Malam luruh bersama gerimis kecil di perumahan Villa Indah Cibubur, Jakarta Timur, pada Maret 2016. Lampu-lampupenerangan mulai berpendar, membiaskan cahaya kemilau pada pepohonan yang basah oleh tetes air hujan. Sayup-sayup terdengarsuara azan magrib dari sebuah masjid, lalu kembali sepi dan dingin. Meski terletak hanya selemparan batu dari salah satu pintu tol Jagorawi, yang setiap pagi dan sore hari selalu diisi kemacetan panjang, suasana tenang kompleks ini seperti hendak memutus hubungan dengan segala hiruk pikuk suasana perkotaan.
Lampu-lampu juga berpendar dari rumahyang terletak di seberang masjid,sebuah bangunan bergaya sederhana namun tampak kokoh dan sepintas tidak memiliki perbedaan mencolok denganderetan rumah penghuni lainnya. Yang membuatnya nampak mencolok hanyalah ornamen terbuat dari lempengan kaca, tepat di atas pintu masuk, yang membentuk logo sebuah band: Gong 2000. Itulah kediamanan Ian Antono, gitaris God Bless.
Selama bertahun-tahun rumah tersebut tidak hanya menjadi tempat berkumpul vokalis Achmad Albar, pemain bas Donny Fattah dan pemain keyboard Abadi Soesman dalam membahas setiap langkah dan perkembangan band rock yang kini memasuki usia 43 tahun itu. Tempat itu juga merupakan ajang pertemuan musisi berbagai aliran, teman seprofesi atau bahkan para pewarta. Sehingga dalam kesehariannya rumah tersebut jarang terlihat sepi.
Namun malam itu keheningan terasa menyungkup suasana. Ruang keluarga yang biasa terlihat semarak kini hanya diterangi sinar lampu temaram. Tidak ada gerendengan orang mengobrol membahas perkembangan musik atau sekadar gosip kekinian. Nafas kehidupan hanya ditandai oleh sesosok tubuh berambut gondrong, tengah bersandar pada salah satu sofa yang menghadap ke teras belakang. Jauh dari penampakan garang seorang rockstar, saat ituIan Antono seperti umumnya lelaki separuh baya. Berkain sarung dipadu kaos oblong polos, bersandal jepit dengan sebatang rokok kretek terselip di bibir, memeluk gitar akustik yang sesekali dipetiknya, memainkan nada yang tidak tuntas.
Pada embusan asap kesekian, sebuah keputusan penting telah diambilnya: merekam kembali seluruh materi Cermin,album kedua God Bless rilisan JC Record (1980). Keputusan yang sekaligus mengakhiri pergumulan batin yang membuatnya terombang-ambing antara menyiapkan album baru God Bless dengan berkarier solo.Pada 2014 Ian Antono sempat merilis album solo Songbook I,berisi rekaman ulang lagu-lagu hit yang pernah diciptakannya dengan aransemen dan penyanyi berbeda. Beberapa nama yang terlibat saat itu antara lain Roy Jeconiah dan Syaharani. Konon untuk proyek barunya ini seorang teman bersedia menggelontorkan dana, ia tinggal menyiapkan materi dan susunan penyanyi, setelah itu masuk proses pengerjaan. Namun setelah melalui diskusi panjang denganpersonel lainia memilih untuk lebih fokus pada pembuatan album terbaru bandnya.
“Proyek band menyangkut kepentingan banyak pihak. Sifatnya pun mendesak karena God Bless sudah tujuh tahun nggak mengeluarkan album. Sementara proyek solo urusannya cuma menyangkut gue sendirian. Pengerjaannya pun bisa kapan saja.” Kalimat ini dia ucapkan dengan datar seraya menyenderkan gitar.
Diseruputnya kopi hitam dalam cangkir hingga tinggal ampas, lalu melangkah ke arah teras di belakang rumah, memandangi sisa gerimis dan menyulut puntung rokok yang sudah waktunya dibuang.
Momen tersebut menjadi awal berkumpulnya kembali Ian, Albar, Donny, dan Abadi Soesman dalam serentetan diskusi untuk menyiapkan rencana kebangkitan mereka di dunia rekaman. Salah satu bahan perbincangan adalah menyangkut keterlibatan Fajar Satritama, yang dalam beberapa kesempatan terakhir menjadi drummer tamu. Kini posisinya ditingkatkan menjadi personel tetap. Fajar pertama kali membantu penampilan God Bless pada perhelatan Java Jazz 2012.
