Sylvia Saartje bersama Wendy Putranto, Denny MR dan sutradara Subiyanto di Mbloc Space Jakarta. (Anggitane/HUJANMUSIK)
Sesaat setelah tirai gelap memangkas pandangan, visual langkah kaki mengawali dinamika perkenalan saya dengan sosok legenda musik rock Indonesia, Sylvia Saartje.
Dimensi bergerak menampakkan langkah kaki meniti anak tangga seraya memberikan pengakuan bagaimana kisah rock-nya bermula hingga menjadi legenda.
Lantas, layar menampilkan panggung rekonstruksi dengan distorsi khas rock klasik yang menggelegar sepanjang adegan pembuka film dokumenter “Sylvia Saartje, Lady Rocker Pertama Indonesia”.
Telinga saya mencoba menterjemahkan spirit musik yang ditampilkan. Potongan kliping dokumentasi, reportase dan ulasan tentang Sylvia Saartje menarik bayangan menuju putaran mesin waktu, seolah mengajak saya menjadi satu diantara crowd 1970an.
Begitulah rekonstruksi angan yang coba saya hadirkan, imbas kehadiran 16 Desember 2021 silam saat menghadiri acara pemutara film dokumenter dan talkshow Sylvia Saartje, Lady Rocker Pertama Indonesia” di Creative Hall, M Bloc Market, Jakarta.
Sebagai generasi yang kenal rock secara terbatas, nama Sylvia Saartje terasa samar terdengar di telinga dibandingkan sosok penyayi semacam Nike Ardilla, Atiek CB, Mel Shandy, Renny Djajoesman dan Nicky Astria.
Nama-nama mereka cukup sering hinggap pada kolom pemberitaan koran dan majalah, pun sekelebatan poster dan cover kaset paman yang bertebaran, peninggalan saat ia masih bujang.
Jauh sebelum perkenalan khasanah rock saya berafiliasi setelah memiliki album “Dookie” Greenday, “In Utero” Nirvana dan mendengarkan rock kelam Amerika, Slaughter.
Sylvia Saartje mulai mengganggu rasa ingin tahu saya ketika sebuah tautan mengarahkan saya membaca artikel Republika, 24 September 2007. Sebuah kisah kemunculan fenomenal perempuan penyanyi rock yang disematkan sebagai penyanyi rock wanita pertama di Indonesia.
Pernyataan bahwa Nicky Astria dan penyanyi rock satu angkatannya patut berterima kasih kepada Sylvia Saartje yang bisa dianggap sebagai pembuka jalan bagi mencuatnya penyanyi rock wanita, menjadi hal pertama buat saya.
Sensasi keterkejutan yang sama ketika mengetahui bahwa The Tielman Brother, band Indonesia – Belanda, telah memainkan Indorock secara eksploratif jauh sebelum The Beatles dan The Rolling Stones berkibar dengan rock and roll-nya.
Wajar saja jika terkesan minim referensi tentang Sylvia Saartje. Kiprahnya sebagai pembuka jalan penyanyi rock pada tahun 1978 harus menandai akhir catatan diskografinya pada tahun 1996. Tahun ketika anak muda Indonesia saat itu lebih sering mendengarkan grunge, rock alternatif, maupun pop Britania meski tetap mendatangi konser Metalica di Jakarta tahun 1993 atau mengkoleksi album kedua Roxx yang rilis tahun 1995.
Namun bagi penggemar musik rock era 70-an, Sylvia Saartje yang kerap dipanggil dengan nama populer Jippi, adalah daya tarik utama pertunjukan rock yang saat itu didominasi laki-laki.
Bak anomali menentang stigma, Sylvia Saartje yang lahir pada 5 September 1957 di Arnhem, Belanda itu melenggang sendirian dalam kancah musik rock Indonesia. Menjejak panggung rock dan mendapat respon antusias sejak menyanyikan nomor legendaris Led Zeppelin, Pink Floyd hingga kelahiran “Biarawati” (1978), album perdananya bersama produser Ian Antono.
Untungnya, selepas dokumentasi konser emas Sylvia Saartje tahun 2018 di Malang, catatan perjalanan seorang Jippi kembali saya temui melalui penuturan film dokumenter besutan sutradara muda, Subiyanto dan Yayasan Terakota.
