Kamarmusik.id Jumat, 28 Oktober 2022, album Kantata Takwa resmi dirilis ulang dalam bentuk piringan hitam. Karya ini termasuk wajib dikoleksi oleh para pencinta rilisan fisik, termasuk oleh mereka yang tertarik mengikuti isu pergolakan politik Indonesia pada era 1990-an.
Kelima orang yag bergabung di dalam Kantata Takwa bukan nama-nama kosong. Mereka adalah Setiawan Djody (vokal, gitar), Iwan Fals (vokal, gitar, harmonika), Sawung Jabo (vokal, gitar), Jockie Suryo Prayogo (keyboar) dan WS Rendra (lirik).
Ide dasar terbentuknya berawal dari diskusi panjang antara pengusaha Setiawan Djody bersama penyair WS Rendra. Hasil pengendapannya ditangkap oleh Jockie SP yang menerjemahkannya ke dalam bahasa musik, kemudian disempurnakan oleh Iwan Fals dan Sawung Jabo.
Sebagai figur yang baru memasuki pergaulan dunia teater, Jockie tidak menginginkan Kantata Takwa hanya sekadar grup musik, melainkan jadi semacam forum lintas gagasan untuk membahas berbagai fenomena yang berlangsung di dalam negeri, mulai persoalan sosial, ekonomi, politik sampai budaya. Peran musik lebih untuk memberi aksen atas permasalahan aktual yang telah diformulasikan sesuai kebutuhan bentuk narasi. Sehingga terlepas dari pengkotakan. Karena itulah di dalam album ini berkelindan pop, rock sampai gambus. Dengan demikain album Kantata Takwa tidak sepenuhnya bisa dibilang karya musik.
Meski demikian, unsur bebunyian tetap mendapat perhatian serius. Untuk itu, Kantata menyiapkan skuad yang terdiri dari Raidy Noor (gitar akustik), Eet Sjahranie & Totok Tewel (gitar elektrik), Donny Fattah (bass), Budhy Haryono & Fajar Satritama (drum), Innisisri (perkusi), Embong Raharjo (saksofon & flute), Doddy Katamsi, Kelompok Bengkel Teater & Sunarti Suwandi (penyanyi latar).
Sekadar menyegarkan ingatan, nama terakhir adalah istri pertama WS Rendra yang lebih popular dengan panggilan Sunarti Rendra. Dia adalah pemain teater,
wartawati lepas sebuah majalah terbitan ibu kota serta mantan juara penyanyi seriosa tingkat nasional. Reputasi terakhir itulah yang menjadikan lagu seperti “Kesaksian” terdengar sangat menyentuh.
Kekuatan lain datang dari permainan piano Jockie yang mampu memberi ruh atas tema yang bercerita luka alam semesta ini. Sebuah elegi tentang berbagai tragedi kemanusiaan : hilangnya nafkah atau mereka yang dirampas haknya. Sampai sekarang saya masih penasaran bagaimana dia bisa menghasilkan susunan nada separipurna ini. Tanpa bermaksud mengecilkan peran yang lain, duetnya bersama Sunarti Rendra sungguh menjadikan “Kesaksian” karya yang mahal. Di sini memang terlihat jelas keberpihakan para personel Kantata Takwa.
Lagu “Orang Orang Kalah”, misalnya, secara lantang berbicara tentang pergulatan wong cilik. Ada semangat sekaligus keputusasaan yang diisyaratkan oleh duet Budhy Haryobo dan Innisisri, diiikuti permainan distorsi panjang dari Setiawan Djody pada interlud.
Ekspresi lagu penuh amarah ini telah menyebabkan Setiawan Djody diberondong pertanyaan bertubi-tubi oleh Mentri Pertahanan dan Keamanan, ketika itu, Benny Moerdani. Dan, berbulan-bulan setelah albumnya dirilis dia mengaku masih harus menjelaskan konsep Kantata Takwa kepada pihak-pihak tertentu.
Selain menjadi pemain dan penyandang dana, Setiawan Djody menjadi semacam peredam dari pihak-pihak yang merasa terusik oleh aktifitas Kantata Takwa. Hal itu dimungkinka karena dirinya memiliki hubungan dengan pihak kekuasaan. Situasi yang menguntungkan sekaligus merugikan dirinya. Ada sebagian yang merasa tidak senang dengannya. Namun, bagaimana pun, Setiawan Djody adalah alasan lahirnya Kantata Takwa.
