Oleh Riki Noviana
KamarMusik.id. KISS menampilkan konser terakhirnya secara fisik di Madison Square Garden pada 2 Desember 2023 dalam tur perpisahan End of the Road. Meski begitu, band rock legendaris ini mengumumkan bahwa mereka akan terus melanjutkan karier di atas panggung dalam bentuk avatar virtual.
Malam itu setelah tirai raksasa dibuka untuk memperlihatkan KISS bermain dari platform besar yang digantung di atap, mereka memulai pertunjukannya dengan lagu Detroit Rock City. Band yang terkenal dengan riasan wajahnya ini menyuguhi para penggemar dengan banyak atraksi yang mencengangkan. Mulai dari Gene Simmons mengembuskan napas api saat membawakan I Love It Loud. Sang bassis juga meludahkan darah saat melakukan solo dalam Makin’ Love. Lantas, gitaris Thommy Thayer serta vokalis Paul Stanley berduel satu sama lain.
Paul Stanley juga melakukan akis zip-line (luncur gantung) di antara penonton untuk beralih ke panggung lain di mana dia menampilkan I Was Made For Lovin You dan Black Diamond. Lalu, sesi encore pun penuh kejutan di mana KISS memainkan tiga lagu. Mereka memulai dengan Beth, di sini drumer Eric Singer memainkan grand piano dan diangkat ke atas panggung untuk menyanyikan lagu tersebut. Kemudian disusul Do You Love Me yang diakhiri dengan hujan balon yang ditaburkan dari atas stadion.
Namun, Rock and Roll All Nite lah yang memberikan kejutan terbesar malam itu. Menyusul ledakan kembang api klasik dan pyrotechnics serta bantingan gitar Stanley, terdengarlah sebuah pesan penting. “Kami tidak akan pergi ke mana pun, kalian akan melihat kami dalam berbagai hal, setiap saat. Sampai jumpa dalam mimpi kalian. Kami mencintai kalian, selamat malam,” seru Paul Stanley.
Kuartet rock ini meninggalkan panggung untuk memasuki era sebagai band virtual. Akhirnya, malam itu benar-benar berakhir dengan God Gave Rock and Roll to You II, yang dibawakan oleh avatar virtual KISS.
Avatar itu dibuat oleh perusahaan SFX milik George Lucas, Industrial Light & Magic, bekerja sama dengan Pophouse Entertainment Group yang didirikan bersama oleh Björn Ulvaeus dari ABBA. Kedua perusahaan ini sebelumnya bekerja sama untuk membuat konser virtual ABBA Voyage di London, yang juga menampilkan grup asal Swedia tersebut tampil sebagai avatar digital.
Diluncurkan pada Mei 2022, konser virtual ABBA menampilkan empat anggotanya — Agnetha Faltskog, Benny Andersson, Bjorn Ulvaeus, dan Anni-Frid Lyngstad — yang berubah wujud menjadi “ABBAtars” digital. Konser digital yang dipentaskan di ABBA Arena yang dibangun khusus di Queen Elizabeth Park, London, tersebut memerlukan waktu pemrosesan lebih dari satu miliar jam, dan para anggota ABBA menghabiskan lima jam sehari di depan 160 unit penangkap gerak selama sebulan.
Bukan cuma KISS, dalam wawancara dengan Matt Wilkinson di Apple Music 1, Keith Richards juga mengisyaratkan tentang kemungkinan The Rolling Stones jadi band virtual seperti ABBA.
“Ya, saya tentu tidak akan mengesampingkan hal itu. Saya cukup yakin bahwa hal itu pasti akan terjadi. Apakah saya menginginkannya? Sekarang, itu hal lain,” kata gitaris berusia 80 tahun ini. “Tapi saya tidak tahu jika saya ingin bertahan cukup lama, kawan. Tapi pada saat yang sama, itu tidak tergantung kepada saya, bukan?”