“Awalnya aku tidak boleh nyanyi lagu yang berisik, lalu ada pemberontakan tersendiri jadi demen lagu yang ekspresif. Rock adalah pilihan dan sikap karena aku tidak mau plin plan,” buka Jippi pada sesi obrolan di Mbloc Space Jakarta beberapa waktu lalu.
Bakat Sylvia Saartje di bidang seni sudah terlihat sejak ia aktif tergabung dalam paduan suara gereja di Malang, mengikuti lomba Bintang Kecil di RRI hingga bergabung bersama kelompok Tornado pada 1968 – 1970. Sejak remaja Jippi sudah menyanyi secara profesional dari panggung ke panggung, dari kampung ke kampung. Tahun 1970, ia mencatatkan prestasi masuk sebagai 10 besar finalis Lomba Bintang Radio se-Provinsi Jawa Timur.
1970 menjadi tonggak Sylvia Saartje yang mulai terlihat fokus menyanyikan repertoar rock dengan diiringi sederet grup musik yang berada di Jawa Timur saat itu, mulai dari The Gembell’s, Bentoel, Avia’s, Elfira, Bad Session, Oepet, Arfack Band, dan banyak lagi.
Kiprahnya terus melenggang. Ia dibesarkan dalam situasi sebelum industri rekaman musik rock berkembang di Indonesia. Jippi mengakui bahwa Ibundanya sendiri yang bertindak sebagai manajer, perancang kostum dan aksesoris. Bahkan sematan nama Jippi dimunculkan oleh Ibundanya selaku koreografer aksi panggung hingga arsiparis pemberitaan mengenai Jippi. Kliping-kliping koran dari Ibunda Jippi kini menjadi koleksi khusus di Museum Musik Indonesia (MMI), Malang.
Pada sesi pemutara film dan talkshow di Mbloc saat itu, untuk kali pertama saya bertemu secara langsung dengan sosok Sylvia Saartje. Tak hanya bertemu, bahkan menyaksikan secara langsung momen ketika ia terisak dan dengan nada bergetar menceritakan kembali masa ketika dirinya memulai dan menjalani perjalanan karirnya yang tidak selalu mulus.
Ada masa saat ia memulai perjalanan pemulihan batin selepas pukulan takdir yang membuatnya kehilangan sosok yang dicintainya. Momentum terendah ketika ia menjalani tur di Semarang dan harus pulang menyaksikan sosok mama berpulang.
Dalam kondisi ‘terluka’, Sylvia Saartje pun mengembara ke Amerika.
“Aku ke kedutaan Amerika, minta Visa dan pesan tiket di biro travel ke Amerika. Saat itu hanya membawa baju di badan, aku langsung ke Bandara,” ungkapnya.
***
Mendominasi pemberitaan kala itu menjadi jalan awal Sylvia Saartje dikenal sebagai “Lady Rocker”. Meski tidak diketahui pasti siapa yang pertama kali memberi julukan, publik dan pengamat memiliki analisa yang sama bahwa kemungkinan besar muncul dari majalah musik asal Bandung, Aktuil, saat memberitakan perhelatan “Aktuil Vacancy Rock” di Gedung Olah Raga (GOR) Pulosari, Malang, 27 Desember 1976 silam.
Sylvia Saartje menjadi satu-satunya penyanyi perempuan yang tampil. Sejak saat itu, aksi panggungnya sering disebut-sebut dengan julukan ‘Kuda Binal’ hingga ‘Betina Rock’.
Ihwal ini coba diuraikan kembali oleh Denny MR, jurnalis senior yang juga pengamat musik. Menurutnya sematan “Lady Rocker” pertama memang perlu dipertajam dan diperjelas parameternya.
Sebutan sebagai Lady Rocker pertama rekaman perlu dibuktikan karena saat Sylvia Saartje berkarir juga ada nama-nama seperti Euis Darliah dan Rose Kusumadewi. Namun yang menjadi poin penting bagi Denny, untuk penyanyi rock perempuan berkepala enam yang masih aktif menyanyi sampai hari ini, Jippi adalah seorang petarung tangguh.
Euis Darliah memutuskan tinggal di Swedia pada saat puncak karir setelah merilis “Apanya Dong”. Memilih menjadi ibu rumah tangga dengan segala macam kesibukannya. Rose Kusumadewi lebih dulu menghilang tak terdengar, meninggalkan jejak dangdut rock power dengan lagu “Persetan dengan Cinta”, “Gemes” dan lainnya.
