Mengulang pertemuan Deep Purple dengan God Bless perlu persiapan matang, namun mempertemukan keduanya dengan Rhoma Irama adalah sebuah pekerjaan serius. Dan, Rajawali Indonesia melakukannya dengan baik saat menggelar Deep Purple – World Tour 2023.
Jumat sore, 10 Maret 2023, sekitar pukul 16.00 WIB, terlihat antrean di pintu masuk Edutorium UMS Solo. Mereka adalah calon penonton berusia rata-rata antara 40 – 60. Tersimak dari celotehannya bahwa sebagian pernah menjadi saksi pertemuan pertama kedua legenda rock itu pada 4 & 5 Desember 1975 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Jakarta. Aura nostalgia sulit dihindari. Jika dulu datang ke arena pertunjukan bercelana cutbray dan rambut gondrong, kini rambut itu mulai memutih. Beberapa membawa anak istri.
“Ya begini mas kalo mbah-mbah nonton konser, persiapannya banyak, biar ndak masuk angin dan merepotkan panitia,hahahaha” cetus Arjo kepada Anggitane Ironogo dari kamarmusik.id. Pria setengah baya asal Wonosobo itu sudah menancapkan niat datang ke Solo sebagai misi ‘balas dendam’ karena tak bisa menyaksikan God Bless saat tampil di Jogjarockarta Festival pada 2022 lalu.
Presiden Joko Widodo ikut menyaksikan bersama Ibu Negara Iriana Joko Widodo. Termasuk Walikota Solo, Gibran Rakabuming, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Sekretaris Kabinet Pramono Anung dan mantan Kepala Badan Ekonomi Kreatif Triawan Munaf, Direktur Utama Bank Jateng Supriyatno, serta beberapa pejabat lainnya
Dalam pertemuan kedua ini tentu saja kedua band sama-sama sudah tidak muda lagi. Usia personelnya rata-rata berkepala tujuh. Tentu aksi panggungnya tidak sesangar dulu, akan tetapi keperkasaan mereka tetap bisa dirasakan pada suguhan lagu-lagu yang telah menjadi soundtrack generasi muda ’70-an dan ’80-an.
Perhatikan saja God Bless yang memunculkan intro “Huma Di Atas Bukit” (1976) sebelum menggebrakkan “Musisi” dari album Cermin (1980). Tema lagu ini bicara tentang keakuan jiwa muda, mars pemberontakan kepada para penguasa industri rekaman ketika itu yang cenderung mendikte seniman musik untuk membuat album atas nama selera pasar. Penciptanya, Donny Fattah, saat ini tengah menjalani proses penyembuhan. Tempatnya digantikan sementara oleh Arya Setyadi. Personel lainnya Achmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Abadi Soesman (kibor) dan Fajar Satritama (drum).
Usai “Bla Bla Bla” dan “Kehidupan” yang berhasil membuat gemuruh Edutorium UMS bergemuruh, God Bless menyambung dengan “Cermin”. Lagu progresif penuh sinkop ini dimaksudkan sebagai penyeimbang dua lagu sebelumnya yang berirama rock and roll. Dari sebelas lagu, hanya dua judul yang sungguh-sungguh bernuansa balada, yaitu “Rumah Kita” dan “Panggung Sandiwara”.
Bagi yang sering menyaksikan God Bless akan segera mafhum seperti itulah karakter aksi panggung mereka. Usia hanyalah susunan angka. Sedangkan musik rock adalah jalan hidup.
Deep Purple menampilkan formasinya yang ke sembilan, atau biasa disebut DP Mark IX, yaitu Ian Gillan (vokal), Simon McBride (gitar), Roger Glover (bass), Don Airey (kibor) dan Ian Paice (drum). Nama terakhir ini satu-satunya personel yang datang ke Jakarta pada 1975 sekaligus personel original sejak super grup itu terbentuk di Inggris, 1968.
Setelah itu Deep Purple datang kembali ke Jakarta pada 30 April 2002 (Plenary Hall JCC) dan 12 April 2004 (Tennis Indoor) lalu 14 April 2004 Lotus Pond, Garuda Wisnu Kencana (GWK).
Dalam penampilan keempatnya Kota Solo, salah satu triumvirat pionir heavy metal ini banyak menyanyikan repertoar dari album Machine Head dengan “Highway Star” sebagai lagu pembuka. Jujur vokal Ian Gillan (78) sudah tidak nyaring seperti dulu, namun napas dan kontrol tone-nya tetap terjaga, memperlihatkan jejaknya sebagai vokalis yang pernah menyandang julukan the king of screamer.
Lagu kedua, “Pictures Of Home”, masih dari album yang sama, tetap bernuansa nostalgia dan disambut gemuruh sekitar 7000-an penonton. Menjelang dua lagu berikutnya, “No Need To Shout” dan “Nothing at All”, tensi panas tadi langsung meredup. Terlihat bahwa materi dari album Whoosh! Ini kurang familiar. Harus diakui sejak mencetak hit “Anya” dari album The Battles Rages On … (1993) Deep Purple mulai kehabisan napas untuk menciptakan hit baru. Ciri khas dari kelompok musik yang telah melewati golden era.
