Kamarmusik.id. Aksi teatrikal Amon Amarth sungguh epik dan penampilan powerfull Trivium benar-benar berisik. Tapi, Slipknot tetap bintangnya Hammersonic.
Amon Amarth membuka line up sesi malam Hammersonic Festival pada Minggu, 19 Maret di Carnaval Ancol, dengan lagu “Guardians of Asgaard”. Tampil di Empire Stage yang merupakan pangung utama dari empat panggung yang disediakan promotor Ravel Entertainment, aksi band Swedia ini membuat penonton takjub. Apalagi, pemandangan semesta tampak begitu indah. Momen pergantian sore ke malam hari diiringi awan yang menghitam menutup cahaya matahari yang semula terik. Cakrawala menguning dalam nuansa temaram langit Skandinavia.
Menebarkan lagu-lagu bergenre melodic death metal yang jadi merek dagangnya selama ini, penampilan Amon Amarth terasa paripurna dengan dukungan visual kolosal. Jual beli skill gitar Olavi Mikkonen dan Johan Söderberg juga membuat nuansa Skandinavia itu semakin kental.
Namun satu-satunya ‘masalah’ band yang terbentuk sejak 1992 ini adalah justru tampil terlalu rapi. Penampilan vokalis Johan Hegg dkk kurang rusuh, sehingga sebagian metalhead yang menempati area tengah ke belakang memilih untuk menonton dengan khusyuk.
Mereka baru benar-benar terhipnotis ketika Johan mengajak penonton mendayung bersama dalam lagu “Put Your Back Into the Oar”. Ibarat para pejuang Skandinavia yang mengarungi lautan dengan menggunakan perahu besar. Aksi ‘heroik’ ini membawa kita pada film petualangan bertema Viking.
Ya, Viking, row pits dan menenggak minuman dari gelas tanduk banteng adalah rangkuman dari aksi Amon Amarth malam itu.
“Menjadi Viking secara teknis adalah deskripsi pekerjaan, dan Viking tidak benar-benar menyebut diri mereka Viking,” kata Johan dalam sebuah wawancara dengan media internasional belum lama ini.
“Tidak semua orang di Skandinavia adalah Viking. Jadi itu adalah pola pikir tentang bagaimana berperilaku satu sama lain, dan bagaimana berperilaku terhadap teman dan musuh, dan terhadap orang pada umumnya.”
Swedia adalah kiblat musik metal sejati dan scene melodic death metal tidak akan sama tanpa band-band yang berasal dari negara Skandinavia. Satu kalimat penutup untuk aksi Amon Amarth malam itu; epik!
Masih di panggung yang sama. Band asal Amerika Serikat, Trivium membuka aksinya dengan nomor bertajuk “Rain”. Tampil mengenakan kemeja batik, vokalis/gitaris Matt Heafy berusaha memanaskan venue yang sudah mendidih karena hawa menyengat lewat deretan lagu penuh distorsi yang mencabik.
Mengganti kemeja batiknya dengan jersey Timnas Garuda, Matt berkali-kali bicara dalam bahasa Indonesia. Dengan lantang dan berani, pria yang mengaku suka nasi padang ini menyapa para penggemarnya.
“Apa kabarmu?!!!” teriak Matt.
Ada momen yang tampaknya tidak terlalu disukai Matt malam itu. Dia kaget dengan keheningan yang ditunjukkan penonton pada jeda antarlagu. Musik metal itu harus disambut dengan gegap gempita, penuh energi, headbang dan juga moshing bukan?
“Lagu berikutnya, kalian harus membuat gerakan berlari berputar-putar. Kalau salah satu dari kalian terjatuh, bangun, ya!” pinta pria keturunan Jepang pemilik nama tengah Kiichi itu.
Di sela aksinya menggelontorkan “Amongst the Shadows & the Stones”, “Strife”, “The Sin and the Sentence”, “Down From the Sky”, “Like A Sword Over Damocles”, “To the Rats”, “The Heart From Your Hate”, “Capsizing The Sea”, dan “In Waves”, Matt juga berkali-kali meneriakkan sebuah kata yang lagi viral di negara kita.
“Terima kasih… Chuaks!”
Dalam bahasa gaul, kata chuaks punya arti buruk atau diibaratkan seperti sumpah serapah, makian yang memiliki makna seperti orang bodoh atau tolol.
Wah, kita dibilang tolol sama Matt Heafy? Tentu tidak! Ini hanya upaya sang frontman untuk mencairkan suasana agar terjalin komunikasi akrab dengan para penggemarnya. Sampai kemudian, “Pull Harder on the Strings of Your Martyr” didaulat sebagai penutup aksi ‘chuaks’ Trivium malam itu.
