Albi, ibu kota Tarn yang memiliki luas 44 kilometer persegi, berjarak sekitar 680 km dari Paris dengan waktu tempuh 8 jam menggunakan jalan darat. Sebuah kota cantik yang akan membuat betah siapa pun karena lingkungannya amat rindang dengan sejumlah bangunan kuno yang dialihfungsikan sebagai butik atau toko. Albi dilengkapi oleh Pratgraussals, taman besar sisi danau untuk paddle board dan skate park. Di taman asri inilah pada 5 Juli 2023 berlangsung Pause Guitare, festival musik tahunan yang selalu menyedot pengunjung.
Panggungnya berukuran sedang namun terlihat kokoh. Dari salah satu sisinya kita bisa melihat Cathedral Gothic Sainte Cecile ( Cecilia, dalam katolik adalah pelindung musik dan musisi ) yang dibangun 1282.
Setelah sempat terhenti karena badai covid, festival Pause Guitare kembali berlangsung. Kali ini menghadirkan Ange, Shakaponk, Queens of the Stone Age dan Billy Gibbons. Dua nama terakhir inilah yang menjadi magnet bagi saya untuk hadir.
Kali ini Billy Gibbons ditemani Austin Hanks yang gitarnya berfungsi sebagai bass. Drummer Frank Beard absen mengingat kesehatannya sedang menurun. Mestinya hari itu posisinya digantikan oleh Matt Sorum, namun entah kenapa tidak jadi. Yang muncul kemudian adalah John Douglas, drummer baru Aerosmith – menggantikan Joey Kramer.
Jadi, bisa dibilang kemunculan Billy Gibbons saat itu tidak mengusung nama besar ZZ Top. Tetapi sebagai fan ‘That Little Ol’ Band From Texas’, formasi ini tetap memuaskan kerinduan.
Sosok John Douglas sendiri menarik disimak. Aslinya ia seorang desainer grafis yang biasa menggambar logo band untuk sejumlah bass drum. Karyanya telah bertebaran pada bass drum kelompok Kiss, Van Halen, RHCP, Pantera, Aerosmith dan banyak lagi.
Setelah menggebrak dengan Got Me Under Pressure, Gibbons menyambung dengan More More More dari album solo terbarunya, Hardware. Ia juga membawakan versi cover Rollin and Tumblin, blues klasik dari HW Newbern dengan tempo cepat irama Boogie. Sementara itu di sisi panggung terlihat Jon Theodore dan Josh Homme (Queens Of The Stone Age) asik nonton dari awal sampai akhir konser. Seperti diketahui, Josh Homme sangat mengidolakan Gibbons yang sempat mengisi gitar di lagu serta video klip Burn The Witch-nya Queens od the Stone Age.
Penonton digoyang dengan lagu klasik mereka Gimme All Your Lovin dari album Eliminator nya ZZ Top (1983). Berbicara tentang lagu ini selalu mengingatkan saya akan ‘perkenalan’ pertama dengan trio asal Texas itu. Tahun ’80-an saya pernah menyewa video Betamax berisi sejumlah grup hard rock dan metal seperti Whitesnake, Quiet Riot, Kiss, Judas Priest dan sebagainya. Eh, ternyata di dalamnya ada lagu ini dan Legs. Kedua aki-aki jenggotan yang badung ini memainkan gitar berbulu kemoceng dan joget ala Soneta. Norak sekali. Tapi, bukankah yang norak itu biasanya selalu melekat dalam ingatan?
Penampilan Billy Gibbons ditutup dengan hit kojo ZZ Top, La Grange, yang menjadi berdurasi panjang karena Gibbons mengimprove-nya dengan solo gitar. Untuk kakek berusia 73 tahun, ia termasuk fit dan terutama permainan gitarnya tidak membosankan. Ia tidak seperti kebanyakan gitaris blues yang cenderung bikin ngantuk. Tone, phrasing, pinch harmonic dan vokalnya lah yang bikin saya kepincut, well crafted. Memang tidak salah kalau dirinya termasuk ke dalam salah satu jajaran gitaris terbaik dunia.