Rekan seband Richards, Mick Jagger, juga pernah menyinggung kemungkinan Stones melakukan “tur setelah kematian” ketika berbicara kepada The Wall Street Journal. “Kamu bisa memiliki bisnis anumerta (setelah kematian) sekarang, bukan?” kata penyanyi delapan abad itu. “Kamu bisa mengadakan tur setelah mati. Teknologinya sudah benar-benar maju sejak konser ABBA, yang seharusnya saya hadiri, tapi saya melewatkannya.”
Pada Juli 2022, Jagger juga ditanya oleh Matt Wilkinson di Apple Music 1 bagaimana dia berencana memastikan warisan Stones tetap hidup dalam 50 tahun ke depan atau lebih. “Bodoh sekali jika saya memberi Anda jawaban satu baris saja, karena sejujurnya saya belum memikirkannya,” ungkap sang vokalis, ketus.
“Permasalahan ABBA memberi kamu terobosan teknologi yang sesungguhnya belum pernah saya tonton. Saya seharusnya pergi dan menonton (pertunjukan itu), tetapi ada aksi mogok kereta api. Jadi saya tidak sempat pergi. Saya tidak bisa naik kereta, tapi… lalu lintasnya sangat buruk, jadi saya tidak bisa menjawabnya.”
Bicara soal tur anumerta seperti yang disinggung Jagger, kebanyakan artis virtual memang muncul setelah yang bersangkutan meninggal. Seperti halnya Ronnie James Dio. Legenda rock itu tutup usia pada 2010 di usia 67 tahun karena kanker perut. Hologram sang penyanyi dibuat oleh sebuah perusahaan bernama Eyellusion dan memulai debutnya di festival Wacken Open Air pada Agustus 2016 di depan lebih dari 75 ribu penggemar.
Produksi hologram Dio menggunakan audio penampilan live Ronnie sepanjang kariernya, dengan band DIO bermain live yang terdiri dari Craig Goldy pada gitar, Simon Wright pada drum, dan Scott Warren pada kibor, serta Bjorn Englen pada bass. Turut tampil bersama mereka adalah mantan vokalis Judas Priest, Tim “Ripper” Owens dan mantan pentolan Lynch Mob, Oni Logan.
Istri sekaligus manajer Ronnie, Wendy, mengatakan bahwa hologram suaminya itu adalah sebuah eksperimen yang mendapat tanggapan beragam dari para penggemar. Wendy membahas status hologram Ronnie tersebut saat tampil dalam salah satu episode Interviewing The Legends With Ray Shasho, November 2023.
“[Hologramnya] berfungsi untuk sementara waktu. Itu 50-50 — [50 persen] orang menyukainya, 50 [persen] orang membencinya. Itu sudah selesai,” kata Wendy. “Itu adalah eksperimen. Kami melakukannya. Saya pikir itu berhasil dengan baik pada saat itu. Tapi saya tidak akan melakukannya lagi.” Lebih jelasnya, Wendy mengatakan, untuk “menghadirkan Ronnie” ia berencana untuk menampilkan band tribute resmi Dio, yakni Dio Disciples.
Di Indonesia, konser Chrisye Live Tour 2019 “menghadirkan” kembali Chrisye di tengah para penonton melalui teknologi multimedia yang diiringi musik orkestra yang dipandu oleh Erwin Gutawa. Untuk konsep visual Chrisye yang “hadir” dalam konser tersebut, diambil dari beberapa rekaman dirinya di konser-konser yang pernah dilakukan. Suara rekaman Chrisye tersebut diiringi aransemen musik Erwin Gutawa secara live di panggung. Sosok Chrisye ditampilkan di layar LED di panggung, seolah-olah dirinya hadir di tengah penonton.
Konser untuk merayakan 25 tahun Glenn Fredly berkarya gawean Premier Live Productions dan perusahaan yang didirikan Glenn Fredly yakni Bumi Entertainment pada 24 Juni 2023 di Beach City International Stadium, Ancol, Jakarta Utara juga demikian.
Bertajuk “Glenn Fredly: 25 Years of Music”, konser ini menampilkan sosok Glenn Fredly dalam balutan teknologi hologram. Selain itu, untuk mengobati rindu para penggemar peraih AMI Lifetime Achievent Award tahun 2022 itu, digunakan pula bantuan artificial intelligence (kecerdasan buatan) dan computer generated imagery guna menampilkan sosoknya.
