Taman Ria Remaja Senayan, Jakarta, 15 Mei 1983. Saat itu sedang berlangsung pergelaran Rock Action ’83 menampilkan sederet band beraliran keras dari berbagai kota seperti SAS Group (Surabaya), Rawerontek (Banten), Giant Step, Superkid, Rollies (Bandung), Farid Fani Adam (Sukabumi) hingga God Bless dan Cockpit (Jakarta). Di barisan solis terlihat Berlian Hutauruk, Euis Darliah, Sylvia Saartje dan Rose Kusuma Dewi. Saya baru beberapa bulan saja magang di majalah remaja Hai dan hadir untuk membuat liputan.
Di atas panggung Rose Kusuma Dewi dan Ucok Harahap terlihat melakukan atraksi, maaf, erotis diiringi musik gegap gempita. Duo rocker eksentrik ini memang sudah sering membuat heboh dunia panggung. Kombinasi cuaca terik dengan adegan di panggung menciptakan aura membara. Penonton yang didominasi kaum laki-laki bersimbah keringat dijilat matahari siang.
Bertubuh tinggi semampai, rambut panjang dengan vokal melengking, Rose Kusuma Dewi mampu memenuhi imajinasi terliar seorang rocker cewek. Mestinya hal ini dapat menjadi modal langkahnya ke jenjang selanjutnya: rekaman. Namun kenyataannya tidak berbanding lurus.

Lama tidak kunjung mendapat kesempatan, Rose memutuskan banting stir membuat rekaman dangdut dengan iringan OM Sonia. Albumnya berjudul Gemes (Primadona Record, 1984) dilabeli ‘dangdut rock power’.
Pada dua buah hitnya, Gemes dan Persetan Dengan Cinta, Rose tetap mempertahankan ciri kerockerannya. Album tersebut nampaknya lebih sebagai medium guna mempertahankan eksistensi, itu pun tak diikuti dengan perilisan album-album selanjutnya. Perlahan namanya pun meredup.
Tren Lady Rocker
Suatu pagi, sekitar tahun 1976, di sebuah rumah di jalan Pandanlaras no 20, Malang, Jawa Timur. Seorang remaja puteri tengah melakukan tugasnya mengepel lantai ketika terdengar ketukan di pintu depan. Si tamu adalah Bens Leo, wartawan majalah Aktuil terbitan Bandung. Sedang yang mengepel tak lain Sylvia Saartje, nama yang cukup dikenal sebagai solis di seputar Jawa Timur.
Jippi, panggilannya, menjadi satu-satunya penyanyi rock perempuan yang tampil dalam konser Aktuil Vacancy Rock di Gedung Olah Raga (GOR) Pulosari Malang, 27 Desember 1976. Di dunia panggung musik rock namanya mencorong karena merupakan satu-satunya perempuan yang tampil eksentrik. Vokalnya melengking serak, rambut bak burung merak dan pakaian serba ketat. Sosok langka ketika itu. Hal inilah yang mendorong Bens Leo khusus datang ke Malang untuk mewawancarainya.

