Kemunculan mereka di JogjaROCKarta dalam rangka merayakan 25 tahun Images And Words. Album ini memang membuat lompatan dahsyat yang menjadikan Dream Theater sebagai band rock progresif paling terkenal di muka bumi.
Dengan jantung berdebar Kevin James LaBrie meninggalkan Kanada, terbang menuju New York pada Januari 1991. Vokalis Winter Rose ini berambisi untuk dapat menggantikan kekosongan posisi vokalis Dream Theater yang ditinggalkan oleh Charlie Dominici. Katakanlah ini semacam perjalanan nekad. Sebab jauh sebelum memutuskan ikut audisi bareng dengan 200 calon vokalis, ia sudah mendapat bocoran bahwa band yang baru melepas satu album tersebut mencari vokalis baru dengan karakter suara mirip Bruce Dickinson (Iron Maiden) atau Geoff Tate (Queensryche). Itu bertolak belakang dengan kondisi pita suaranya yang tipis.
Sebelum kemunculan Kevin James LaBrie, Dream Theater telah menjajal beberapa kandidat. Salah satunya adalah John Arch dari Fates Warning, namun ketidakcocokan prinsip menyebabkan kerja sama di antara mereka urung terjadi. Sekali waktu pernah dicoba vokalis Steve Stone. Hasilnya lebih parah. Stone hanya ‘dipakai’ satu kali pertunjukan karena penampilan panggungnya dianggap buruk. Akhirnya Dream Theater memutuskan berhenti mencari vokalis sambil tetap mengumpulkan materi lagu untuk album yang akan datang. Hingga suatu hari datanglah kiriman sebuah kaset dari Kanada. Itulah contoh vokal kiriman Kevin James La Brie.
Usai jamming tiga lagu, Kevin James La Brie dapat menarik napas lega. Dirinya lolos. Beberapa pertunjukan di sekitar New York menjadi ajang untuk membangun chemistry formasi baru ini. Derek Schulman dari Atco Records, salah satu divisi dari Elektra Records, sangat antusias dan tidak tanggung-tanggung langsung menawarkan kontrak sebanyak tujuh album sekaligus. Dream Theater pun merilis album debut dengan label barunya, yaitu Images And Words (1992). Pada saat penggarapan di studio mereka juga merampungkan beberapa materi yang demonya sudah dibuat sejak 1989.
“Saya ingat waktu itu seharusnya ‘A Change of Seasons’ masuk juga sebagai materi I & W, tetapi kami kemudian memutuskan untuk merilisnya secara terpisah sebagai EP (album mini),” kata gitaris John Petrucci kepada Rolling Stone Indonesia dalam wawancara eksklusif.
Lagu “A Change of Seasons” aslinya berdurasi 17 menit, namun dianggap terlalu panjang untuk materi album studio. Inilah salah satu alasan ia dicoret dari daftar materi Images And Words. Namun setelah dilakukan penyempurnaan terus-menerus dan dirilis terpisah, durasinya malah menjadi 23:09 menit.
Jika melihat pemilihan single pertama, “Another Day”, terlihat adanya sikap mendua baik dari Dream Theater maupun Atco Records. Mereka belum memiliki keberanian untuk secara frontal memproklamirkan diri sebagai band rock progresif. Lagu easy listening ini menawarkan romantisme melalui tiupan soprano sax Jay Beckenstein. Akan tetapi ini strategi kuno yang dijalankan oleh banyak band metal—kerja sama dengan Jac Beckenstein terus berlanjut pada album Live at the Marquee (1993), Once in a LIVEtime (1998), Through Her Eyes (2000), dan Live Scenes from New York (2001).
Kepercayaan diri mereka mulai tumbuh setelah sejumlah radio rajin memutar “Pull Me Under”. Video klip pun segera dibuat. Untuk membantu promosi, Dream Theater merancang tur panjang keliling Amerika Serikat hingga Jepang yang menghasilkan video berjudul “Images And Words, Live in Tokyo”. Setelah itu dibuat video single ketiga, “Take The Time”, yang hasilnya tidak sesukses “Pull Me Under”. Judul terakhir inilah yang nyaris menjadi encore setiap pertunjukan, sementara materi-materi lainnya seolah tersingkir begitu saja. Lalu apa saja pertimbangan personel Dream Theater dalam menyiapkan songlist?
“Penyusunan lagu untuk satu pertunjukan selalu melahirkan tantangan tersendiri. Kami selalu mendiskusikan bersama lagu apa saja yang akan dimasukkan ke dalam setlist,” jelas Petrucci. “Yang terpenting adalah bagaimana kami bisa bermain nyaman dan membangun kecintaan pada musik untuk melalui tahun demi tahun dari karier kami.”
Sebagai pemusik rock progresif yang kerap terpaksa berjarak dengan wilayah komersial, Dream Theater sering menghadai tekanan pihak label yang terus-menerus menuntut agar mereka menghasilkan karya yang lebih mudah dididengar. Hal ini terasa setelah Atco Records dilebur menjadi Easwest. Perusahaan yang berada di bawah Warner Music Group ini setengah memaksakan agar Petrucci mau bekerja sama dengan produser Desmond Child untuk membongkar kembali aransemen “You Or Me” agar terdengar lebih “memiliki daya jual”. Lagu ini kemudian diubah judulnya menjadi “You Not Me” dan terdapat pada album Falling Into Infinity (1997). Pihak EastWest juga menolak rencana Dream Theater untuk merilis album dobel dengan alasan akan memberatkan konsumen. James LaBrie termasuk yang sepakat.
Solusinya adalah memecah materi. Judul-judul terpilih dirilis melalui album berjudul Falling Into Infinity. Sedangkan yang tidak terpilih kemudian dirilis oleh Ytsejam Records milik Mike Portnoy dengan judul album Falling Into Infinity Demos. Dua single pilihan, “Hollow Years” dan “You Not Me”, seperti melompat dari wilayah rock progresif dan mengundang protes para penggemar Dream Theater. Kekecewaan Portnoy akhirnya meledak.
Dalam DVD dokumentasi 5 Years In A Livetime (1998), drummer tersebut secara terang-terangan mengungkapkan bahwa lonceng kematian Dream Theater hanya tinggal masalah waktu. Nubuatnya meleset. Band yang didirikannya itu hingga kini tetap berkibar. (*)