“Lagu ini kami dedikasikan untuk sahabat kami Jon Lord,” ujar Ian Gillan memberi kata pengantar untuk “Uncommom Man” dari album Whoosh!, disambung solo gitar Simon McBride.
Sebagai personel termuda, McBride membuktikan bahwa kapasitasnya layak menggantikan gitaris Deep Purple sebelumnya, Steve Morse. Tidak terlalu mengumbar distorsi, permainannya akurat. Satu hal pasti, sound gitarnya jauh lebih modern dibanding Ritchie Blackmore dan Morse. McBride juga setia pada orisinalitas bentuk lagu-lagu yang dibawakannya. Itu sebabnya, penggemar Deep Purple generasi 1970-an tidak harus merasa kehilangan saat menikmati karya masterpiece seperti “Highway Star”, “Smoke on the Water” atau “Black Night”
“Saya tidak mungkin mengubahnya begitu saja dengan versi saya,” kata instruktur gitar tersebut menjawab pertanyaan wartawan dalam jumpa pers. Bagi Ian Paice makna jawaban McBride itu adalah tentang rasa hormat.
“Memainkan solo gitar sepertinya aslinya adalah cara untuk menghormati musik yang sudah membekas di hati penggemar. Tidak perlu plek-plekan. Tapi cukup dengan memainkan bagian yang dikenal banyak orang.”
Simon McBride lahir pada 1979, empat tahun setelah Deep Purple merilis Come Taste the Band atau hampir setengah usia Ian Gillan dan Roger Glover. Selera musiknya pun terbentuk oleh album-album Deep Purple koleksi orang tuanya. Don Airey yang membawanya memasuki lingkungan Deep Purple. Sebelumnya pernah memperkuat formasi Sweet Savage menggantikan Vivian Campbell yang menyebrang ke Whitesnake.
Dan, McBride memang membuktikannya di panggung Edutorium UMS Solo. Setiap lagu dimainkannya dengan gaya linear, jernih, tidak ada satu not pun yang meleset. Pengecualian terjadi pada “When a Blind Man Cries” yang berubah total. McBride seperti diberi ruang untuk menampilkan kapasitasnya sebagai aranjer. Bagi yang terjebak nostalgia, akan sulit menyimak aransemen baru ini. Namun versi McBride harus diakui berhasil membalut melodi ’70-an dengan konsep kekinian.
“When a Blind Man Cries” sebenarnya materi yang tidak pernah diperhitungkan. Meski direkam dalam periode pengerjaan Machine Head, ia tidak dimasukkan ke dalam album dan hanya dirilis untuk menggenapi single “Never Before”. Apakah dikarenakan pertimbangan hal itu maka konstruksi nada aslinya seolah dilepas? Rasanya tidak penting benar mencari jawaban sahih. Bukankah musik itu untuk dinikmati?
Tampil nyaris dua jam tanpa jeda bukan persoalan mudah bagi musisi sepuh. Energi harus dihemat dengan tidak mengorbankan ritual panggung. Ian Paice tidak bersolo drum. Bersama Ian Gillan dia memilih menarik napas saat Don Airey menyajikan intro panjang untuk “Lazy”.
Sebagai kibordis kawakan, tidak sulit baginya mengalihkan perhatian penonton. Dengan akting menghibur, termasuk menenggak wine di tengah atraksi solo dan mengenakan kopiah milik Anas Syahrul Alimi (CEO Rajawali Indonesia), dia membuat rally panjang nan memikat. Potongan ”Turkish March” karya komponis Mozart dirajutnya dengan lagu kebangsaan “Indonesia Raya”. Ini pula yang dilakukan Deep Purple ketika tampil di Stadion Gelora Bung Karno (1975), dimana Jon Lord mengimprovisasi “Lazy” dengan “Burung Kakak Tua”.
Donald Smith Airey bukan orang baru bagi Ian Paice. Keduanya pernah satu formasi di Whitesnake. Seorang musikus produktif dengan karir merentang pada sejumlah band, baik sebagai personel mau pun pengiring. Antara lain Jethro Tull, Black Sabbath, Judas Priest, Rainbow, Gary Moore, Colloseum II, Hollywood Monsters dan Michael Schenker Group.
Tiga tahun pertama bersama Deep Purple dia menggunakan Hammond C3 milik Jon Lord. Tapi, “Itu tidak nyaman buat saya,” kata Don yang kemudian pindah menggunakan Hammond A-100. “Hammond kepunyaan Jon tidak pernah dipakai lagi.”
Aksi jago-jago tua malam itu diakhiri dengan “Hush” dan “Black Night”. Dipetik dari debut album The Shades of Deep Purple (1968), “Hush” pertama kali dipopulerkan oleh penyanyi country Billy Joe Royal pada 1965. Ini sebuah fase ketika Deep Purple Mark I masih melakukan pencarian bentuk. Ada dua lagu lain versi cover di album tersebut, yaitu “Hey Joe” (Jimi Hendrix) dan “Help” (The Beatles).