“Jadi, waktu Bens datang ke rumah gue lagi sibuk ngesot di lantai hahaha….,” ceritanya seraya melepas tawa.
Melalui tulisannya Bens Leo menyematkan predikat ‘Lady Rocker’ kepada Sylvia Saartje, sebuah diksi yang mungkin hanya dikenal di Indonesia.
“Gue sampai diketawain sama Prof Andrew Weintraub dari Pittsburgh University. Dia rupanya lebih condong sebutan female rock singer.”
Aapa pun, Jippi tetap mengapresiasi atas pengakuan yang diberikan oleh wartawan tersebut. Dan sejak saat itu eksistensinya tidak pernah terpisahkan sebagai Lady Rocker Indonesia pertama.
Tidak mudah jalan untuk memperoleh gelar terhormat itu. Lingkungan keluarga mendidiknya secara ketat. Hingga usia remaja dia lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Mengerjakan tugas-tugas harian seperti mengepel tadi. Di samping itu dia menjadi banyak kesempatan untuk mendengarkan piringan hitam koleksi ibunya, Christina Tuyem, seperti album Jimi Hendrix atau Janis Joplin.
Suatu ketika tersiar kabar God Bless akan tampil di Lapangan Tenun, biasa disebut juga Gelanggang Olah Raga Tenun. Ini adalah tempat bersejarah yang selalu menjadi saksi bisu perkembangan musik di Kota Malang ketika itu.
Merasa ngebet ingin menonton aksi idolanya, Jippi nekat kabur dengan melompat lewat jendela kamarnya.
Nama Sylvia Saartje memuncak ke level nasional setelah melepas debut album berjudul Biarawati (Irama Tara, 1978). Dalam ingatannya, popularitas lagu tersebut mampu bertahan hingga empat tahun. Setelah itu meluncur beberapa album lainnya seperti Kuil Tua (Irama Tara, 1979), Mentari Kelabu (Irama Tara, 1980) Puas (Irama Tara, 1981) dan Ooh! (Irama Tara, 1983). Umumnya bercorak pop dan tidak sesukses debut albumnya.
Keberhasilan Jippy di panggung cadas seperti ingin mematahkan mitos bahwa musik rock merupakan ‘hak milik’ rocker laki-laki. Bahwa sosoknya merupakan pionir penyanyi rock perempuan adalah fakta tak terbantahkan.
Geliat industri rekaman rock terjadi pasca munculnya Jarum Neraka (Billboard, 1984), album kedua Nicky Astria, mantan vokalis band Ronners. Distorsi gitar, tempo cepat, lirik bernuansa pemberontakan serta gaya bernyanyi yang menerjang menjadi fenomena baru. Di atas panggung, publik disuguhi aksi gadis Sunda yang tampil nyeker sambil berjingkrak. Tubuh dibalut jaket kulit dengan celana jins robek-robek.

Jenjang karirnya mulai terbuka setelah tampil dalam pergelaran Rally Rock Jakarta-Bandung di Kartika Chandra. Denny Sabri, seorang pencari bakat kawakan, mengaku langsung terkesima.
“Saya langsung berpikir, ini anak pasti akan menjadi sesuatu,” cerita Denny Sabri saat saya menemui wartawan majalah Aktuil itu di rumahnya, jalan Aceh, Bandung. Nicky Astria memulai karirnya sebagai vokalis band Ronners.
Nicky Astria pun mengenang momen ketika itu. “Selesai acara saya tidak diperbolehkan pulang oleh Kang Denny Sabri. Tapi langsung disuruh rekaman di studio DD Records.”
Album Jarum Neraka konon terjual sebanyak 360.000 kopi dan merupakan rekaman musik rock pertama yang meledak di pasaran. Ya, konon, karena data resmi penjualan tak pernah muncul dari pihak label. Angka tersebut diperoleh melalui informasi verbal. Ketika bisnis rekaman masih menganut system flat pay (jual putus), parameter kesuksesan hanyalah berdasarkan asumsi. Sering pula diukur ketika sang penyanyi memperoleh bonus mobil atau rumah.
Penyanyi lain, Mel Shandy, misalnya, bahkan tidak pernah ambil pusing dengan hasil penjualan album-albumnya.

“Pokoknya kontrak dengan Mas Log selalu diperpanjang setiap dua tahun. Saya dibelikan mobil atau rumah, tapi berapa hasil penjualan albumnya tidak pernah tahu.” ujar penyanyi bernama lengkap Melinda Susilarini.
Log yang dimaksud adalah Log Zhelebour, pemilik Loggis Records, yang sukses melambungkan nama Mel Shandy melalui album Bianglala (Loggiss Records,1986). Musiknya digarap Jockie Suryo Prayogo.
Sistem royalti di dunia rekaman baru dikenal melalui album Kaulah Segalanya (Musica Studios, 1991) milik Ruth Sahanaya. Penggagasnya terdiri dari lima orang yaitu James F Sundah, Aminito Kosin, Candra Darusman, Erwin Gutawa dan Yos Pattipeilohy. Mereka bersepakat mendirikan rumah produksi JACEY – kependekan dari inisial nama masing-masing.
“Waktu itu kami berpikir sudah saatnya industri rekaman Indonesia menerapkan system royalti. Supaya ke depannya lebih sehat,” kata Erwin Gutawa beralasan.
Pasca sukses Jarum Neraka wajah-wajah baru pun berhamburan. Bandung tercatat sebagai kota paling banyak melahirkan talenta. Ibu kota Jawa Barat ini menjadi titik pertemuan para pendatang yang berasal dari kota-kota di sekitarnya. Tercatat Inka Christie, Conny Dio, Yossy Lucky, Minel, Yessy Gassela, Poppy Mercury, Hesty Brizha, Euis Cahya, Hilda Ridwan Mas, Lina Hara, Marty Samala, Mia Elda, Lady Avisha, Ivom Mulansari, Yevie Nabela, Virna Lisi dan banyak lagi.
Deretan wajah kinyis-kinyis mulai menyemarakkan panggung ingar-bingar.
Pada 1986 di Tasikmalaya berlangsung sebuah festival musik. Juara favoritnya disabet oleh seorang penari jaipong bernama Cut Indah Irna Dewi – kelak lebih akrab dengan nama panggung Cut Irna.