Menilai aksi band-band nomor wahid yang tampil satu panggung sebenarnya tidak adil. Amon Amarth, Trivium, dan Slipknot lebih pantas tampil dalam konser tunggal sehingga penonton punya persepsi sama dalam memberi ponten. Bagus atau jelek, tidak dibandingkan dengan band lain.
Dan Slipknot, sungguh jadi pusat perhatian. Bukan karena tampil menguras fisik, melainkan karena mereka entertainer sejati. Band asal Iowa ini memberi pembelajaran baru bagi dunia hiburan khususnya musik Indonesia dari berbagai lini. Produksi, visual, hingga aksi panggung.
Kehadiran Corey Taylor dkk di Hammersonic Festival bisa dibilang salah satu upaya transfer ilmu agar bisnis hiburan di Indonesia makin tumbuh dan berkembang ke depannya. “Disasterpiece”, “Wait and Bleed”, “All Out Life, Sulfur”, “Before I Forget”, “The Dying Song (Time to Sing)”, “Dead Memories”, “Unsainted”, “The Heretic Anthem”, “Psychosocial”, “Duality Custer”, “Spit It Out”, “People = Shit”, dan “Surfacing” dilontarkan lewat dukungan tiga faktor tadi: produksi sempura, visual memanjakan mata, serta aksi panggung nyaris tanpa cela.
Ketua Asosiasi Promotor Musik Indonesia (APMI), Dino Hamid mengatakan beberapa waktu lalu, kehadiran festival atau konser musik yang menampilkan musisi internasional memberi dampak positif, salah satunya soal transisi literasi pengetahuan industri musik.
Menurut dia, banyak sekali ilmu dari artis internasional yang bisa dicuri, antara lain strategi, konsep show, branding, komunikasi, maupun campaign yang dapat digarap secara serius sehingga promotor lokal bisa menghasilkan nilai yang dapat diapresiasi serta melakukan inisiatif baru. Dan Slipknot menyediakan semua itu. Perlu diketahui, Indonesia jadi satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang disambangi Slipknot setelah sebelumnya Corey Taylor dkk menjadwalkan tampil di beberapa negara tetangga.
Dalam konferensi pers yang digelar di Helen’s Bar, Jakarta dua pekan sebelum acara, perwakilan Hammersonic Festival, Naomi Claudya mengatakan bahwa pihaknya tidak memberikan hal spesial kepada Slipknot terkait pilihan mereka yang secara khusus datang ke Indonesia. Tapi, jika bicara riders, Slipknot minta untuk membawa pasukan keamanan sendiri yang terdiri dari US Marine.
“Mereka membawa sekuriti sendiri. Jumlah tim yang datang (termasuk personel) total 140 orang,” beber Naomi.
“Jadi, sebelum mereka tampil ada clear area sekitar satu jam. Selain sekuriti dari pihak kita, sekuriti dari mereka juga akan melakukan pengecekan secara detail,” ia menambahkan. “Sebetulnya bukan ribet sih. Tapi mereka saklek aja untuk urusan (keamanan) ini.”
Hammesonic kali ini digelar selama dua hari, 18 dan 19 Maret dengan total menampilkan 53 unit musik ‘perusak gendang telinga’. Selain Slipknot, Amon Amarth, dan Trivium juga ada Story Of The Year, Black Flag, Sinister, Stillbirth, Tiny Moving Parts, Vio-lence, Rocket Rockers, Deadsquad, Saint Loco, Burgerkill, dan banyak lagi lainnya. Mereka tampil di lima panggung berbeda yang disediakan Ravel Entertainment; The Beast Stage, Avalanche Stage, Hammer Stage, Sonic Stage, dan tentunya Empire Stage.
Beberapa jam sebelum Slipknot naik ke panggung, seorang maggot – sebutan fans fanatik Corey Taylor dkk – berbisik: “Sayangnya udah enggak ada Joey Jordison. Gue ngefans banget sama drummer yang satu ini. Aksi panggungnya gila, pukulannya membabi buta, skill-nya enggak perlu ditanya.”
Seusai konser, dia menyadari kekeliruannya. Di matanya, kini Slipknot bukan cuma tentang salah satu personel. Band yang terbentuk pada 1995 ini adalah satu kesatuan utuh. Mereka tetap dengan citranya yang menyedot perhatian penonton. Mengenakan topeng unik, gaya musik agresif, dan pertunjukan live energik serta semrawut.
Shawn “Clown” Crahan (perkusi, vokal latar), Michael Pfaff (perkusi, vokal latar), Craig “133” Jones (samples, media, kibor), Mick Thomson (gitar), Corey Taylor (vokal), Sid Wilson (turntables, kibor), Jim Root (gitar), Alessandro Venturella (bass), dan Jay Weinberg (drum) adalah sekumpulan musisi kaliber bintang lima yang menghidangkan paket premium sebuah pertunjukan musik ‘bising’.
Jakarta, make some noise!(*)
Foto – foto : Dokumentasi Hammersonic.