Derasnya pertanyaan, atau lebih tepatnya permintaan, agar God Bless ‘menghidupkan’ kembali Cerminmenjadi salah satu dasar pertimbangan kenapa proyek mereka kali ini tidak seluruhnya menampilkan karya gres. Achmad Albar memberi alasan: “Selalu saja munculpertanyaan tentang album Cerminsetiap kami tampil. Itu pertanyaan sulit karena master albumnya tidak ada pada kami. Saya lantas membahas dengan kawan-kawan bagaimana menyikapi tuntutan fans. Akhirnya diputuskanuntuk merekam ulang.”
Sekadar untuk diketahui, kepemilikan master yang dimaksud kini dipegang Logiss Records. Log Zhelebour, boss label ini, pernah merilisnya pada 2015. Log juga adalah pemegang resmi master album Semut Hitam (1988), Raksasa (1989), dan Apa Kabar? (1997).
Pada akhirnya keputusan menghidupkan kembali album Cerminbukan sekadar memenuhi dahaga penggemar setia,namun juga memberi kesempatan kepada para pelakunya untuk lebih menyempurnakan gagasan kreatif yang dulu sempat kandas karena keterbatasan perangkat analog berkapasitas 24-track. Dengan pencapaian teknologi zaman sekarang, tentu segalanya menjadi terasa mudah, termasuk menghadirkan kemegahan koor beraura opera.
Cerita tentang rencana God Bless rekaman lagi rupanya menjadi magnet bagi teman-teman lama seperti Teguh Esha. Penulis yang ngetop di era ’70-an berkat novel pop Ali Topan Anak Jalanan itu pada suatu hari mendadak muncul di rumah Ian Antono. Padahal sebelumnya mereka sudah lama tak saling berkirim kabar.Pertemuan ini rupanya merangsang Teguh untuk ikut menyumbangkan pemikirannya melalui dua lirik lagu: “Bukan Mimpi Bukan Ilusi”, serta “Damai”yang kemudian dijadikan single perdana.
Entah disengaja atau tidak, ide penulisan singlesangat relevan dengan situasi Jakarta yang saat itu tengah digoreng isu SARA oleh para petualang politik, menjadikan suasana ibu kota sangat tidak nyaman. Jagat maya riuh rendah dengan perang hujatan. Single “Damai” hadir menawarkan sebuah ajakan untuk mengakhiri segala bentuk pertentangan. Pesannya terang benderang. Tak perlu mengerutkan kening untuk menangkap kemana liriknya mengarah. Apalagi notasinya dibuat mengentak.Mudah menempel di telinga.
Secara frasa maupun unsur bunyi, “Damai” sebenarnya berbanding terbalik dengan “Kukuh” ciptaan Donny Fattah besertaistrinya, Diah Pitaloka, maupun “Bukan Mimpi Bukan Ilusi”.Dua judul terakhir ini berbicara tentang hakikat hidup, dibungkus oleh serpihan irama psychedelicdan lebih memiliki kesamaan napas dengan lagu-lagu dari Cemin: serius dan perlu kepekaan untuk dapat menangkap esensinya.Judul terakhir merupakan retrospeksi perjalanan karier Ian Antono yang telah mendedikasikan lebih dari separuh hidupnya di pentas ingar-bingar.
Maka Cermin 7, demikian judulnya, menjadi penanda kebangkitan God Bless setelah tujuh tahun absen dari dunia rekaman.
Angka tujuh pun lantas dijadikan dasar untuk menentukan tahapan-tahapan kemunculan. Pada 17 Desember album ini resmi diperkenalkan kepada para wartawan cetak dan elektronik, diikuti oleh penampilan di sebuah stasiun televisi swasta. Saat itu para penggemarnya masih harus bersabar dengan sistem pembelian format digital yang hanya dua lagu pada 17 Januari 2017. Baru pada 27 Januari 2017 kesempatan memiliki albumnya secara utuhbaik dalam format digital, compact disc, maupun piringan hitam dibuka secara daring. Kalau mau diperpanjang, usia Achmad Albar juga tahun ini memasuki kepala tujuh.