Konsistensi Sylvia Saartje belum mampu diteruskan bahkan oleh generasi setelahnya. Sebut saja Atiek CB yang terkenal membuat beberapa hit, lantas hilang tak terdengar kiprahnya setelah pindah ke Amerika. Atau Anggun yang sempat muncul sebagai rocker, namun saat pindah ke Prancis image-nya berbeda.
“Diantara generasi yang datang dan pergi yang menyandang Lady Rocker, sampai dengan sekarang hanya mbak Jippi yang rentang karirnya sangat panjang,” beber Denny.
Bahkan dalam sesi talkshow yang dipandu Wendy Putranto, Denny MR mengungkap kisahnya berkarir di majalah musik tak sepanjang jejak karir seorang Sylvia Saartje.
“Artikel pertama saya di Majalah HAI tahun 1983 adalah tentang konsernya Mbak Jippi. Gara-gara menonton mbak Jippi di Balai Sidang (JCC) tulisan gue diterima di majalah HAI sama Arswendo, itu judulnya masih ingat, All Indonesian Rockstars,” ungkapnya.
Belasan tahun kemudian, hingga majalah HAI menutup operasionalnya, berpindah ke Rollingstone Indonesia, pun gulung tikar, Denny masih menyaksikan Sylvia Saartje tetap menyanyi rock.
Uraian Denny dibenarkan dan diakui Sylvia Saartje, bukan mau dirinya untuk disebut Lady Rocker pertama. Barangkali di daerah banyak Lady Rocker yang berkiprah, namun masa itu entah kenapa ia merasa melenggang sendiri dan terus ditemani oleh teman-teman wartawan.
Perjalanan panjang Sylvia Saartje dimulai dengan “Biarawati” (Irama Tara, 1978), “Kuil Tua” (Irama Tara, 1979), “Puas” (Irama Tara, 1981), “Mentari Kelabu” (Irama Tara, 1982), “Ooh!” (Irama Tara,1983), “Jakarta Blue Jeansku” (Irama Tara, 1984), “Gerhana” (Insan Record, 1986), “Take Me with You” (Logiss Record, 1994), “Berdayung Sampan” (SKI 1995), dan “Skali Lagi!” (SKI, 1996).
Di samping musik rock, kiprah seni Sylvia Saartje juga masuk ke ranah seni peran. Tercatat pada tahun 1972, sutradara Ostian Mogalano mengajaknya ikut bermain dalam film laga bertajuk Tangan Besi. Pada dasawarsa 80-an, Sylvia banyak terlibat dalam beberapa film layar lebar, salah satunya mendapat peran utama dalam film Gerhana (1985). Saat itu, selain berakting, dia juga diminta untuk menulis ilustrasi musiknya bersama Buche Patty.
Diantara minimnya literasi visual tentang musik rock 70 – 90an di Indonesia, kehadiran “Sylvia Saartje, Lady Rocker Pertama Indonesia” menjadi penyemarak. Paling tidak dalam hitungan saya yang awam, baru sebatas menyaksikan “ROCK BERGEMA – A Story Behind The Rock Anthem” dan interview almarhum Irfan Sembiring tentang “Rotor”.
Terbaru ada “GELORA: Magnumentary Of Gedung Saparua”, kisah pergerakan musik indepeden di Bandung.
Sutradara Subiyanto bersama Yayasan Terakota memandang kiprah Sylvia Saartje sebagai maestro musik rock nasional yang merintis karir di Malang harus didokumentasikan. Lantas mengusulkan dukungan kepada program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) 2021 bidang dokumentasi karya – pengetahuan maestro, Dirjen Kebudayaan Kemdikbudristek RI.
Film ini menjadi sarana nyata pengakuan kebudayaan populer oleh pemerintah, khususnya sejarah pengetahuan musik rock. Sylvia Saartje merupakan produk hibriditas dengan latar belakang kosmopolitan yang terbukti mampu memajukan musik rock nasional.
Sylvia Saartje menjadi aset besar kebudayaan Kota Malang dan Indonesia.
