Oleh Denny MR
Kamar Musik.id. Alvin Yunata, gitaris Teenage Death Star, terheran-heran sendiri. Bandnya yang cukup lama non aktif dari dunia panggung dan rekaman mendadak banjir panggilan. Alhasil, kini kelompok musik ugal-ugalan asal Bandung itu hampir setiap minggu harus berangkat ke luar kota untuk memenuhi undangan berbagai acara.
Hari-harinya pun menjadi super sibuk karena Irama Nusantara, yayasan yang bergerak di bidang pengarsipan di mana ia menjadi salah seorang pendiri, tengah merayakan satu dekade perjalanannya. Berlangsung sejak 16 September hingga 15 Oktober 2023, bertempat di Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta.
Dibuka dengan pameran arsip “Dari Ngak Ngik Ngok Ke Dheg Dheg Plas” dengan tema mengangkat perjalanan musik popular Indonesia era 1960-an, Satu Dekade Irama Nusantara mengisi rasa syukurnya dengan beragam acara menarik. Yaitu Konferensi Ria : Arsip Nusantara (14/10), talk show Bisik-Bisik Musik (14 – 15/10), dan Music Festival Berdendang (14 – 15/10) yang menampilkan White Shoes & The Couple Company, The Panturas, Bangkutaman, DiskoRia, Endah ‘N Rheza, Mondo Gascaro dan banyak lagi. Masih ada penayangan film setiap Minggu, hasil kerjasama dengan Kineforum (17/9 – 15/10).
Diresmikan sejak 17 Agustus 2013, yayasan Irama Nusantara terlahir dari persekutuan tujuh orang yaitu Alvin Yunata, Christoforus Priyonugroho, Dian Wulandari, Mayumi Haryoto, Norman Illyas, Toma Avianda dan David Tarigan.

Dari nama-nama tersebut mungkin David-lah yang lebih dulu nyebur ke dunia pengarsipan. Saat masih kuliah di Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung, kesadaran akan pentingnya pengarsipan sudah tumbuh. Bersama beberapa teman ia pernah mendirikan Indonesia Jumawa yang tujuannya kurang lebih sama dengan Irama Nusantara sekarang. Di lini masa facebook ia juga menghadirkan Kentang Radio.
Sebelumnya, pada 2004 ia menginisiasi pendirian Aksara Records bareng Hannindhito Siddaharta. Label yang memfokuskan pada perilisan band indie ini tercatat pernah membidani album milik The Adams, Efek Rumah Kaca, The Brandals, Goodnight Electric atau White Shoes & The Couple Company.
Tahun 2006 David Tarigan muncul dalam film Garasi. Perannya tidak jauh-jauh dari hobinya, yaitu sebagai pramuniaga toko musik D’Lawas bernama Deden. Tidak heran jika aktingnya terlihat natural karena dia tengah memainkan dirinya sendiri. Kini dirinya menempati jabatan Artists & Repertoire untuk label demajors.
Sedangkan Alvin Yunata adalah mantan personel band Harapan Jaya sebelum meloncat ke Teenage Death Star. Di dunia perfilman jejaknya bisa diintip lewat film dokumentar “Gelora Saparua”, tentang pergerakan musik rock dan metal di Bandung yang ia sutradarai.

