipsy menyisakan tiga personel asli: Guruh Sukarno Putra, Keenan Nasution dan Abadi Soesman. Tidak kurang dari 50 musisi mengawalnya mulai GSP, kelompok Saraswati Bali serta puluhan musisi orkestra. Megah dan menggetarkan.

Dialog Barat dan Timur
Abadi Soesman mengingat salah satu faktor tercetusnya penggabungan musik rock dengan gamelan Bali adalah sebuah karya solo Ray Manzarek (The Doors) yang didengarnya semasa tinggal di New York, sekitar 1975-an.
Saat itu bandnya, Gipsy, baru saja meyelesaikan kontrak dengan restoran Ramayana milik Pertamina. Ketika personel lain mudik ke Indonesia, Abadi, Keenan dan Gaury Nasution memutuskan tinggal untuk sementara. Mereka kemudian menghubungi Guruh Sukarno Putra yang tengah belajar Arkeologi di Universitas Amsterdam, Belanda. Sebuah rencana liar dimulai.
“Terus terang saja album Ray Manzarek membuat kami merasa kecolongan,” kenangnya terkekeh.
Sambil menunggu kepulangan, masing-masing giat mematangkan konsep. Abadi Soesman, dikenal sebagai musisi serba bisa, menulis lagu “Insan Sesat” untuk dinyanyikan oleh Chrisye. Temanya tentang kehidupan di New York yang dilihatnya teramat bebas.

Tidak sampai menamatkan kuliahnya, Guruh akhirnya pulang ke Indonesia untuk bertemu dengan Keenan Nasution dan kawan-kawan. Perbincangan berlanjut hingga menghasilkan kesepakatan untuk membuat proyek Bali Rock dengan menyandingkan kedua entitas, yaitu Guruh Gipsy. Formasi lengkapnya: Guruh Sukarno Putra (lirik, multi instrumen), Chrisye – di kaset masih tertulis Chistian (bass, vokal), Keenan Nasution (drum), Odink Nasution (gitar), Roni Harahap (piano), Abadi Soesman (keyboard).
Bagi Keenan irama pentatonik sudah tidak asing lagi. Di rumahnya, jalan Pegangsaan Barat 12, Jakarta Pusat, pernah tinggal I Wayan Suparta, yang mengagas ekperimen rock dengan gamelan Bali untuk Sabda Nada – band yang kemudian berganti nama menjadi Gipsy. Demikian juga Guruh telah mendalaminya melalui I Made Gurindem semasa di Ubud.
Melihat pertautan di atas, sangat masuk akal jika mereka menjadikan irama pentatonik sebagai identitas.
Konsep persilangan itu sendiri bukan hal baru. Setidaknya pada 1975 musisi Jerman Eberhard Schoener sudah pernah melakukannya bersama Agung Raka melalui album Bali Agung. Eksotisme gamelan Bali juga dapat ditelusur lewat lagu “Unlearning” dari album Animation (1982) milik Jon Anderson (Yes). Pada 1990 kelompok Gong 2000 melakukan hal serupa.
Namun Guruh Gipsy menawarkan narasi keindonesiaan yang kuat. Sebagai penulis lirik, harus diakui Guruh cukup visioner. Contohnya bisa disimak pada “Chopin Larung”. Dilantunkan oleh suara magis Chrisye, temanya yang ditulis Bahasa Bali menggambarkan rasa prihatin atas keindahan Bali yang semakin tergerus oleh modernisasi.

Titiang mengenang Bali/Sunantara wong ngerusak asik negara
(Diriku mengenang Bali/Sementara orang merusak/bumi)
Nanging Chopin nenten ngugu/Kadang ipun ngarusak seni – budaya
(Namun Chopin tidak mengerti/Kadang bangsanya merusak seni budaya)
Pada “Djanger 1897 Saka” Guruh bahkan mengeritik keras orisinalitas Bali yang semakin terkontaminasi. Janger merupakan tarian pergaulan muda-musi Bali yang lahir sekitar tahun 1930-an. Seperti “Onde-Onde” bagi masyarakat Betawi. Di bawah ini sebagian kutipan liriknya:
Dulu memahat buat menghias pura (-puri)
dulu menari dengan sepenuh hati
Sekarang memahat untuk pelancong mancanegari
Sekarang menari turut cita turis luar negeri
Tari Legong jaman masyhurnya di Saba (-Kedaton)
dipersingkat demi selera penonton
Art shop megah berleret memagar sawah ( Cak he he )
Cottage mewah berjajar dipantai indah
Karya – cipta nan elok – indah ditantang alam modernisasi
Permai alam mulai punah karena gersang rasa mandiri
Boleh saja bersikap selalu ramah (-tamah)
bukanlah berarti bangsa kita murah
Kalau kawan tak hati-hati bisa punah budaya asli
Kalau punah budaya asli harga diri tak ada lagi
(harga diri tak ada lagi maka tak dapat berbangga hati)

