Sebelum memulai pembahasan, dalam Woman in Rock bagian 1 ini saya akan mengkhususkan pada band yang seluruh personelnya cewek. Semata untuk memudahkan dalam membuat komparasi musikalitas mereka, tanpa bermaksud menisbikan bahwa band atau kelompok musik yang di dalamnya ‘terselip’ personel pria pun sama layaknya untuk diapresiasi. Ada pun band dengan kategori terakhir itu akan saya bahas pada kesempatan terpisah.
Dan, berbicara tentang band cewek, mau tidak mau kita harus terlebih dahulu menyoal pionirnya. Siapa lagi kalau bukan Dara Puspita.

Dibentuk di Surabaya pada 1964 dengan personel Titiek Adji Rachman (gitar, vokal), Lies Soetisnowati Adji Rachman (bass, vokal), Susy Nander (drum), dan Ani Kusuma (gitar). Band yang semula bernama Irama Puspita ini mulai moncer pasca hijrah ke Jakarta. Terutama setelah pemetik bass Titiek Hamzah muncul karena Lies AR yang non aktif sementara waktu untuk melanjutkan sekolah. Saat kembali bergabung, giliran Ani Kusuma menyatakan keluar dan membentuk band sendiri, The Beach Girls.
Fakta menarik lain dari Dara Puspita adalah naluri rebelliousnya. Di panggung mereka tampil laiknya band cowok, bahkan kadang lebih agresif. Berjingkrak dalam irama rock and roll-nya The Beatles, Rolling Stones dan Elvis Presley. Akibatnya, aktivitas mereka tertangkap radar Rezim Orde Lama yang saat itu menentang keras segala bentuk budaya asing. Seperti halnya Koes Bersaudara, mereka pun berulang kali ditangkap dan diinterograsi. Sekali waktu bahkan pernah digerebek oleh Pemuda Rakyat, sayap pemuda Partai Komunis Indonesia, semata karena menyanyikan lagu The Beatles. Namun tidak pernah menyerah.
Kemunculan Dara Puspita menumbuhkan kesadaran bahwa musisi cewek sama berpeluangnya dengan musisi cowok. Oleh karena itulah nama-nama baru pun bermunculan saling susul.

Pada 1967, misalnya, lahir the Singers yang beranggotakan Sally Sardjan (kibord), Neneng Salmiah (gitar, vokal), Shinta Dungga (gitar,vokal), Henny Poerwonegoro (vokal, drum), Tuti Thaher (bass), dan Uun Sarbini (gitar). Mereka juga terbilang produktif. Dalam enam usia karirnya berhasilkan sedikitnya tujuh album: Marina (1968), Jali-Jali (1968), Penuh Noda (1970), Luka Hatiku (1972), Derita Seorang Wanita (1972), Paduan Cinta(1973), Ditinggal Pergi (1973) dan Kau Curi Hatiku (1974).
Ani Kusuma berhasil membawa The Beach Girls menghasilkan tiga album rekaman, yaitu Stambul Gadis Pantai, Venus dan The Beach Girls. Setelah membubarkan diri, salah seorang personelnya, yaitu Veronica Timbuleng, menikah dengan Rhoma Irama dan aktif sebagai motor Soneta Girls.

Masih terdapat sederet nama lain seperti Pretty Sisters, Monalisa, Antique Clique, Miscellina,The Reynettes, Princess Tone dan masih banyak lagi. Mereka umumnya memiliki ciri khas masing-masing sehingga cukup mudah membedakannya dari satu sama lain.
Jika The Singers kerap menyisipkan irama latin, Pretty Sisters terbilang menonjol karena kemahirannya para personelnya memainkan musik tiup. Keunikan yang terbilang langka pada zamannya ini telah mengantarkan Pretty (organ), Erna (gitar melodi), Lucy (gitar bas) dan Diana (drum) dalam memenangi kejuaraan festival band perempuan se-Indonesia di Istora Senayan, Jakarta, April 1975. Label Purnama Records kemudian mengontraknya untuk rekaman album Setangkai Bunga Mawar.

Pada 1968 Dara Puspita membuat terobosan dengan melakukan tur keliling Eropa selama tiga setengah tahun dan baru kembali pada 3 Desember 1971. Sehingga menjadi band perempuan Indonesia pertama yang bermain di luar kandang, termasuk merekam sejumlah album. Di sana mereka lebih dikenal dengan sebutan Flower Girls, nama yang diperoleh setelah tampil di Hungaria. Sepak terjang Dara Puspita telah menjadikan mereka sebagai aset nasional yang tidak ternilai.
Pada 2022 Synchronize Fest berhasil memunculkan kembali dengan tema “Spirit of Dara Puspita Bersama Fleur.” di Gambir Expo Kemayoran, Jakarta. Pesan moral reuni ini adalah regenerasi band perempuan di Indonesia tak pernah padam. Fleur! sendiri adalah trio yang dibentuk karena terinspirasi Dara Puspita. Notasi dan harmonisasi vokal pada lagu-lagunya adalah napas Dara Puspita dalam versi kekinian. Setelah berkarir selama lima tahun, Fleur! membubarkan diri.