Dua sosok inilah yang menjadi katalis kelahiran Irama Nusantara. Keduanya memang penggemar berat rilisan fisik. Yang satu bertubuh kekar, satunya lagi jangkung dan gemar bertopi. Jika sudah bertemu, penampakannya sekilas nampak beda-beda tipis dengan pasangan Simon & Garfunkel.
Sekitar 2010, Alvin dan David Tarigan rajin berburu piringan hitam di ruas jalan Surabaya, sentra kaset, CD dan piringan hitam lawas di kawasan Jakarta Pusat. Keduanya mengenal baik almarhum Lian, pedagang yang menjadi favorit para kolektor.
Mengamati masifnya turis asing memborong sejumlah besar piringan hitam lokal, timbul kekhawatiran mereka akan lenyapnya literasi musik Indonesia. Mereka mulai lebih serius memikirkan upaya pengarsipan agar sejarah musik Indonesia tidak musnah ditelan zaman. Menyadari awam soal organnisasi, mereka lantas meminta kesediaan Norman dan Dian Wulandari untuk untuk mengurus pendirian yayasan.
Berangkatlah mereka ke Bandung menggunakan dua mobil. Kenapa Bandung?
“Ya, karena di sana ada teman jadi biayanya lebih lebih ketimbang Jakarta,” cerita Alvin. Belakangan Dian Wulandari yang lebih akrab dipanggil Dian Onno ditunjuk sebagai ketua yayasan.

Para pemburu mimpi tersebut kompakan merogoh kocek masing-masing sebesar 2 juta sebagai modal awal pergerakan. Dana yang terkumpul dipergunakan guna memenuhi dasar seperti membeli sound card, amplifier, jarum pemutar piringan hitam dan lain sebagainya.
Untuk sementara markas Irama Nusantara numpang di ruko yang disewa David Tarigan di Komp. Niaga Duta Mas – ITC Fatmawati, Blok. B1/24, Lt. 4
Fatmawati – Jakarta. Keterbatasan sarana membuat proses pengarsipan terpaksa dilakukan secara bergiliran. “Dalam sehari gue kebagian memindai lima album,” kenang Alvin.
Sebagai gerakan komunal yang baru muncul ke permukaan, langkah mereka tidak selalu mulus. Berbagai upaya untuk mendapatkan akses pengarsipan ke lembaga pemerintah menemui batu sandungan.
Diskusi untuk menemukan solusi berlangsung di berbagai waktu dan tempat. Salah satunya adalah lebih giat memperkenalkan diri dengan jalan mengikuti berbagai pameran yang diselenggarakan oleh instansi pemerintah. Kadang pameran yang mereka ikuti tidak memiliki keterkaitan secara langsung dengan kegiatan pengarsipan. Salah satunya ketika Irama Nusantara ikut ambil bagian dalam pameran yang diselenggarakan oleh Komnas HAM.
“Gue sendiri bingung apa hubungannya Irama Nusantara dengan Komnas HAM,” Alvin pun ngakak.
Yang diingatnya, kehadiran mereka dalam ragam pameran tidak dilirik sebelah mata. Akan tetapi awak Irama Nusantara tak hendak menyerah. Untuk mengisi krisis keuangan, Dian Onno punya ide membuka kotak donasi dalam setiap kegiatan pameran yang segera diamini teman-temannya. Namun hasilnya ternyata jauh dari yang diharapkan.
“Ada yang nyumbang 20.000 perak,” Alvin Yunata mengenang saat-saat getir di awal perjalanan Irama Nusantara. Sementara itu, dikarenakan sebuah alasan, Mayumi Haryoto mengundurkan diri.
Kebuntuan untuk mendapatkan akses ke lembaga pemerintah mulai terurai ketika pada 2016 ketika Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) pimpinan Triawan Munaf turun tangan membantu perjuangan David Tarigan cs. Irama Nusantara mulai mampu menyewa tempat untuk sekretariat. Sejumlah radio yang semula menutup diri belakangan menyilakan perpustakaan musiknya diakses. Proses pengarsipan mulai lancer.
Setahun setelah mendapat dukungan Bekraf, Irama Nusantara berhasil melakukan pengarsipan dari koleksi beberapa stasiun RRI di pulau Jawa seperti RRI Bandung, RRI Yogyakarta, dan RRI Jakarta. Termasuk pengarsipan tak kurang dari 300 album koleksi piringan hitam shellac milik seniman (alm) Haryadi Suadi. Shellac adalah nama lain format piringan hitam 78 yang biasa digunakan di era 1920-an hingga 1950-an dengan menggunakan alat pemutar gramofon.

