Oleh Denny MR
KamarMusik.id. Berdiri menghadap cermin, Achmad Albar berulang kali merapikan jaket warna hitam yang membungkus tubuh rampingnya. Suasana di dalam dressing room sepi. Hanya ada saya dan vokalis God Bless tersebut. Personel lain telah beringsut ke belakang panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki – Jakarta, yang terletak tepat di atas tempat kami berada.
Hari itu, Selasa 26 Desember 2023, mereka dijadwalkan tampil dalam konser bertema Back to ’73 yang menjadi bagian dari rangkaian Everyday Festival. Tahun 1973 mengacu kepada penampilan perdananya di Teater Terbuka, 5 dan 6 Mei – kini bernama Teater Jakarta. Itulah kali pertama nama God Bless resmi diproklamirkan. Personelnya: Achmad Albar (vokal), Ludwig Lemans (gitar), Donny Fattah (bass), Yockie Suryo Prayogo (keyboard) dan Fuad Hassan (drum).
Dalam perhelatan berjudul “Rock’n Blues Season” itu ada dua penampil lain, yaitu Young Gipsys dan One Dee and the Lady Faces. Kelak gitaris Young Gipsys, Odink Nasution, bergabung dalam formasi God Bless diikuti kedua saudaranya, Debby dan Keenan Nasution. Ada pun One Dee and the Lady Faces dimotori oleh Kuswandi, musisi yang pernah menjadi personel Trio Bimbo bersama Iwan Abdurachman. Namun keduanya mengundurkan untuk membentuk grup sendiri bernama Kalikautsar.
“God Bless tampil dua malam berturut-turut, tapi penampilan hari pertama itulah yang kami jadikan hari kelahiran,” kata Donny Fattah suatu ketika.
Yang menarik, meski sebagai embrio yang baru lahir, mereka sudah menunjukkan keseriusan dengan mendatangkan musisi orkestra mulai dari violin, cello, saksofon hingga trompet hanya untuk memainkan satu lagu saja.
“Jelas mereka itu betul-betul berusaha agar shownya sukses meski pun harus membayar pemain luar. Pokoknya sukses,” tulis Bill/Zan Zappa dalam majalah Aktuil edisi no 122/ Mei 1973.
Kembali ke dressing room. Setelah merapikan jaket, pandangan Iyek – panggilan akrabnya – beralih pada dua buah gelang kulit yang melilit di lengan kanannya seraya meminta pendapat: “Kalau pakai dua gini nggak terlalu mencolok kan?”
Iyek bukan tidak menyadari keberadaannya sebagai ikon band rock, namun tidak pernah mau dirinya terlihat lebih menonjol. Pertanyaan tentang gelang hanya indikasi kecil bahwa dirinya tetaplah bagian dari sebuah entitas.
Sikap merendahnya ini bukan hanya berlaku di atas panggung, melainkan hingga kesehariannya. Setiap kali pihak manajemen mengabarkan permintaan wawancara dari sebuah media, ia selalu menanyakan terlebih dahulu apakah personel lain ikutan. Jika tidak, ia memilih untuk menolak. Achmad Albar adalah alasan label Pramaqua (kolaborasi Prambros dan Aquarius) ketika mengontrak God Bless untuk rekaman album perdana pada 1975.
“Waktu itu kami tidak terlalu mengenal God Bless,” kenang Soejoko, pendiri PT Aquarius Musikindo. “Kami tahunya hanya Achmad Albar dan dia lagi ngetop-ngetopnya.”
Secara pribadi Soerjoko tidak terlalu mengenal Achmad Albar. Ia justru memiliki kedekatan dengan Ian Antono. Mereka teman sepermainan ketika masih sama-sama tinggal di Malang.
Setelah merilis debut album pada 1 April 1976, tawaran main film membanjir. Namun lagi-lagi Iyek mengajukan syarat bahwa personel lain harus ikut serta. Karena hal ini, beberapa kesempatan terlewatkan.
