KamarMusik.id. Ketika tersiar kabar The Sex Pistols akan menggelar konser dalam sebuah festival musik yang berlokasi di sebuah desa, tidak jauh dari tempat tinggal saya, jujur tak terlalu antusias. Pasalnya, vokalisnya sudah bukan lagi John Lydon a.k.a Johnny Rotten seperti yang diharapkan, melainkan Frank Carter.
Saya pernah menonton dia bersama grupnya : Frank Carter and the Rattlesnakes di festival Rock en Seine pada 2014 lalu. Aksi panggungnya menarik. Namun agresifitasnya tidak serta-merta dapat melebur ke dalam karakter The Sex Pistols. Intinya, Johnny Rotten tak tergantikan.
Direkrutnya Frank Carter sejak 2024 lalu, meski sebatas bintag tamu, telah membuat Johhny Rotten murka. Hal membuat pemusuhannya dengan The Sex Pistols makin memburuk. Sebelumnya, The Sex Pistols pernah juga berkolaborasi dengan Billy Idol dan Tony James.
Namun, bagaimana pun, yang akan tampil adalah band punk legendaris. Salah besar jika melewatkannya. Ditambah teman-teman satu band memaksa nonton bareng, saya pun segera memesan tiket.

Lokasi pertunjukan terletak di desa Gignac, sekitar 1,5 jam berkendaraan dari rumah saya. Akses menuju ke arena terbilang kecil. Sehingga jika kebetulan ada dua berpapasan, salah satunya haruslah menepi.
Gignac adalah kawasan berpemandangan indah dengan luas 40,66 km² dan populasi 7061 jiwa. Toh, pedesaan kecil ini cukup bernyali untuk menggelar festival musik tahunan yang berkelas sejak 2004. Dulu panggungnya kecil saja, menghampar di atas lahan seluas 4 hektar. Kini di sana tersedia dua buah panggung besar untuk setiap penyelenggaraan dan sanggup menampung 25.000 penonton. Oya, posisi panggungnya membelakangi tempat pemakaman umum.
Beberapa band yang pernah menjadi bintag tamu antara lain Deep Purple, The Offspring, Dropkick Murphys sampai Iggy Pop.
Yang menarik, penyelenggaranya dikerjakan secara indepenen. Dengan mengerahkan relawan dari penduduk sekitar untuk mengurus sistem ticketing, stand makanan dan minuman lokal sampai energi listrik dari panel surya. Para raksasa pertunjukan seperti Ticketmaster atau Live Nation tidak berhasil menyentuh mereka.
Dengan reputasi seperti itu, tak heran The Sex Pistols pun berhasil didatangkan.

Tepat pukul 9.45 malam berkumandanglah intro musik klasik di panggung utama dengan back drop gambar dua speaker bertuliskan Boredom dan Nowhere.
Didahului musik klasik berakhir, Glen Matlock (Bass), Paul Cook (Drum), Steve Jones (Gitar) dan Frank Carter naik secara beriirngan. Mereka langsung menggebrak dengan “Holidays In The Sun” disambung “dengan “Seventeen” dan “New York”.
Tampil sepanggung dengan para seniornya yang rata-rata berusia kepala tujuh, membuat Frank Carter berhasil mencuri perhatian. Tidak bisa dipungkiri, dia memang menjadi suntikan darah baru. Terbukti ketika intro “Pretty Vacant”, dia turun memprovokasi penonton untuk membuat area mosh pit. Kemudian bermoshpit ria dengan penonton diakhiri dengan surfing dari sisi kiri ke sisi kanan.
Sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh Johnny Rotten.

Sebelum lanjut ke “Silly Thing” dia sempat mengingatkan penonton di barisan depan agar berhati – hati karena di situ terdapat beberapa penonton anak – anak kecil. Frank pun dangan santai dia bertanya kepada salah seorang di antaranya.
“Apa cita – cita mu kalau sudah besar ?”
“Jadi musisi!”.
“Jadi musisi Punk ya? Mantap!” teriak Frank. Konser dilanjut dengan memberondongkan “Liar”, “God Save The Queen”, “Satellite”, “No Fun”, “No Feelings”, dan “Problems”
Ketika mereka memulai intro lagu “My Way”, Frank meminta agar semua penonton menyalakan flashlight telepon genggam mereka. Band punk meminta flashlight? Kegenitan ini sungguh mereduksi semangat pemberontakan yang mendasari kelahirannya.
Dan konser pun mencapai klimaks dengan “Anarchy In The UK”. Tanpa encore.

Secara keseluruhan konser malam itu sangat memuaskan. Tentu disertai catatan, lupakan sejenak sosok Johnny Rotten.
Frank Carter sendiri jauh hari sebelumnya sudah menegaskan bahwa dia tidak akan meniru gaya Johnny. Sebaliknya, dengan energi seorang hooligan yang meledak-ledak, dia cukup berhasil membawa pembaharuan yang mendorong The Sex Pistols keluar dari sarangnya guna menyapa skena punk.
Kalau pun masih terasa jejak orisinal, hal itu datang dari sound gitar Les Paul serta ampli Marshall milik Steve Jones.
Dan, di antara ribuan penonton yang histeris, saya mungkin termasuk kategori yang belum move on pada aksen dan timbre vokal Johnny Rotten, pada gayanya yang sangat british: snob, sarkastik dan penuh satir.
Ihwal Frank Carter, meski pun lulus menjadi bagian baru Pistols, tetapi energinya berbeda sekali. Dia menyemburkan seneri seorang hooligan yang meledak – ledak.

Terima kasih The Sex Pistols sudah mampir dan membuat saya bernyanyi sekerasnya sambil mengingat masa – masa SMA. Kalian menjadi soundtrack periode terindah dalam hidup saya.
Punk is not dead! (*)
Penulis: Dikyana Hidayat dari Prancis. Foto image: Graham Finney Photography.