Kamarmusik.id. Menyaksikan konser Roger Waters sudah masuk ke dalam skala prioritas sejak lama. Selain menjanjikan pertunjukan multidimensi yang memanjakan mata dan telinga, pandangannya tentang fenomena sosial dan politik selalu menarik disimak. Oleh karena itu ketika mengetahui salah seorang pendiri Pink Floyd ini akan tampil di Accor Arena, Paris, 2 & 3 Mei 2023, saya bertekad tidak akan melewatkan begitu saja kesempatan tersebut.
This Is Not A Drill Your 2023, begitu judul turnya kali ini, semula direncanakan berlangsung mulai Juli – Oktober 2020 namun terpaksa ditunda dikarenakan badai Covid-19, sehingga baru bisa terlaksana mulai 6 Juli 2022 di PPG Point Arena, Pitsburgh dan akan berakhir di Estadio Monumental, Santiago, Chili, 5 November 2023 mendatang.
Hari Rabu 3 Mei 2023 saya bersama teman Patrick Château, seorang fotografer andal, berangkat menuju stasiun Gourdon yang berjarak 35 km. Maklum daerah rumah saya tinggal merupakan area pedesaan bernama Villefranche du Perigord yang tidak dilewati oleh TGV (kereta supercepat Prancis). Setelah menempuh perjalanan 5 jam sampailah di Accor Arena, Paris. Saya tiba di venue sekitar jam 6 sore. Konser baru akan dimulai jam 9 nanti. Artinya masih ada waktu untuk nongkrong di cafe depan arena sambil berjemur. Suhu sore itu sekitar 20 celcius, cuaca cerah. Mantap sudah!
Dibangun pada 1981, venue ini dulunya bernama Bercy (Palais Omnisports de Paris Bercy) merujuk pada lokasinya yg berada di wilayah Bercy di Distrik 12 dengan kapasitas 20,300 orang. Letaknya persis di samping bangunan Kementrian Ekonomi Prancis.
Tahun 2014 Berry dibeli oleh Accor sehingga namanya pun berubah menjadi Accor Arena. Accor merupakan perusahaan konsorsium resort dan perhotelan pemilik Novotel, Ibis, ullman, Mercure, Raffles dan sebagainya. Ada yang pernah nonton Mission Impossible – Fallout ? Gedung ini muncul dalam adegan ketika Solomon Lane mendarat di heli pad, nah, Accor Arena terlihat di di latar belakang dengan bentuknya yang seperti piramid kembar.
Roder Waters selalu kaya akan gagasan. Untuk This Is Not A Drill dia membuat konsep panggung dengan bentuk menyilang ke arah empat mata angin yang kalau dilihat atas nampak seperti Palang Merah itu. Seluruh permukaan panggung tertutup oleh layar LCD.
Sebelum pertunjukan dimulai terdengar pesan melalui voice over yang mengatakan bahwa “Kalo suka Pink Floyd tapi tidak suka pandangan politiknya Roger, mending kalian nongkrong di bar aja!”
Pesan ini bukan tanpa alasan, beberapa waktu sebelumnya Roger terlibat kontroversi setelah menyatakan dukungannya kepada Palestina dan menyerukan kepada sejumlah musisi/band untuk tidak tampil di Israel. Seruannya ini membuatnya dituduh Antisemit. Kecaman pun datang antara lain dari mantan sesama Pink Floyd sekaligus musuh bebuyutannya, David Gilmour. Bersama istrinya Polly, dia membuat cuitan yang mengatakan bahwa Waters seorang Antisemit dan misoginis. Tidak kurang Pemerintah Jerman pun menjegalnya saat tur This Is Not A Drill akan ditampilkan di Frankfurt, 28 Mei.
Dan, seperti sudah diduga, Waters tetap bersikukuh atas pendiriannya. Oleh karena itu di setiap pertunjukannya selalu menampilkan maklumat seperti tadi. Bahkan pernah di sebuah kota pertunjukan, tak lama setelah menyerang Donald Trump, maklumat kembali berkumandang seraya menyilakan penonton untuk yang tidak senang dengan sikap politiknya untuk menonton saja konser Katy Perry atau Kadarshian. “Saya tidak perduli!”
Pencekalan demi pencekalan akhirnya memunculkan reaksi keras berupa petisi dukungan dari Eric Clapton, Tom Morello (Rage Againts The Machine),Brian Eno, Nick Mason (Pink Floyd), Peter Gabriel , aktris Susan Sarandon, Julie Christie dan banyak lagi.