Garis-garis di wajahnya menyimpan perjalanan panjang penuh liku saat bercerita tentang pengalamannya tampil pertama. Hanya Albar seorang personel yang tampil di tempat yang sama pada setengah abad yang lalu. Donny Fattah, karena kesehatannya, terpaksa absen. Untuk sementara posisinya diisi oleh Arya Setyadi (bass). Tidak mudah baginya mengisi kekosongan rhythm section. Selain karakter permainan Donny Fattah sangat signature, Arya pun harus berbagi peran dengan Ian Antono sebagai backing vocal (baca: Perayaan Napak Tilas God Bless).
God Bless beberapa kali mengalami hiatus dikarenakan berbagai faktor. Akan tetapi sekian kali pula mereka bangkit kembali dengan semangat yang sama. Belasan musisi kenamaan silih berganti ikut menorehkan sejarah dalam perjalanan karir band rock tersebut. Sebagian di antaranya telah wafat seperti Fuad Hassan, Soman Lubis, Deddy Stanzah, Dodo Zakaria, Deddy Dores dan Yockie Suryo Prayogo.
Badai terdahsyat datang ketika terjadi peristiwa yang dikenal dengan ‘Tragedi Pancoran’, 9 Juli 1974. Fuad Hassan dan Soman Lubis tewas dalam tabrakan maut di bilangan Pancoran, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Soman Lubis sebenarnya sudah mengundurkan diri sebagai keyboardis. Pada hari nahas tersebut ia berangkat dari Bandung ke Jakarta untuk berpamitan kepada teman-temannya.
Dengan membonceng sepeda motor yang dikemudikan Fuad, Soman menuju jalan Pegangsaan Barat 12, Menteng, Jakarta Pusat, dengan maksud sekadar ikut menonton God Bless latihan. Itu adalah rumah keluarga Keenan Nasution.
Lalu pada 2007 Achmad Albar terjerat kasus narkoba di tengah persiapan album baru. Personel lain sempat berpikir untuk melakukan proses isi vokal di dalam lapas dengan membawa perangkat rekam. Namun ternyata pelaksanaannya tidak semudah yang dibayangkan. “Kalau bukan Iyek yang ngisi vokal gue nggak bisa jamin hasilnya. Apes-apesnya God Bless terpaksa dibubarkan,” cetus Ian Antono sepulang dari Mabes Polri.
Selepas menjalani masa hukuman, Achmad Albar langsung bergabung untuk menyelesaikan pekerjaan yang tertunda. Album tersebut kemudian diberi judul 36th dengan drummer Yaya Moektio. Secara komersil, penjualannya tidak sukses. Yaya Moektio mengundurkan diri.
Dalam sebuah kesempatan saya sempat mengusulkan agar God Bless mulai mengurangi membawakan lagu-lagu yang cepat dan keras, dan sebaliknya mempertimbangkan konsep panggung yang lebih intimate. Toh, mereka tidak perlu membuat pembuktian lagi. Bukankah band rock seperti Yes sudah meninggalkan lagu seperti “Machine Messiah” atau Deep Purple yang tidak pernah lagi membawakan “Child In Time”. Namun rupanya ide ini tidak sexy bagi mereka.
“Kalau memainkan format akustik emosi gue nggak bisa lepas. Bermusik itu harus enjoy,” kilah Ian Antono.
Lagu-lagu bernuansa balada dihadirkan lebih untuk keperluan dinamika panggung. Semacam jeda untuk mengambil napas. Oleh karena itu mereka tidak ambil pusing saat pertama kali memasukkan “Panggung Sandiwara” dan “Syair Kehidupan” yang sebenarnya merupakan materi album solo Achmad Albar. Dan, dalam perjalanan waktu, kedua judul tersebut seolah menjadi lagu wajib di setiap pertunjukan.
Beberapa tahun kemudian konsep akustik akhirnya terwujud dalam album Live At Aquarius Studio yang dirilis dalam format digital.
Sesering mengalami pergantian formasi, begitu pun berbagai cobaan dan rintangan datang menerpa. Namun dengan caranya yang misterius solusi selalu menemukan jalannya atas nama eksistensi. Saat mengalami kekosongan dengan mundurnya Teddy Sujaya, sosok Gilang Ramadhan muncul mencairkan kebekuan. Karakter pukulannya yang nge-jazz membuat aransemen lagu-lagu God Bless terdengar aneh. Meski tidak sampai menjadi personel resmi, Gilang Ramadhan dianggap sebagai dewa penolong dalam periode ini.