Para pencinta musik rock umumnya paham jika band ini super irit dalam pembuatan album. Masa vakum tujuh tahun dilewati para personel tanpa merasa terusik oleh tuntutan melahirkan karya baru. Saya selalu teringat pada pernyataan Donny Fattah tentang hal ini:“God Bless itu band rock & roll. Kami nggak pernah terpikir untuk mengeluarkan abum rekaman secara rutin. Mengalir sajalah.”
Di antara kekosongan, bassistyang terbilang produktif menulis lagu ini bahkan sempat merilis proyek berjudul Hitam Putihpada 10 Juli 2015, didukung sepenuhnya oleh generasi kedua God Bless. Mulai dari gitaris Iman Fattah, vokalis Teraya Parametha, bassistRocky Antono, drummerRama Moektio, dangitaris Nara Putra. Ini tak ubahnya proyek keluarga, apalagi di sana nimbrung gitaris Maully Gagola dan pemain perkusi Jalu G Pratidina, saudara serta adik ipar Donny Fattah.
Irama progresif sebagai formula musik album yang dirilis secara indie ini memperlihatkan adanya koneksi dengan konsep yang dibangunnya saat menggarap Cermin. “Inilah jati diri saya, musik era ‘70-‘80an,” ujar pria kelahiran Makassar yang telah berhenti merokok sejak 2010 ini.
Lain halnya dengan Abadi Soesman. Masa vakum God Bless dilaluinya dengan mengibarkan bendera Abadi Soesman Lonely Hearts Club Band yang khusus membawakan lagu-lagu The Beatles. Hingga kini ia tampil rutin di kafe kawasan Bekasi dan Tangerang. Sesekali saja menyibukan diri membantu proyek rekaman penyanyi solo. Belakangan ia seperti menemukan keasyikan baru ketika diminta mengajar sejumlah anak kecil untuk memainkan lagu-lagu The Beatles. Ia akan segera menghentikan seluruh kegiatan pribadinya jika sudah menyangkut urusan God Bless. Itu sebabnya kepada mereka yang ingin mengontrak Abadi Soesman Lonely Hearts Club Band ia selalu mengajukan persyaratan bahwa sewaktu-waktu ia bisa saja membatalkan jadwal pertunjukan yang telah disepakati.
“Dari dulu God Bless merupakan prioritas hidup saya. Saya aktif di sana sini, termasuk ikut rekaman dengan orang lain, karena band saya vakum.”
Sementara itu sang ikon, Achmad Albar, masih kerap disibukkan oleh permintaan tampil di berbagai daerah. Selebihnya ia memilih menikmati hari-harinya bersama sang cucu, River Syech (2). Putra Fachri Albar ini sudah mulai pintar menirukan lagu-lagu God Bless dan bermain-main dengan drum stick. River bahkanpandai menirukan pembacaan doa keselamatan dalam bahasa Bali yang terdapat pada lagu “Laskar” (Gong 2000) meski masih dalam bentuk gumamam. Toh meski sebagai frontman selalu dituntut berstamina prima, Albar mengaku tak pernah menjalankan program khusus kebugaran. Olahraga pun sudah lama ditinggalkannya.
“Aku sudah malas berolahraga, he-he.”
***
Cermin : Album God Bless Paling Ambisius
Hingga kini album Cermin kerap dipandang sebagai salah satu album God Bless paling ambisius. Persiapan rekamannyamemakan waktu satu tahun di studio latihan milik manajernya, Rudy Haryanto, diJalan Pinangsia, Jakarta Barat. Belum lama sebenarnya Rudy menjadi manajer. Jabatan ini sebelumnya dipegang A Kuang. “Zaman dulu istilahnya cukong,” celetuk Donny Fattah.
Periode ini juga merupakan masa peralihan posisi pemain keyboard dari Yockie Soeryo Prayogo kepada Abadi Soesman.Konon nama terakhir ini sempat menolak tawaran dengan alasan band itu terlalu besar baginya, terutama menyangkut figur yang akan digantikannya. Padahal sebelumnya mantan personel Gipsy ini sudah sering bekerjasama dengan mereka. Pada sekitar 1977 mereka sama-sama menggarap tiga album Duo Kribo plus satu album soundtrack.Saat itu nama Yockie tengah melambung berkat sukses Badai Pasti Berlalu yang dikerjakannya bersama Chrisye dan Eros Djarot. Fakta ini memaksa Abadi Soesman berpikir keras saat diminta menggantikannya.
