ROXX akhirnya berhasil merilis “harta karun”nya. Foto : ISTIMEWA
Saya pertama kali mendengar nama Roxx pada pertengahan 1992, saat materi albumnya masih berupa demo, di kantor PT Suara Sentral Sejati, label yang berlokasi di Jalan Kapuk Utara no. 89 Penjaringan, Jakarta Utara. Pada suatu hari Peter Phang, Produser Pelaksana, menyodorkan sebuah pita kaset dari laci meja kerjanya dan langsung menyerocos. “Elo harus dengerin! Bahaya nih, gue jamin bakal jadi band metal besar. Berani taruhan!”
Kami lantas menyimak lagu demi lagu sambil berbagi sudut pandang dalam sebuah diskusi panjang. Benar. Aura garang segera menguar dari setiap lagu. Tema-tema maskulin dibungkus dalam aransemen yang dimainkan kelima musisi berusia ratarata 20-an. Vokal bertenaga milik Trison Manurung, duet gitar nan liar dari Jaya dan Iwan Achtandi serta dentuman bass Tony Monot yang bersenyawa dengan gempuran drum Arry Yanuar, membentuk rhythm section sangat pejal. Nama terakhir adalah peletak dasar konsep musik Roxx. Sound drum dan kekuatan pukulannya telah menempatkan dirinya sebagai salah seorag drummer cadas terhebat saat itu.
Di lingkar terdalam Arry Yanuar juga menjadi idola sesama personel Roxx. Arry-lah yang berjasa menaikkan tegangan musik Roxx dari semula berisi repertoar Van Halen, The Who atau Motley Crue kemudian menggantinya dengan repertoar Metallica dan Anthrax yang jauh lebih keras dan rumit. Roxx tumbuh seiring berlangsungnya perubahan selera musik di kalangan anak muda, saat thrash metal datang menebar pesona di tengah kepungan trend pop dan jazz.
Beberapa tempat pertunjukan mulai ramai dikunjungi penonton berambut gondrong. Salah satu magnetnya adalah Pid Pub di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan, di mana Roxx kerap mengisi acara. Klub sempit yang semula menyajikan musik country tersebut tiba-tiba menggelegar dan menjadi tempat favorit penggemar musik keras. Kemungkinan di situlah pertama kali lahirnya komunitas metalheads. Musik metal beserta variannya, termasuk thrash, lantas berkembang secara masif di sejumlah kota besar. Radio berbasis anak muda pun turut melakukan penyebaran informasi.
Musisi Bandung, misalnya, tak akan pernah melupakan peran Generasi Muda Radio (GMR) Rock Station yang berpusat di Jalan Dr. Hatta no. 15. Salah satu out put yang harus diapresiasi adalah program Kharisma Persada yang memperdengarkan demo dari band-band baru yang tengah berjuang mencari pengakuan seperti Jam Rock, Sahara, U’Camp, Jasad, Pas Band dan Roxx. Inilah periode ketika Arry Yanuar dan kawan-kawan sibuk menyiapkan album perdana mulai Desember 1990 hingga Mei 1992.
Demo itulah yang kemudian diterima Peter Phang melalui produser eksekutif Dannil Setiawan. Tiga dari sepuluh lagu di dalamnya ditulis berdasarkan kisah nyata. “Penguasa” bercerita tentang kegilaan Presiden Saddam Hussein selama berlangsung Perang Teluk antara Irak – Iran. Kemudian “5 Cm”, kisah petugas sekuriti Roxx (catat, zaman itu mereka sudah punya sekuriti sendiri!) yang ditikam seorang tak dikenal sehingga meninggalkan luka cabikan sepanjang 5 cm. Ada pun “Gelap” lahir dari balik dinginnya ruang penjara Polresta Bogor, saat Trison dan Tonny Monot mendekam di sel bernomor 821.
Pada 1992 keduanya ditangkap oleh Kapolwiltabes Bogor saat itu, Kolonel S Permadi, setelah mendapati beberapa puntung ganja pada asbak berbentuk tengkorak di dalam kendaraan pick up milik Tony Monot. Cerita penyergapan itu kemudian dikenal dengan “Insiden Asbak Tengkorak” – merujuk pada artikel di harian Kompas berjudul Dua Rocker Ibukota, TRS dan TNY Tertangkap Membawa Ganja.
Album debut Roxx memang menawarkan angin segar. Namun untuk menjadi band besar? Kedengarannya seperti pemikiran utopis yang menggantung nun jauh di atas sana. Untuk diketahui, iklim industri rekaman pada saat itu masih belum terbuka untuk jenis musik seperti yang ditawarkan oleh Roxx. Setidaknya, belum ada bukti empiris bahwa album rekaman metal bisa diterima oleh pasar luas. Kepada sebuah media, Jaya pernah menyatakan bahwa saingan Roxx saat itu adalah Betharia Sonatha dan Vina Panduwinata, dua nama tak terduga.