God Bless kembali menderu pasca bergabungnya Fajar Satritama dan Arya Setyadi. Momentumnya berlangsung dalam perhelatan Java Jazz , 2 Maret 2012, di Hall JiExpo Kemayoran Jakarta. Teknik pukulan Fajar yang keras dan stabil berkontribusi besar dalam menjaga aura God Bless sebagai band rock yang agresif di atas panggung. Sementara postur Arya Setyadi dengan rambut gondrongnya juga ikut mengirimkan kesan gahar.
Dengan usia personel rata-rata berkepala tujuh, diksi generasi menolak tua seperti menemukan wujud konkretnya. Latihan rutin dijalani secara spartan, ada mau pun tidak ada jadwal manggung. Terkadang berlangsung hingga larut malam dikarenakan Fajar Satritama masih harus melaksanakan ‘tugasnya’nya sebagai direktur sebuah bank swasta. Pertanyaan: “Latihan lagi kapan?” adalah encore dari Achmad Albar yang terdengar sayup di tengah pergantian malam menuju pagi.
Bukan peristiwa aneh jika raut mukanya kadang terlihat berkerut mengamati songlist yang akan dinyanyikannya. Lalu mengubah susunan lagu tertentu untuk dinaikkan posisinya lebih awal atau sebaliknya. Ia tidak menelan mentah-mentah materi yang telah disiapkan oleh pihak management. Sementara itu Ian Antono tidak jarang tiba-tiba muncul sendirian di tengah persiapan sound check, lalu memeriksa peralatannya padahal para personel belum dipersilakan datang. Jika urusan sound check selesai ia akan menutupnya dengan kata kunci: ” Gitar gue bawa ke hotel, ya!”
“Kami tidak bisa mengerjakan pekerjaan lain kecuali bermusik,” kata Donny Fattah. Seperti diketahui, salah satu pilar God Bless ini berusaha keras tetap tampil meski hanya sebatas membawakan satu atau dua lagu. Kondisi tubuhnya memang ringkih namun semangatnya bicara lain.
Dengan sikap bermusik seperti itu God Bless hadir dan berkelindan di panggung lintas genre selama 50 tahun. Tampil dengan kelompok musik yang personelnya seusia anak atau bahkan cucunya bukan perkara baru. Mereka hadir dari generasi ke generasi. Bermusik yang semula sekadar hobi telah bermetamorfosa menjadi profesi dan medium pemenuhan batin. “God Bless, Inspirasi Rock Indonesia,” seperti ditulis oleh pengamat musik Denny Sakrie dalam blognya yang diupload pada 29 Agustus 2014.
Thomas Ramdhan, bassist GIGI, punya cerita unik. Ia mengaku pertama kali nonton God Bless dan Superkid di sebuah pesta perkawinan di kampung halamannya, Majalaya. Dirinya masih duduk di sekolah dasar dan menyaksikan pemandangan luar biasa tersebut dari atap rumahnya. Sejak saat itu kekagumannya tumbuh.
“Nggak ada God Bless nggak ada band rock di Indonesia,” katanya. (*)
Foto image: Instagram @ipeipe2201
Perayaan Napak Tilas God Bless
Oleh Riki Noviana
KamarMusik.id. Setiap festival membawa cerita dan kenangan tersendiri. Bisa melalui musik yang kita temukan maupun sejarah yang kita saksikan. Melihat seorang musisi, secara langsung, memberi energi kepada penonton dan menerimanya kembali adalah salah satu hal hebat tentang musik live.
Secara khusus, hakikat dari sebuah pertunjukan musik rock adalah penonton yang agresif. Di sana ada teriakan, lompatan, bahkan tidak jarang “amukan”. Musisi dan penggemar itu ibarat medan magnet. Mereka bisa saling tarik, bisa juga saling melontarkan. Tapi, yang terjadi di Everyday Festival justru agak lain.
Penonton yang menghadiri Graha Bhakti Budaya Concert Hall di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta Pusat pada 26 Desember malam hanya “diizinkan” untuk duduk manis. Sadar tak sadar, aksi nyaris pasif itu sedikit menular pada penampilan God Bless.