Semula konsep pertemuan Deep Purple dengan God Bless dimaksudkan Anas Syahrul Alimi sebagai kado ulang 50 tahun God Bless. Dia lantas mengkomunikasikannya dengan pihak Deep Purple. Bahkan kelompok yang pernah tercatat di The Guinness Book of World Records sebagai band paling bising di dunia itu setuju untuk tampil sebelum God Bless.
Setelahnya, giliran CEO Rajawali Indonesia itu berkordinasi secara intensif dengan pihak God Bless, termasuk mengutarakan langsung dalam pertemuan dengan Achmad Albar dan Ian Antono ketika God Bless ambil bagian dalam perhelatan JogjaRockarta Festival, 24 & 25 September 2012. God Bless berterima kasih dan merasa terhormat atas kesediaan Deep Purple namun tetap memilih tampil duluan seperti pada pertemuan di Gelora Bung Karno.
Berdasarkan kesepakatan tersebut, Anas Syahril Alimi kemudian menginformasikan kepada saya bahwa Ian Gillan berencana akan mengumumkan secara langsung pada saat Dream Theater menggelar Top of the World Tour di Stadion Manahan, Solo, 10 Agustus 2022. Akan tetapi dikarenakan perbedaan waktu, rencana tersebut urung dilakukan.
Sekira satu setengah bulan sebelum 10 Maret 2023, Anas lalu menyodorkan sebuah gagasan – menurut saya ini ide gila – yakni menghadirkan King of Dangdut sebagai kejutan. Sebab, “Hanya Rhoma Irama yang layak untuk membuka reuni Deep Purple dengan God Bless,” katanya sumringah melalui selular. Meski tidak tertulis, ada semacam perjanjian antara Rajawali Indonesia dengan pihak Soneta untuk tidak mempublikasikan rencana kemunculannya sampai datangnya hari pertunjukan.
Semula Rhoma Irama diminta menyanyikan “Indonesia Raya” seperti yang dilakukan Dewa Budjana saat pembukaan konser Dream Theater. Namun dalam perkembangannya menjadi dua lagu, dan akhirnya menjadi empat lagu. Ada pun pengumandangan lagu kebangsaan kita kemudian dipandu oleh Joko Murtanto, sahabat difabel sekaligus sosok yang aktif menolak keterbatasan dalam berkarya.
Menyoal viral video seorang yang diduga kru Deep Purple mendatanginya ketika Rhoma Irama memainkan intro “Smoke on the Water”, bisa mengundang multi tafsir. Pro kontra itu wajar. Namun sejauh yang saya pahami, didatangi atau tidak, Rhoma Irama memang harus segera berpindah dari intro lagu itu pada “Nafsu Serakah” karena konsepnya semata gimmick.
Di Indonesia, level popularitas “Smoke in the Water” (Deep Purple Mark II) hanya bisa ditandingi oleh “Soldier of Fortune” (Deep Purple Mark III). Adalah lagu itu pula yang pertama kali didengar oleh Fajar Satritama pada masa kanak-kanaknya. Saat itu secara kebetulan dirinya berjalan melewati toko musik. Merasa tertarik, dia segera mendatangi toko yang menjadi sumber suara. Si pelayan lantas menyorongkan sebuah kaset.
“Kaset itu adalah album Made In Japan,” ungkapnya.
Pada akhirnya kemunculan Rhoma Irama menjadi alasan untuk menabalkan pertunjukan malam itu sabagai peristiwa penting dalam sejarah panggung musik Indonesia.
Seperti diketahui, pada pertengahan 1970-an musik rock dan dangdut pernah dibenturkan oleh pemberitaan sebuah media cetak hingga terjadi permusuhan antar kedua massa musik tersebut.
Konflik dianggap selesai dengan penampilan satu panggung antara God Bless dan Rhoma Irama pada 1977. Pertemuan kedua dedengkot ini kemudian berulang kembali pada 1985 dan 2021.
Dalam konteks pertautan rock dengan dangdut, Rhoma sendiri secara terbuka mengakui bahwa konsep musik Soneta Grup banyak terinspirasi oleh Deep Purple. Pengaruh tersebut menyebar di sejumlah lagu, termasuk pada empat judul yang dimainkannya malam itu: “Nafsu Serakah”, “Seni”, “Badai Fitnah” dan “Hari Berbangkit”. Setelah notasi, sound gitarnya pun disamakan, setidaknya menyerupai, dengan sound milik Ritchie Blackmore. Maka, pada lagu-lagu Soneta-lah sebenarnya diksi pertemuan budaya itu layak disematkan.
Rhoma Irama, juga Abadi Soesman, ikut menonton di antara 70 ribuan massa ketika berlangsung dua hari yang mencekam dan penuh kerusuhan di Stadion Gelora Bung Karno itu. Seperti diketahui, God Bless batal tampil di hari pertama.
“Saya akhirnya menonton dari panggir panggung sama teman-teman lain,” kenang Achmad Albar.
Sukses dan penuh kejutan, moment silaturahmi rakyat cadas pada pergelaran Deep Purple – World Tour 2023 nampaknya sulit untuk diulang. Sejarah baru yang akan terus dikenang. (*)
Foto image : Evan Antono.