“Literatur tentang musik apalagi rock itu sangat kurang, jadi ketika ada sebuah film dokumenter ini menjadi kemewahan. Cukup ajaib Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi mengangkat film Lady Rocker ini,” terang Wendy Putranto, Program Manager Mbloc Space saat menjadi moderator talkshow.
Secara umum film banyak menampilkan hasil riset data koleksi pribadi Sylvia Saartje dan Museum Musik Indonesia, hingga digitalisasi film yang pernah dibintangi oleh Sylvia Saartje.
Proses rekonstruksi aksi panggung digarap pada 6 Oktober 2021 di Gedung Kesenian Gajayana, salah satu saksi kejayaan musik rock nasional di Malang.
Beberapa narasumber yang tampil memberi kesaksian adalah Sylvia Saartje, Akim Yesaya Yurian (adik kandung), Bens Leo (pengamat musik dan jurnalis senior), Ian Antono (musisi), Tantri Kotak (musisi), Yovi Arditiviyanto (sejarawan penulis ‘Malang sebagai Barometer Musik Rock Nasional Dekade 1970-an), Brigjen A. Tamim Musthofa dari Kemenhan RI selaku penikmat musik dan FX Domini BB Hera, sejarawan, Log Zhelebour (produser musik), Totok Tewel (musisi), dan Hengki Herwanto (Direktur Museum Musik Indonesia),
Film ini diluncurkan pertama kali di Bioskop Sarinah Moviemax pada Senin, 15 November 2021.
Sayangnya, dokumentasi film ini terasa kurang menampilkan bagian-bagian visual konser penting saat Sylvia Saartje tampil. Rasanya terlalu sayang hanya dominan potongan kliping yang divisualkan.
Belakangan sang sutradara mengakui soal keterbatasan waktu riset dan pengerjaan, sebagian besar materi visual Sylvia Saartje dimiliki oleh TVRI.
Subiyanto dan tim mengaku tidak cukup punya waktu untuk mengakses materi dalam bentuk format video celluloid, betacam dan sejenisnya. Disamping itu ia juga mengeluhkan mahalnya biaya pembelian materi video Sylvia Saartje di TVRI.
“Kami sadar banget jika ditelusuri lebih dalam masih banyak materi yang bisa digarap,” terang Subiyanto.
Durasi diskusi yang semula direncanakan berlangsung satu jam berkembang menjadi dua jam lebih karena animo undangan. Banyak diantara mereka anak muda yang malah belum lahir ketika Sylvia Saartje meroket di dunia panggung, rekaman dan film.
Denny MR menambahkan bagian penting lain yang luput untuk mengedukasi generasi muda selanjutnya, bahwa Sylvia Saartje juga merupakan bagian sejarah perjalanan skena Potlot dan sosok pengusaha kapal di Indonesia.
Sylvia Saartje telah menjadi pionir bagi generasi Lady Rocker Indonesia selanjutnya seperti Nicky Astria, Anggun C. Sasmi hingga Tantri Kotak. Nama Sylvia Saartje abadi bersama generasi awal rocker dan musisi rock Indonesia seperti Achmad Albar, Ian Antono, maupun Mickey Jaguar Merkelbach.
Rasanya penting sekali menyampaikan asa dan nilai perjuangan seorang Sylvia Saartje kepada generasi kekinian. Bahwa tidak ada yang instan untuk menuju kesuksesan, meskipun fasilitas saat ini lebih mudah mendukung dan mudah didapat dibandingkan pada masanya.
“Banyak cara dan jalan untuk menjadi Lady Rocker, masalahnya fokus apa tidak. Kalau tidak fokus maka akan jatuh dengan sendirinya ditengah jalan,” pungkas Sylvia Saartje.
Sylvia Saartje tetap bertahan dan berkarya meskipun tempat panggung musik rock di Malang telah berganti rupa, sebagaimana Gelanggang Remaja Indrokilo, Gedung Tenun, dan GOR Indrokilo.
Dan saya tetap menunggu bagian kedua film dokumenter perjalanan rock ini, sebagaimana janji sang sutradara.
Semoga segera.
—-
Artikel ini rilis pertama kali di hujanmusik.id, Juli 2022. Sebagai bagian dari kolaborasi HujanMusik! dengan Kamarmusik.id untuk bersama-sama merespon berbagai peristiwa aktual di dunia musik.