Vokalis Achmad Albar beberapa kali duduk di depan drum kit Fajar Satritama. Iyek – sapaan sang vokalis – malam itu, ada kalanya juga menurunkan satu oktaf untuk mengakomodasi nada-nada yang tidak dapat lagi dia capai.
Usia mungkin membuat God Bless sedikit layu. Tapi, apa yang diperlihatkan God Bless tak lepas dari konsep konser indoor berkursi yang dibuat penyelenggara. Dan penonton pun harus tunduk pada rambu-rambu yang diterapkan pemilik acara, SajiLive!.
Bisa jadi, penyelenggara bermaksud menghadirkan keintiman antara band dengan penggemar. Tapi, faktanya, penonton seperti terisolasi. Band jadi kurang aksi. Apalagi pendingin ruangan juga bikin mengigil. Kenyamanan penonton pun tereduksi.
Oke, Iyek sempat berlari kecil dalam lagu “Bis Kota”. Lantas turun panggung pada lagu “Panggung Sandiwara” dan “Rumah Kita”. Di usianya yang ke-78, Iyek masih mencoba untuk mempertahankan substansi dari sikap sejati rock and roll-nya. Layak diapresiasi setinggi langit!
Dia terus tersenyum, menyapa penonton, sesekali bercerita soal latar belakang lagu yang akan dia nyanyikan. Lantas berteriak lantang: “Kau pikirkan!!!” menutup lagu “Kehidupan”.
Tapi, terlepas dari aksi diam penonton itu, inti dari God Bless sama sekali tidak berubah. Apa yang dihidangkan superstar nasional ini selama lima dekade adalah sesuatu yang coba ditiru oleh banyak band rock di Indonesia – dari Slank hingga Kotak.
Dan khusus penampilannya kali ini, God Bless menapaktilasi karier mereka yang tergurat di Taman Ismail Marzuki 50 tahun silam. Di tempat inilah nama God Bless sebagai sebuah band untuk pertama kalinya diperkenalkan kepada publik.
Pada 5 dan 6 Mei 1973, Iyek dan personel awal untuk pertama kalinya tampil dengan nama God Bless, band yang 50 tahun kemudian dikenal sebagai legenda rock Indonesia.
“Pada tahun 1973, kami tampil dua hari di sini dan mendapat sambutan baik dari para penonton. Senang rasanya bisa kembali ke tempat ini, Taman Ismail Marzuki,” tutur Iyek di sela-sela lagu.
Sayangnya, kali ini Taman Ismail Marzuki harus memanggungkan God Bless tanpa pemimpin Donny Fattah yang masih sakit dan seperti biasa posisinya digantikan Arya Setyadi.
Jujur saja, tanpa Donny Fattah, God Bless jadi band yang sama sekali berbeda dari band yang memainkan hal yang sama saat sang bassis masih bugar. Ada yang hilang pada lagu “Musisi”, “Balada Sejuta Wajah”, dan “Syair Kehidupan”. Itu adalah vokal falsetto yang jadi latar lagu-lagu yang disebutkan tadi.
Dalam percakapan santai di belakang panggung Bengkel Space, SCBD, Jakarta, saat God Bless hendak tampil satu panggung dengan Soneta Group pada pengujung 2021 silam, Arya menuturkan bahwa menggantikan peran Donny Fattah sebagai vokalis latar adalah hal yang tidak mudah.
“Menghafal dan memainkan lagu God Bless tidak sesulit menggantikan backing vocal Mas Donny. Mecah suara sama Mas Ian itu yang sulit dan butuh waktu lama,” kata Arya, yang lantas terbukti pada penampilan God Bless saat itu dan di Taman Ismail Marzuki.
Tapi, apapun itu, penampilan God Bless dengan formasi Achmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Abadi Soesman (keyboard), Fajar Satritama (drum) dan Arya Setyadi (bass) tetaplah luar biasa. “Bla… Bla… Bla…”, “Menjilat Matahari”, “Kehidupan”, dan “Semut Hitam” dilebur dalam dosis rasa yang begitu pekat sehingga seolah-olah membuat dunia berkobar. Tidak peduli betapa berbedanya Everyday Festival dibandingkan dengan festival musik lain yang ada di Indonesia, karena tema “Back to 73” benar-benar sebuah perayaan napak tilas yang mulia bagi God Bless. (*)
Foto-foto: Evan Antono.