Kegigihan Dara Puspita mestinya menjadi karpet merah bagi band cewek untuk merebut eksistensi dalam industri panggung dan rekaman. Sebab, dari aspek musikalitas umumnya memiliki kemampuan yang tidak terpaut jauh. Sebutlah aksi panggung Antique Clique yang memperoleh apresiasi tinggi dari wartawan senior Remy Sylado. Hanya saja Dara Puspita tak tertandingi dalam soal keberanian menghadapi risiko, sehingga menjadikannya sebagai band cewek Indonesia pertama yang melakukan tur keliling Eropa.
Namun para pengusaha label punya parameter sendiri dalam menyikapi fenomena tersebut. Feminitas akan menjadi cuan jika disandingkan dengan musik pop, apalagi dibungkus dengan tema cinta. Band cewek pun kehilangan posisi tawar. Beberapa judul album yang saya sebut di atas sebuah contoh kecil tak terbantahkan.
Ketika industri musik Indonesia dilanda demam pop melayu, sekelas Dara Puspita pun ikut merekam album Pop Melayu Volume 1. Tidak mengherankan jika setahun kemudian giliran Pretty Sisters merilis album Jelek-Jelek Ada Yang Punya diikutin yang lain.

Maka, sulit rasanya bagi siapa pun yang ingin melakukan penelusuran sejarah band cewek Indonesia yang secara kuantitatif membuncah pada era 1960 – 1970-an karena nyaris seluruh album yang beredar ketika itu tidak merefresentasikan estetika mereka. Hal ini diperburuk dengan lemahnya kelengkapan informasi pada setiap perilisan fisik. Termasuk tidak pernah tercantumnya tahun rilis.
Hiruk-pikuk band cewek era 1960 – 1970-an perlahan meredup memasuki dekade 1980-an, digantikan penyanyi solo. Akan tetapi saya akan mengupasnya pada bagian yang akan datang.

Memasuki dekade 1990-an band cewek kembali dengan genre lebih beragam, seiring dengan meningkatnya peran indie label. Pada 1992 Wondergel mengibarkan musik britpop. Mereka terdiri dari Meita (vokal), Vivie (vokal), Nanda (gitar), Lala (bass), Meta (kibord), dan Astrid (drum). Sempat merilis sebuah album, Wondergel bubar pada 1997. Namun pada 2017 mengadakan reuni. Setelah itu kita bisa menyaksikan bagaimana mereka berusaha bertahan meski hanya dengan melepas singel secara teratur seperti Di Bangku Taman (2019), The Guiding Lights (2020), dan daur ulang dari lagu karya LFM berjudul Warik (2021).
Ketiga tema di atas kemudian dirajut menjadi semacam retrospeksi pada singel Manusia Bebas yang menjadi momen reuni pada 2024. Saat itu personelnya hanya menyisakan Diah Rajanti aka Ndhoets dan Meita Kasim.
Pada 1996 ada Geger Band yang beranggotakan Elie (vokal), Wiwi (kibord), Hera (gitar), Cynthia (bass), dan Dewi (drum) band ini merilis album perdana, Tajir pada 2001. Cukup menarik bahwa lagu yang sekaligus menjadi judul album tersebut membuat persilangan antara rock dengan irama pentatonik. Tapi kemudian aktivitas mereka perlahan menghilang. Pada 2016 Geger Band sempat muncul dengan vokalis Rinada sebelum kemudian diganti lagi dengan Windy Saraswati. Namun langkahnya sudah semakin tersengal-sengal.

Bertahan hanya dengan satu album juga dialami oleh Traxap Loonatic, band jebolan Geng Potlot bentukan Massto Sidharta. Bimbim sendiri turun tangan sebagai Produser Eksekutif. Namun karir Atik (vokal), Regina (bass), Anissa (gitar), Putri (gitar), dan Tathe (drum) terhenti setelah merilis album Berisik pada 1997 yang melahirkan single Buaya Darat. Begitu pun dengan Boys Are Toys, pengibar punk asal Bandung yang raib pasca menghasilkan album Weah Weah of the Blah Blah (2003).

Berbagai upaya ditempuh oleh para rocker cewek untuk mengaktualisasikan diri, termasuk membuat gebrakan internasional seperti dilakukan Voice of Baceprot. Namun semua itu tidak pernah berhasil mengikis kenyataan bahwa dalam industri musik telah terjadi diskriminasi. Mereka seolah dianggap tak layak memperoleh level yang sejajar dengan rocker cowok.
Terlepas dari soal adil tak adil, band cewek umumnya memiliki permasalahan alami. Mereka umumnya tidak berumur panjang. Salah satu alasan Titiek Hamzah bersikeras mundur dari Dara Puspita karena keinginannya untuk berkeluarga. Massto Sidharta punya jawaban lain atas usia pendek Traxap Loonatic.
“Mereka masih pada sekolah waktu itu. Sebagian lagi mau fokus kerja,” katanya. (*)
(Nomor depan: Trend penyanyi solo dan isu seksisme).
Penulis : Denny MR
Foto image : Istimewa.