Pukul 9 tepat konser dibuka dengan Comfortably Numb dari album the Lockdown Session. Layar LCD perlahan-lahan terangkat ke atas menjadikan stage sangat unik, memperlihatkan keseluruhan formasi band. Nampak Joey Waronker, drummer Beck dan REM, dan gitaris Dave Kilminster yang baik suara mau pun tone gitarnya sangat mirip David Gilmour. Selepas itu disambung The Happiest Days of our Lives dan Another Brick in the Wall. Lanjut empat nomor dari album solonya, yaitu The Powers That Be, The Bravery of Being Out of Rnage, Broken Bones dan The Bar.
Menarik adalah setiap kata yang diucapkan Waters dimunculkan dengan akurat melalui layar LCD. Selain itu terdapat juga narasi yang mempresentasikan pandangan-pandangannya tentang anti perang, anti drones, seruan pembebasan Julian Assange, korban perang dan korban kekerasan polisi sampai pemunculan deretan presiden Amerika mulai dari Ronald Reagan sampai Joe Biden yang dikatakannya sebagai penjahat perang.
Sebelum memulai The Bar, terlebih dahulu Waters bercerita panjang lebar seputar inspirasi lagu itu yakni mulai dari permainan jemarinya di tas tuts grand piano di sebuah bar. Kemudian bertemu seseorang dan terlibat diskusi meski mereka berbeda pandangan. Meski terkesan kepanjangan, namun pada satu sisi menunjukkan penguasaannya atas maksud dan tujuan sebuah lagu yang dia mainkan.
Usai The Bar disambung Have a Cigar dan Wish You Were Here yg menampilkan slide Syd Barret dan narasi pertemanannya dia dengan Syd. Waters dan Syd adalah dua figur peletak pertama musikalitas Pink Floyd. Foto-foto Syd Barret juga nampak mendominasi LCD ketika tiba giliran Shine On You Crazy Diamond yang jujur membuat saya merinding. Seluruh arena disiram warna merah. Sepanjang bercerita tentang kenangannya dengan Syd, Waters tidak pernah sekali pun menyebut nama David Gilmour, Nick Mason dan Rick Wright. Seakan mengindikasikan bahwa hanya Waters dan Sud-lah yang berani keluar dari zona nyaman Pink Floyd.
Set pertama ditutup dengan Sheep, dengan maskotnya berupa boneka balon biri-biri yang terbang jungkir balik mengelilingi arena.
Ada jeda 20 menit buat penonton untuk membeli minuman/makanan atau sekadar ngantre ke toilet. Antrean panjang menyebabkan saya terlambat kembali venue. Set kedua sudah dibuka dengan medley In The Flesh dan Run Like Hell. Stage dikelilingi bendera palu simbol The Wall dan maskot berikutnya si babi terbang muncul mengelilingi arena. Ditubuhnya tertulis ; steal from the poor, give to the rich, dan diakhiri tembakan senapan otomatis oleh Waters.
Setelah Deja Vu dan This The Life We Really Want? Waters tiba pada era Dark Side of the Moon. Dimulai dari Money, Us and Them, Any Colour You Like, Brain Damage dan diakhiri oleh Eclipse. Konser malam itu akhiri oleh Two Suns in the Sunset yang terinspirasi sosok Bob Dylan, istri dan kakaknya Waters. Seorang penonton di sebelah saya mengeluhkan kurangnya lagu-lagu era Pink Floyd malam itu. Yaela, ini ‘kan konser solo Roger Waters. Kalau mau full mendengarkan lagu Pink Floyd nonton saja band-nya David Gilmour dan Nick Mason!
Di balik raut muka keras denan rambut putih yang selalu acak-acakan, Waters diam-diam sosok yang memperhatikan etika. Terbukti sebelum berpamitan dia menyatakan kepada audience betapa cintanya terhadap bahasa Prancis yang dulu dikuasainya tapi seiring bertambahnya umur menjadi belepotan. Harus diakui Waters seorang penutur yang fasih. Selama dua jam pertunjukan kita serasa disuguhi kisah kejayaan seorag kakek dengan penyampaian yang hangat dan intim. Tanpa bermaksud menakut-nakuti, Waters berpesan bahwa dunia ini sedang sakit. Untuk seorang kakek berusia lanjut stamina Waters bisa dibilang luar biasa. Energinya luar biasa.
Dalam perjalanan pulang saya berpikir bagaimana mungkin Roger Waters yang berusia 80 tahun masih tetap langsing dan tetap fit selama pertunjukan yang berlangsung dua jam. Raut mukanya, setiap tertangkap layar LCD, nampak ekpresif dan suaranya menggelegar, sementara Vince Neil yang berusia 62 tahun nyanyinya seperti orang kena asma dan perutnya seperti ibu-ibu mau lahiran? (Dikyana Hidayat, laporan dari Paris).
Foto image Roger Waters : Roger Waters.com
Foto panggung : Dikyana Hidayat