Pada 2018 hingga 2019 Bekraf menunjuk yayasan tersebut sebagai steering committee dari Hello Dangdut, sebuah upaya memasarkan musik dangdut ke kancah internasional. Tugasnya meliputi riset secara pasar dan etnomusikologi serta membuat rancangan strategis. Hasilnya tidak sia-sia, pada 2019 program Hello Dangdut berkesempatan tampil dalam SXSW Festival di Austin, Texas, dengan mendapatkan animo yang tinggi dari para pengunjung internasional.
Setelah pengarsipan audio, langkah Irama Nusantara kemudian merambah ke program pengarsipan media massa yang terkait dengan musik populer Indonesia. Sasarannya apalagi kalau bukan Aktuil, majalah yang menjadi informasi musik generasi remaja era 19700an. Mereka berhasil mendigitalisasi majalah Aktuil terbitan 1967 hingga 1978, kecuali untuk 14 edisi yang hingga kini belum ditemukan keberadaannya.
Sayang, di penghujung 2019 dukungan dari Bekraf harus berakhir diikuti oleh terjangan badai pandemic Covid- 19. Kondisi finansial Irama Nusantara pun sempoyongan, bahkan nyaris tidak mampu membayar sewa tempat. Berbagai upaya ditempuh untuk bertahan, termasuk membuka kembali kotak donasi. Untungnya, kali ini nama yayasan ini sudah cukup berkibar. Maka, dukungan dari masyarakat luas pun mengalir.
Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid lantas menunjuk Direktur Perfilman, Musik dan Media Baru, Ahmad Mahendra, untuk terus menyokong eksistensi Irama Nusantara. Pada tanggal 16 Juni 2021 untuk pertama kalinya terbitlah mini album bertajuk “Lagu Baru Dari Masa Lalu, Vol. 1”.

Pada tahun yang sama Irama Nusantara, Norrm dan Binatang Press menerbitkan buku perdana dari program Printed Melodies. Judulnya: “Dari Ngak Ngik Ngok ke Dheg Dheg Plas” ini membahas perjalanan industri musik populer Indonesia di era 1960-an. Judul buku yang ditulis oleh Ignatius Aditya Adhiyatmaka inilah yang menjadi tema pameran arsip tadi.
Kini Irama Nusantara sudah berhasil mendigitalisasi sedikitnya 7.870 riliisan. Pengunjung situsnya tidak hanya terbatas dari Indonesia, melainkan juga dari Belanda, Jerman dan Negara lain. Sudah tak terhitung pula mereka ikut mengisi beragam acara. Baik yang diselenggarakan oleh pemerintah mau pun swasta.
Lantas, siapa sebenarnya sasaran tembak Irama Nusantara?
Alvin Yunata menyebut gerakan yayasannya diperuntukkan bagi kalangan umum. Pemahamannya bisa sangat luas. Namun sejauh pengamatannya, eksistensi Irama Irama Nusantara belum berhasil menyentuh ke akar rumput. Ia tidak merinci alasannya. Tentunya hal ini perlu didiskusikan di kalangan internal agar memperoleh hasil maksimal.
Apa pun, mengingat pentingnya pencapaian Irama Nusantara dalam dekade pertama, akan lebih baik jika generasi milenial dan Z mendapat skala prioritas. Sebab, merekalah kalangan yang terputus dengan sejarah masa lalu yang justru tengah direkonstruksi oleh Irama Nusantara. Yayasan ini sudah menempatkan dirinya sebagai oase bagi mereka yang haus akan informasi musik. Pergerakannya tidak bisa lagi dilakukan melalui jalan sunyi seperti dahulu.
“Mereka (Irama Nusantara) orangnya sedikit. Oleh karena itu harus kota hormati,” ucap Ahmad Mahendra dalam kata sambutannya pada peresmian Satu Dekade Irama Nusantara. (*)
Seluruh foto: Dok. Irama Nusantara.