Kendala Proses Rekaman
Di luar pencapaian artistik dan telah menempatkan karya mereka pada level masterpiece, , proses rekamannya menyimpan cerita menarik. Seluruh materi dibuat di Laboratorium Pengembangan dan Penelitian Audio Visual Tri Angkasa, Jalan Hang Tuah, Kebayoran Baru Jakarta Selatan. Studio dengan kanal 16 track ini terbilang paling modern kala itu. Sound engineer-nya Alex Kumara yang kelak menjadi direktur RCTI.
Namun jenis instrument dan musisi yang terlibat banyak sekali. Persoalan muncul, misalnya, pada saat sesi rekaman “Indonesia Maharddhika” yang memerlukan proses dubbing lebih dari 200 kali, termasuk untuk pengisian suara gitar elektrik, keyboard, piano elektrik, synthesizer serta instrument lain. Personel dan musisi pendukung harus rela berhimpitan di ruang seluas 50 meter persegi tanpa pendingin udara. Rasanya kita harus melangkah surut ke zaman teknologi analog untuk dapat memahami betapa rumit dan sangat menguras energi situasi saat itu.
Di dalam booklet kaset setebal 25 halaman, secara detail Guruh menggambarkan proses pembuatan “Djanger 1897 Saka” dimana ia memainkan laras salendro melalui intrumen piano. Keriangan atmosfer tari janger dipadukannya dengan orkestra simfoni. Namun keterbatasan kanal rekaman dan sempitnya ruang studio membuat imaji kreatifnya tak tersampaikan dengan sempurna.

Mungkin oleh sebab itu pada album Pergelaran Karya Cipta Guruh Sukarno Putra” Guruh & Swara Maharddika (Pramaqua, 1979), Guruh menciptakan versi baru dengan judul “Janger Jakarta”. Lirik pun mengalami penyesuaian. Hasilnya terdengar lebih riang dan ekspresif.
Untuk alasan yang kurang lebih sama, lagu “Smaradhana” (cinta membara) juga dibawakan kembali oleh Chrisye pada album solonya, Sabda Alam (Musica Studio, 1979)
Toh, dari enam lagu yang berhasil direkam tidak tercantum “Insan Sesat”. Abadi Soesman tak pernah mengetahui persis alasan penolakannya. Dia hanya berasumsi bahwa temanya kurang sesuai.
Dua tahun kemudian ketika bergabung dengan God Bless lagu tersebut muncul dalam album Cermin (JC Records, 1980). Atas sepersetujuannya, “Insan Sesat” kemudian menjadi nama sebuah band beraliran metal asal Jakarta.

Terlepas dari perannya sebagai pengganti Yockie Suryo Prayogo, Abadi Soesman membawa pengaruh masuknya warna pentatonik ke tubuh God Bless seperti bisa disimak pada “Anak Adam”. Itu karena kecintaannya pada gamelan Bali belum tersalurkan sepenuhnya di Guruh Gipsy.
“Saya coba tawarkan kepada teman-teman di God Bless, ternyata mereka menyambut antusias.”
Selama ini banyak pertanyaan perihal sulitnya membawa band kolaborasi tersebut ke atas panggung. Sebagian ada yang menghubungkan dengan keberadaan Guruh sebagai putra Proklamator RI. Tentu asumsi ini masih perlu divalidasi dan saya tidak akan masuk ke ranah politik.
Yang pasti untuk mengusung Guruh Gipsy ke dalam sebuah konser dibutuhkan investasi tidak sedikit.
Panggung Synchronize Fest 2025 telah berhasil menampilkan keperkasaan karya anak bangsa. Simbol perlawanan kultural yang tidak mungkin terulang. Lebih dari sekadar tontonan, momen penting ini merupakan kesempatan langka untuk menimba ilmu komposisi modern tanpa harus terjebak oleh westernisasi.
Pertanyaanya, sampaikah pesan kreatif tersebut kepada mayoritas penonton yang terbiasa menikmati informasi sepotong-sepotong? Kepada generasi yang ibu jarinya hanya bergerak mengejar berita viral? Sebab kedahsyatan karya Guruh Gipsy hanya bisa dimaknai melalui konteks peristiwa sosial dan budaya. Tanpa pemahaman yang utuh, sihir malam itu hanya akan berhenti pada parade bebunyian semata. (*)
Penulis: Denny MR Foto image: Indrawan Ibonk