“Walaupun Bung Glenn sudah tiada, dengan menggunakan kecanggihan teknologi dan mengolaborasikan konsep dari tim Bumi Entertainment dan tim Premier Live Productions, tiba juga pada waktunya untuk menerjemahkan diskusi tersebut menjadi sebuah perayaan yang akbar,” kata Ryan Novianto, penggagas perayaan “Glenn Fredly: 25 Years of Music” dan juga COO dari Premier Live Productions dalam keterangan resmi.
Konser ini melibatkan para musisi Indonesia lintas generasi yang memberikan penghormatan berupa penampilan dalam sesi tribute, dan tentu ada sesi spesial “kembalinya” sosok Glenn Fredly dalam bentuk holographic performance secara utuh. Glenn Fredly meninggal di usia 44 tahun pada April 2020 karena penyakit radang selaput otak atau meningitis.
Topik dari argumen di atas sebenarnya tak terlalu baru. Salah satu contoh paling awal adalah Alvin and the Chipmunks yang telah merilis banyak lagu sejak 1959. Tapi mungkin salah satu contoh terbaik penerapan mainstream artis virtual datang dalam bentuk Gorillaz, sebuah band virtual yang dibentuk pada 1998 oleh musisi Damon Albarn dan artis Jamie Hewlett.
Personel band ini terdiri dari empat anggotanya yang digambarkan secara animasi fiksi, yakni “2-D” Pot, Murdoc Niccals, Noodle, dan Russel Hobbs. Dalam beberapa kesempatan, mereka tampil melalui video musik berformat CG (Computer Generated) atau animasi fiksi. Dalam setiap sesi wawancara, mereka kerap tampil dalam wujud kartun. Lagu berjudul Feel Good Inc dari album debut band ini bahkan meraih triple platinum di Inggris dan double platinum di Eropa dan membuat grup ini masuk dalam Guinness Book of World Records sebagai Band Virtual Paling Sukses.
Di Asia, ada nama Hatsune Miku, yang diciptakan sebagai produk sampingan dari pengembangan voicebank perangkat lunak sintetis, dan melakukan acara langsung di Jepang sebagai hologram. Dalam setiap penampilannya, Miku bernyanyi dengan teknologi synthesizing. Suara yang dimiliki Miku diambil dari suara Saki Fujita (藤田 咲 Fujita Saki), seorang pengisi suara dari Jepang. Hatsune Miku juga tampil dalam proyeksi hologram pada beberapa panggung konser, layaknya penyanyi sungguhan.
Miku pernah konser di Indonesia dan menghibur para penggemarnya pada 11-12 Oktober 2018. Dalam penampilannya, Miku bisa berinteraksi dalam bahasa Indonesia dan menyanyikan sejumlah lagu terkenalnya, mulai dari Senbonzakura dan Venus di Ujung Jari.
Kemudian ada Polar, artis virtual yang mengumpulkan lebih dari satu juta pengikut TikTok dan 300.000 pelanggan YouTube dalam waktu kurang dari 5 bulan sejak diciptakan.
Seringkali musik yang mereka hasilkan sebenarnya merupakan karya manusia, namun seiring dengan kemajuan teknologi AI, kita pasti akan melihat segala sesuatunya menjadi lebih maju, beralih dari pendekatan yang ada saat ini di mana para artis pada dasarnya adalah pentolan musik yang diciptakan oleh musisi sungguhan di baliknya. adegan-adegan tersebut, yang kemudian terhubung dengan AI yang memproduksi musik berdasarkan masukan yang diberikan oleh tim, dan akhirnya ‘artis virtual’ itu sendiri.
Ketika industri terus merangkul teknologi dan bergerak lebih dekat ke metaverse yang sering menghipnotis, kita mulai melihat semakin banyak contoh artis virtual yang tampil di depan panggung, mengumpulkan banyak pengikut, dan menimbulkan kontroversi saat mereka melakukannya.