Dari segi tematik, materi album ini banyak bersinggungan dengan sejarah politik zaman Orde Baru. Salah satunya adalah lagu “Paman Doblang” yang diangkat dari pengalaman WS Rendra ketika dijebloskan ke penjara tanpa proses pengadilan, 1978. Kesalahannya cuma satu : baca puisi.
Setelah mendekam selama sepuluh bulan, bukannya kapok, kreatifitas WS Rendra malah semakin menjadi. Berbagai naskah baru lahir, tetap menyuarakan perlawanan. Lirik “Paman Doblang” menawarkan narasi keteguhan sejati yang tidak pernah surut oleh penindasan.
Kesadaran adalah matahari
Kesabaran adalah bumi
Keberanian menjadi cakrawala
Dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata
Kwtika diriils, 1990, tidak ada album yang kemunculannya seheboh Kantata Takwa. Berkumpulnya kelima nama itu menjadi magnet bagi siapa pun. Kompleksitas pemikiran individunya menyebabkan setiap karya yang lahir mengundang permenungan, menantang logika serta kepekaan untuk menemukan korelasi antara bentuk aransemen dengan narasi di dalamnya.
Pada 23 Juni 1990 berlangsung konsernya di Stadion Gelora Bung Karno. Penonton cukup menukarkan potongan sampul kasetnya sebagai tanda masuk. Kiat ini efektif menyedot animo. Lebih dari seratus ribu orang tumpah ruang menyaksikan pertunjukan musik yang konon merupakan salah satu terbesar di Indonesia yang pernah ada.
Sambutan membeludak mau tidak mau akhirnya mengusik faktor keamanan. Di sebagian pintu masuk stadion, penonton diwajibkan memasuki lapangan dengan cara berjongkok di bawah todongan senjata laras panjang milik aparat. Saya termasuk salah seorang di antara mereka.
Suasana sempat mencekam ketika aliran listrik tiba-tiba mati. Gumaman seisi lapangan bagai dengung ribuan suara lebah. Lalu, entah siapa yang memulai, mendadak terdengar zikir massal, sesuatu yang langka terjadi pada tradisi pertunjukan musik. Ini tentu berhubungan popularitas lagu “Kantata Takwa” ciptaan Djody, Jockie da Iwan Fals yang intronya berupa pembacaan zikir dan diakhiri dengan pembacaan Surat Ayat Kursi.
Beberapa bulan kemudian konser akbar Kantata Takwa berlangsung gegap gempita di Surabaya, 11-12 Agustus 1990, dan Solo,11-12 September 1990.
Fakum beberapa tahun dari pemberitaan, pada 30 Agustus 2003 Kantata Takwa coba dibangkitkan kembali dengan mengambil di Stadion Utama Gelora Bung karno. Namun pamornya terlihat mulai redup. Ada berbagai faktor. Salah satunya adalah simbol yang selama ini mereka kritisi, Presiden Soeharto, sudah tumbang pada 21 Mei 1998. Era Reformasi bangkit. Semua bebas bersuara lantang.
Perilisan ulang album masterpiece Kantata Takwa ini harus disambut dengan suka cita. Remaja milenial mau pun Gen Z dapat menggali informasi bahwa iklim bermusik pada era ’90-an tak senyaman sekarang. Setidaknya untuk menjadi musisi yang memiliki sikap kritis terhadap pemerintahan harus berbekal nyali ekstra.
Sayangnya, hal penting ini tidak disertai penyempurnaan pada elemen visual. Covernya digarap secara sederhana, hanya mencantumkan daftar irik lagu tanpa menyertakan susunan pemain mau pun musisi pendukung atau data teknis lain yang sebenarnya penting bagi generasi baru yang ingin mendapatkan fakta sejarah. Dalam hal ini, versi kaset yang dirilis oleh PT Airo Stupa jauh lengkap – kita bisa mengetahui siapa saja musisi yang berkontribusi di setiap lagu.
Dengan kemajuan teknologi seperti sekarang, menampilkan kelengkapan informasi bukan hal sulit. Bahkan pada proyek perilisan ulang kali ini sangat memungkinkan untuk melengkapi dengan sisipan foto-foto suasana rekaman atau konser akbar itu. (*)