Titiek Puspa, seniman legendaris yang penuh energi itu, telah berpulang. Ia mengembuskan napas terakhir pada Kamis, 10 April 2025, di RS Medistra Jakarta Selatan, pasca menjalani operasi akibat mengalami pecah pembuluh darah.
Sebelumnya, pada 2009, ia juga pernah didiagnosis mengidap kanker serviks yang mengharuskannya menjalani perawatan selama beberapa bulan pengobatan, termasuk dua bulan kemoterapi, di Rumah Sakit Mount Elizabeth di Singapura.
Pada 26 Maret 2025 ia masih melakukan rekaman gambar program Lapor Pak sebanyak 3 episode, sekaligus menjadi penampilan terakhirnya di layar televisi.
Mengingat usianya yang sudah sepuh, 87, momen tersebut menjadi bukti dedikasinya kepada dunia seni yang tak pernah mengenal putus.

Sudarwati adalah nama yang diberikan kepadanya saat lahir 1 November 1937 di Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan. Oleh karena selalu sakit-sakitan, kedua orang tuanya, pasangan Tugeno Puspowidjojo dan Siti Mariam, mengganti namanya mejadi Kadarwati dan akhirnya Sumarti.
Ada yang mengatakan bahwa nama Titiek Puspa merupakan pemberian Presiden Soekarno. Namun dalam memoarnya, A Legendary Diva, yang disusun oleh Alberthiene Endah, nama tersebut ternyata diperoleh dari sahabatnya bernama Yayuk.
Suatu ketika Kepala Sekolahnya menyuruh ikut lomba menyanyi se-Semarang. Sumarti terlonjak girang sekaligus merasa ketakutan karena kedua orang tuanya tidak menginginkan dirinya menjadi seorang ‘pesinden’. Kalau ketahuan, “Saya bisa perang dengan orang tua!”
Yayuk yang bolak-balik memberi semangat kemudian mengusulkan sebuah ide:
“Kita ganti namamu saja! Paling tidak untuk nama panggung. Jadi, Bapak dan keluargamu ndak akan tahu.” (halaman 69).
Nama yang diusulkan adalah Titiek Puspo namun dianggap terlalu Jawa. Akhirnya mereka sepakat menggantinya dengan Titiek Puspa. Toh, tetap saja ketahuan.
Dalam ajang tersebut Titiek Puspa menyabet juara pertama. Sebuah prestasi yang menjadi pintu gerbang perjalanan karirnya ke jenjang nasional.

Pada awal 1970-an pemirsa TVRI mana yang tidak menunggu malam takbiran untuk menonton Operet Lebaran Papiko (Persatuan Artis Penyanyi Ibu kota)? Titiek Puspa menggagas acara fenomenal ini pada 27 Mei 1972 dan bertahan hingga 1991 dengan judul terakhir Indahnya Berbagi Kasih. Selama masa eksisnya Papiko menjadi candradimuka para artis pendatang baru.

Sebagai komposer yang telah melahirkan ratusan lagu, proses kreatifnya terbilang unik. Titiek Puspa sama sekali tak mahir memainkan alat musik. Artinya, setiap lagu ciptaannya tidak lahir melalui sebuah teori, melainkan dari kepekaan hati.
“Itu luar biasa,” kata Candra Darusman dalam Mengenang Titiek Puspa di Kompas TV, Sabtu 12 April 2025.
Kemampuan tersebut semakin terasah melalui bimbingan Mus Mualim, suami ketiga yang dinikahinya pada 1970. Mus Mualim adalah penata musik untuk sejumlah film populer seperti Minah Gadis Dusun (1965), Di Balik Cahaya Gemerlapan (1976), dan Inem Pelayan Sexy (1976).