Artis virtual pada dasarnya adalah persona penyanyi atau grup buatan yang direpresentasikan dalam bentuk visual. Persona ini sering kali dikelola oleh tim yang terdiri dari orang-orang di belakang layar, namun interaksi dengan penonton diposisikan sebagai interaksi langsung dengan artis.
Band virtual ini membuat terobosan baru dan menjadi studi kasus yang baik untuk banyak konsep yang sedang dimainkan oleh seniman virtual saat ini, seperti menciptakan dunia virtual, kemitraan merek, dan kesulitan yang timbul dalam tur langsung dan cara Anda melakukan presentasi artis virtual kepada penonton langsung.
Meskipun kesuksesan dalam industri musik dapat diperoleh oleh artis virtual, pada awalnya respons publik tidak terlalu masif. Namun, beberapa tahun kemudian terlihat perkembangan pesat dengan banyaknya contoh dari artis-artis ini yang membangun pengikut dalam waktu singkat dan label-label besar bergegas untuk mengontrak mereka. Gelombang ini menarik nilai investasi yang luar biasa.
Salah satu faktor terbesar yang mendorong minat tersebut adalah ledakan kesadaran dan investasi di metaverse, dengan semakin populernya konser dan festival virtual dan menciptakan tingkat keterlibatan yang membuat label rekaman berebut untuk mendapatkan bagiannya.
Teknologi juga pengembangan 3D jauh lebih mudah diakses dan meminimalisir hambatan untuk masuk ke bidang ini, yang berarti lebih mudah untuk memenuhi tuntutan meningkatnya minat. Hasilnya, banyak perusahaan baru yang ingin memfasilitasi, seperti Ready Player Me, Genies, dan Metahuman dari Unreal Engine.
Setiap orang bebas beropini mengenai apakah seniman virtual itu baik atau buruk. Sebagian bisa melihatnya sebagai kehancuran seni, sebagian lagi bisa saja menerimanya sebagai terobosan. Ketika teknologi mengubah suatu industri, selalu ada penolakan, namun pada akhirnya adopsilah yang menentukan apa yang diinginkan masyarakat.
Generasi berbeda akan memberikan reaksi yang berbeda-beda pula. Satu hal pasti, banyak perusahaan di bidang ini sangat berfokus pada generasi muda yang lebih banyak mengkonsumsinya melalui dunia dunia maya.
Ke depan diperkirakan akan ada lebih banyak lagi seniman virtual yang mengadopsi model ‘hibrida’ agar bisa eksis. Namun sampai pada titik ini keberadaan masa depan seniman virtual masih sulit diprediksi.
Kita telah melihat contohnya, salah satunya adalah pengembangan avatar virtual WarNymph oleh Grimes. Masih ada kalangan musisi yang kesulitan melihat lebih jauh manfaat avatar-avatar kartun itu dan hubungannya dengan karya mereka.
Tapi, bagi KISS dan The Rolling Stones, yang sudah menginjak usia senja, jadi band virtual adalah pilihan paling tepat mengingat mereka juga layak untuk diabadikan. Seperti kata Paul Stanley dan Gene Simmons kepada NME.
“Apa yang telah kami capai sungguh luar biasa. Band ini layak untuk terus hidup. Sangat menyenangkan bagi kami untuk melangkah ke fase berikutnya dan melihat KISS diabadikan,” kata Stanley.
“Teknologi ini akan membuat Paul melompat lebih tinggi dari yang pernah dia lakukan sebelumnya,” tambah Simmons.
Sementara itu Mick Jagger dengan tegas mengatakan kemajuan teknologi semakin memudahkan semua pihak, khususnya yang bergerak di industri musik, sehingga kita hanya perlu mengikuti alurnya saja.
“Kita sudah berada di dunia AI dan Anda juga dapat melakukan banyak hal musikal dengan komputerisasi yang tidak terlalu rumit,” katanya.
Dengan mencerna pernyataan ketiga musisi legendaris ini, setidaknya kita dapatlah menerka-nerka bagaimana masa depan avatar virtual dalam konteksnya dengan industri musik di Indonesia. (*)
Foto image: KISS Online.