Setelah Billy Gibbons usai tampil ada jeda sekitar 30 menit yang saya manfaatkan buat makan minum dan yang terpenting nyari booth merchandise.
Untuk sebuah acara musik yang penyelenggaraannya ditangani oleh pemda setempat, kemasan festival ini terbilang bagus. Selain panggung utama berlokasi di taman kota yang berbayar, ada juga dua panggung lain di dalam kota, yaitu di boulevard dan di depan gedung teater yang tentu saja gratis.
Sedikit catatan tentang Pause Guitare. Festival ini sudah digelar sejak 1997. Semula hanya menampilkan sederet gitaris klasik (dari namanya mudah ketebak) yang bermain di halaman depan katedral Sainte Cecile. Seiring berjalannya waktu, perlahan semakin berkembang menjadi festival musik besar yang mampu pernah Santana, Tito Puente, Sting, Garbage, Bob Dylan, Toto, ZZ Top, Gojira, dan tentu saja headliners yang lainnya diisi oleh artis/band Prancis.
Queens Of The Stone naik panggung pukul 10 malam diiringi lagu Smile versi Peggy Lee sebagai intro, diikuti No One Knows dan The Lost Art Of Keeping a Secret. Josh Homme terlihat sexy dengan kumis dan jenggot ala Green Lantern dan tampak sangat fit. Berbeda ketika saya nonton mereka pada 2014 di Festival Rock En Seine Paris, ia berambut cepak, gemuk dan terlihat capek.
Kini formasi mereka tampak solid ; Mikey Shoes makin tampak enerjik, Troy Van Leeuwen dengan aksi sempoyongannya, Dean Fertita yang walaupun dibelakang tapi sound gitar dan keyboard-nya terdengar jernih. Gebukan Jon Theodore pun sangat prima.
Sebelum memainkan Carnavoyeur, Josh Homme sempat terheran-heran melihat sebuah kontainer di sisi kanan panggung yang berfungsi sebagai fasilitas penonton VIP.
“What’s so special about these people?” tanyanya yang langsung direspons teriakan cemooh dari penonton lain.
“The main reason we come here is to make you dance,” sambungnya sebelum kemudian memainkan The Way You Used To Do. Josh seperti melupakan kondisi tubuhnya yang baru dinyatakan sembuh dari kanker. Likukan tubuhnya yang khas dan riff – riff gitarnya yang menghentak menjadi bukti komitmennya bahwa dia terus berkarya untuk penggemarnya. Kehidupan pribadinya sarat musibah. Mulai rehabilitasi, ditinggal pergi teman baiknya, Mark Lannegan, hingga kasus perceraiannya dengan Brody Dalle.
Saat berkumandang lagu Make It Witchu terjadi kejutan. Tiba-tiba Wolf, anak bungsunya, muncul di panggung sambil loncat – loncat, menari dan berlari ke depan penonton. Dan di tengah – tengah lagu mereka memainkan intro lagu Miss You-nya The Rolling Stones.
Moment itu sangat mengharukan. Make It Witchu dibuat sebagai manifestasi cinta Homme kepada Brody Dalle yang berujung perceraian. Melihat Wolf diatas panggung saya sangat ngenes mengingat bagaimana perjuangan Homme saat menghadapi proses perceraiannya. Juga perjuangan atas hak pengasuhan anak-anaknya yang berbelit-belit dan memakan waktu lama.
Konser ditutup dengan lagu andalan mereka, Song For The Dead. Penonton pun heboh tidak terbendung, apalagi solo drum Jon Theodore ketika mulai terbentuk circle pit dan ada beberapa yang ber-crowd surfing.
Konser Queens of the Stone Age yang berlangsung sekitar satu jam itu, meski terasa kurang sebenarnya, memuaskan saya songlistnya karena padat oleh lagu hits mereka. Yang pasti, saya tidak lagi harus ke Paris untuk bisa menyaksikannya.
Lumayan ‘kan, hemat ongkos ha-ha! (*)
Foto image : Alex Kluft/Consecuence Heavy