Dengan kepekaan itulah Titiek Puspa berhasil mencetak begitu banyak hit yang abadi hingga hari ini. Beragam lirik yang ditulisnya memperlihatkan keluasan wawasan mulai percintaan, persoalan kaum urban, lingkungan, dunia anak-anak hingga patriotisme.
Ia mendengar setiap peristiwa, melihat dan mengabadikannya menjadi sederet karya yang tak lekang oleh zaman. Inspirasi musikalnya tak pernah berhenti mengalir bahkan ketika dirinya sudah berada di tempat tidur untuk beristirahat.
Sejumlah nama besar yang pernah mempopulerkan ciptaannya antara lain Dara Puspita (Marilah Kemari), Lilis Suryani (Gang Kelinci), Euis Darliah (Apanya Dong), Eddy Silitongga (Jatuh Cinta), New Rollies (Bimbi, Dansa Yok Dansa) dan banyak lagi. Setiap generasi silih berganti turut mempopulerkan.
Di balik pembawaannya yang periang ia juga terampil melahirkan lagu-lagu lirih nan puitik seperti Adinda dan Sendiri lagi yang kemudian dipopulerkan kembali oleh Trio Bimbo.
Kemampuannya menangkap kepedihan menjadi sebuah karya seni merupakan kelebihan yang tak dimiliki setiap musisi. Inilah yang terekam antara lain lewat lagu lewat Bing – salah satu ciptaannya yang paling popular.

Seperti diketahui, Titiek Puspa bersahabat erat dengan Bing Slamet, pelawak, penyanyi dan bintang film kenamaan.
Ketika Bing Slamet meninggal pada 17 Desember 1974, ia tengah berada di pesawat Bouraq menuju Singkep, Riau, untuk sebuah pertunjukan. Dengan hati tercabik diambilnya kantong kertas yang terselip di kursi pesawat lalu menumpahkan kesedihannya dengan berurai air mata.
Pencapaian tersebut yang mendorong saya dan beberapa teman di Majalah Rolling Stone Indonesia untuk menempatkan Bing di peringkat 41 dalam daftar 150 Lagu Indonesia Terbaik edisi Desember 2009.

Spontanitas seperti itu sudah biasa dilakukannya sejak masih remaja. Ketika nonton film di bioskop Bersama Yayuk, ia sering membawa kertas untuk menggambar model baju yang dikenakan salah satu Bintang film idolanya, Marylin Monroe.
Titiek Puspa memang responsif terhadap perkembangan tren. Hal yang membuat karya mau pun penampilannya senantiasa aktual.
Di awal 1990-an ketika lagu anak-anak surut, ia menulis lagu Menabung dan Aku Suka Musik yang terkenal melalui duet Saskia dan Geofanny. Selain itu masih ada Cibang Cibung serta Kau dan Aku Indonesia.

Dengan narasi yang sederhana dan lucu ia menyampaikan pesan tentang moral, sopan santun, kebersihan, cinta tanah air, dan kasih sayang.
Meski pernah kesengsem habis pada artis mancanegara seperti Patty Pages atau Marylin Monroe, jangan pernah meragukan kecintaannya pada kesenian tanah air. Dalam unggahan siniar Deddy Crobuzier terlihat bagaimana dirinya mencak-mencak tentang pentingnya setiap daerah memiliki ruang pertunjukan agar kekayaan seni budaya tanah air tidak sampai musnah tergerus zaman.
Sebuah keprihatinan khas orang tua. Cerewet namun penuh cinta. Ia mengatakan sudah merasa capek berteriak tetapi tidak pernah didengar.
Kini kita telah kehilangan sosok yang luar biasa penting. Seniman dengan talenta lengkap: penulis lagu, penyanyi, pemain film dan sutradara. Sekujur hidupnya telah ia curahkan seluruh kemampuannya guna perkembangan seni budaya.
Kita masih bisa menyecap cinta, semangat dan optimisme hasil karya salah satu musisi Indonesia terbesar sepanjang masa.
Sudah saatnya pemerintah hadir dan mempertimbangkan eyang Titiek Puspa sebagai Pahlawan Seni Budaya. (*)
Foto image: Istimewa.