Sebagai pencari bakat berpenciuman tajam, Denny Sabri segera bergerak cepat. Irna dikontraknya untuk memperkuat barisan artis di bawah managementnya.
“Sebenarnya yang pertama tertarik untuk mengontrak saya adalah Cecep AS,” cerita Irna. “Namun setelah pertemuan pertama Kang Cecep nggak datang lagi. Yang muncul justru Kang Denny (Sabri).”
Cecep AS adalah pencipta lagu produktif ketika itu. Ciptaannya antara lain Risau yang terdapat pada Transisi, salah satu album Atiek CB paling terkenal. Musiknya digarap oleh Erwin Gutawa.
Berbeda dengan kebanyakan artis asuhannya yang diproyeksikan sebagai penyanyi soli, Irna lebih digembleng sebagai calon foto model dan bintang film. Sebagai Langkah awal, Denny Sabri membentuk kelompok vokal Denny’s Angel yang terdiri dari Lady Avisha, Normayani dan Cut Irna.

Normayani kemudian digantikan oleh Nike Astrina. Belakangan Yevy Nabela menggantikan posisi Nike Astrina yang mundur karena merintis karir solonya melalui debut album Seberkas Sinar (Proyek Q, 1989). Namanya lantas berubah menjadi Nike Ardila. Tidak lama setelah Lady Avisha bergabung menggantikan Yevy Nabela, Denny’s Angel dibubarkan tanpa pernah melahirkan album rekaman.
Ada pun Cut Irna , yang sebelumnya sudah meluncurkan album Hantam Kromo (Atlantic Records Indonesia, 1988), kemudian lebih aktif di dunia film dan foto model.
Dengan tinggi 171 cm, wajah rupawan serta rambut panjang yang menjadi ciri khasnya, Irna memang memenuhi persyaratan untuk itu. Itu sebabnya di antara barisan penyanyi rock perempuan asal Jawa Barat dia terlihat lebih modis. Apalagi dirinya pernah digembleng seni teater oleh Remy Sylado.

Sekitar tahun 1987 ketika sedang meliput pertunjukan musik di Balai Sidang Jakarta – kini Jakarta Convention Centre, saya dihampiri oleh Arthur Kaunang, vokalis sekaligus pemetik bass SAS Group, yang baru saja tiba dari Surabaya.
“Kenalkan ini pendatang yang baru gue orbitkan,” sapanya sambil melirik remaja puteri di sampingnya. Remaja itu tersipu. Dia nampak mungil berdiri di samping Arthur Kaunang yang bertubuh tinggi besar. Namanya, Ita Diah Purnamasari, tinggal di jalan Pacar no 3, Surabaya. Dia belum merilis album debut Fatimah (Asia Records, 1986).

Arthur mengajaknya ke Jakarta dan hadir di konser malam itu untuk lebih memperkenalkan Ita kepada dunia yang hendak dirambahnya. Arthur bertutur jika dirinya tengah menyiapkan album kedua yang kelak diberi judul Penari Ular (Billboard Indonesia, 1988) . Seperti Nicky Astria, Ita Purnamasari juga mengundurkan diri dari bandnya, Rasio, untuk mengejar karir sebagai solis.
Ita Purnamasari menjadi jawaban Kota Surabaya terhadap mewabahnya penyanyi rock perempuan di tanah air. Seperti juga dengan Hesty Brizha yang mewakili Kota Magelang. Album debutnya, Krisis (Zodiac Records, 1988), digarap oleh Jockie Suryo Prayogo, memperdengarkan kepada kita karakter vokal yang luar biasa.
Sementara itu Jakarta, meski tidak dikenang sebagai barometer penyanyi rock perempuan, mempunyai Anggun C Sasmi yang karakter vokalnya menonjol. Salah satu singelnya, Mimpi, berhasil masuk daftar “150 Lagu Indonesia Terbaik Sepanjang Masa” versi majalah Rolling Stone Indonesia.

(Bersambung)
Foto image: Google.