Toh, Peter Phang dengan enteng sesumbar akan tetap merilis demo yang berada di tangannya sungguh pun untuk itu harus mempertaruhkan jabatan. Entah kebetulan atau tidak, ramalannya kemudian memang terbukti. Debut album Roxx mendapat respons bagus. Lebih dari itu, PT Suara Sentral Sejati yang sebagian produknya didistribusikan oleh Blackboard adalah juga pemegang lisensi PolyGram International, sehingga album Roxx beredar secara internasional. Inilah yang membedakan mereka dengan para pionir thrash metal lain seperti Sucker Head atau Rotor. Roxx berada di garda depan dalam melakukan lompatan. Dunia rekaman pun terperangah bahwa musik yang riuh oleh distorsi ternyata mampu menciptakan ruang tersendiri. Katup yang selama ini tertutup rapat kini telah terkuak dan Roxx adalah sumbu ledaknya.
Hingga kini “Rock Bergema” telah menjadi anthem dunia cadas berkat struktur aransemennya yang mampu menembus zaman. Majalah Rolling Stone Indonesia menobatkannya ke dalam daftar 150 Lagu Indonesia Terbaik dimana ketika itu saya duduk sebagai salah seorang tim perumus.
Pada 2007 Erwin Gutawa mendaurulang lagu ini pada album Rockestra melalui melalui vocal Yopie Aristoteles, eks vokalis Mata. “Rock Bergema” juga pernah direkam ulang oleh Aria Baron (eks GIGI) untuk film Rocker Balik Kampung (MSH, 2018). Setahun kemudian versi orisinal lagu ini muncul dalam film Bebas garapan sutradara Riri Riza.
Meski kurang disukai oleh para personelnya, “Rock Bergema” adalah tiket yang telah mengantarkan Roxx menjadi Juara II Festival Musik Rock Indonesia pada 1989. Para finalis festival musim ke-5 ini kemudian dirilis dalam format kaset dan compact disc oleh Logiss Records. Pada saat penggarapan album penuh di studio Triple M, Jakarta, lagu tersebut direkam ulang dengan sound engineer Harry Widodo. Itulah kenapa aransemennya berbeda dengan versi Logiss Records.
Belasan tahun kemudian saya mulai berpikir untuk mendorong agar album Black (demikian orang kerap menyebut) dapat dirilis ulang. Ada banyak pertimbangan. Karya-karya yang memiliki nilai terobosan seharusnya dimunculkan kembali untuk
memudahkan siapa pun dalam merekonstruksi sejarah musik Indonesia. Four Through The Sap (Pas Band), Guruh Gipsy (Guruh Gipsy), Alam Raya (Abbhama), Zakia (Achmad Albar), Pure Saturday (Pure Saturday) hanya sebagian kecil dari daftar panjang kekayaan produk subkultur pop kita. Beruntung beberapa karya lain sudah bisa dinikmati melalui format piringan hitam. Di antaranya Sakura (Fariz RM), Ghede Chokra’s (Shark Move) atau Ken Arok (Harry Roesli). Namun masih banyak lagi artefak yang masih terkubur di dalam ruang gelap tak bertepi.
Merilis ulang album debut Roxx sungguh tidak mudah. Pihak-pihak yang terlibat pada saat proses kelahirannya seperti lenyap ditelan bumi. Lebih dari sekali saya mendiskusikan wacana ini dengan Jaya tanpa menemukan solusi – bahkan sampai gitaris itu mengundurkan diri pasca penampilannya di panggung JakCloth, 2 Januari 2016. Trison rupanya menyimpan pengalaman serupa. Sejumlah pihak yang melamarnya dalam untuk maksud yang sama juga menemui kegagalan dikarenakan.
Sekali waktu saya berhasil melacak keberadaan Peter Phang. Kami bertemu di sebuah apartemen daerah Kuningan, Jakarta Selatan. Pembawaannya tidak berubah : tetap terlihat kurus, tambeng namun cerdas. Ahok, begitu teman-teman biasa memanggilnya, sudah lama tidak aktif di dunia musik namun ia mengaku menyimpan benda yang selama ini dicari banyak orang, yaitu rekaman asli album Roxx dalam format DAT (Digital Audio Tape). Ia nampak tidak terkesan dengan ekspresi kegembiraan saya dan menolak wacana menerbitkan ulang dengan alasan tidak mengetahui keberadaan eksekutif produsernya.
“Lo cari dulu itu Dannil Setiawan. Kalau sudah ketemu baru gue kasih DAT-nya.”
Kebuntuan ini menuntun kepada fakta betapa buruknya sistem pengarsipan di dalam industri rekaman kita. Sudah bukan rahasia bahwa setiap upaya menerbitkan karya lawas – entah untuk sekadar ajang nostalgia atau dalam rangka pelestarian budaya – selalu berujung kekecewaan. Mulai dari ketidakjelasan kontrak antara musisi dengan label, keberadaan label itu sendiri hingga master yang musnah atau bahkan dihapus untuk diisi dengan materi rekaman lain.
Namun alam selalu menggunakan misteri ketika menuntun manusia kepada takdirnya. Album legendaris dari pionir heavy metal Indonesia yang telah berkali-kali kali diupayakan untuk dirilis ulang dan selalu mengalami kegagalan, kini telah dapat dinikmati kembali. Sebuah kado penting di usia perjalanan Roxx yang memasuki ke- 35 tahun pada April 2022 – Roxx pertama kali tampil 1 April 1987 di Pasar Seni Ancol.
Kemunculan kembali album ini sangat penting artinya sebagai pintu masuk guna merunut sejarah pergerakan musik metal di Indonesia. Musisi cadas generasi baru berhutang banyak kepada mereka.
(Dari linear note re-issue album pertama Roxx)