“Mas Yockie idola saya. Dia sudah banyak memberi kontribusi kepada warna musik God Bless, saya belum tentu mampu menggantikannya. Intinya, Mas Yockie terlalu besar buat saya.”
Baru ketika Donny Fattah dan Ian Antono mendatangi kediamannya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, dirinya menyatakan bersedia menerima pinangan tersebut dengan syarat diberi kebebasan untuk bereksplorasi.
Setelah berada di lingkaran dalam dan ikut menyiapkan materi rekaman, Abadi segera menyadari bahwa langkah band ini tengahmenuju ke sebuah persimpangan: konsep musik seperti apa yang hendak diusung? God Bless sudah menjadi band rock tersohor, kebanggaan Jakarta yang mampu menyejajarkan diri dengan para seniornya seperti AKA (Surabaya), atau The Rollies dan Giant Step (Bandung). Namun industri rekaman tengah didominasi oleh para penguasa musik pop semisal D’Lloyd dan Favourite’s Group. Banyak band rock ketika itu terseret arus selera pasar.
Muncul pertanyaan, apakah harus mengikuti arus komersial atau tetap mempertahankan identitas? Teddy Sujaya, mantan drummer yang bergabung menggantikan Fuad Hasan, mengenang proses persiapan Cermin sebagai bentuk pencarian konsep tanpa batas. Di tengah perdebatan berkepanjangan itulah Donny Fattah mendesak teman-temannya untuk segera mengambil keputusan dengan tidak terlalu memusingkan persoalan komersil.
“Kami ini musisi, hanya tahu bagaimana menghasilkan musik yang bagus menurut kami. Soal laku atau tidak tentunya label lebih paham,” alasannya. Menurut Abadi Soesman, sejumlah gagasan serta ketegasannya dalam mengobarkan semangat idealisme telah menempatkan Donny Fattah sebagai konseptor album Cermin. Donny pulalahjembatan pertemuan antara Ian Antono kepada Theodore KS, penulis lepas di harian Kompas, yang terbiasa keluar masuk studio rekaman guna mewawancarai narasumber. Theo, panggilannya, pernah ikut menulis dua liriklagu untuk proyek solo Donny, D&R (Donny Fattah & Rudy Gagola–adiknya), yaitu Cindy dan Mimpi yang menjadi hit. Dalam ingatannya, gitaris tersebut terlihat paling misterius.“Dari dulu Ian Antono orangnya memang pendiam. Senang menyendiri.Kalau yang lain ngumpul ramai-ramai dia mah biasanya memilih mojok.”
Kabar bahwa Theo memiliki kemampuan menulis lirik mendorong Ian Antono untuk menyerahkandua buah komposisi ciptaannya yang belum terisi lirik. Theo mengaku kaget.Baginya memperoleh kepercayaan seperti itu bak mendapat durian runtuh. Membayangkan bahwa lirik ciptaannyananti akan mengisi album God Bless sudah langsung membuattubuhnya gemetar. “Siapa sih yang nggak bangga karyanya bakal dinyanyikan Achmad Albar?” kenang Theo.
Maka setelah mengantongi pita kaset C-15 berisi demo Theo pun memacu sepeda motor tuanya menuju rumahnya di kawasan Tebet, dan mulai corat-coret. Kelak kedua demo lagu inilah yang populer dengan judul “Balada Sejuta Wajah” dan “Selamat Pagi Indonesia”.
Jika judul pertama berbicara tentang kegelisahan kaum urban, judul terakhir secara spesifik menyorot lelaki bernama Waluyo. Sosok yang lebih ngetop dengan nama Kusni Kasdut ini tak lain adalahmantan pejuang revolusi yang setelah kemerdekaan berbelok haluan menjadi penjahat yang sangat ditakuti masyarakat.Namanya meroket setelah berhasil merampok permata dari Museum Nasional. Beredar pula cerita bahwa dirinya kebal terhadap peluru. Keangkerannya kira-kira sejajar dengan Mat Pelor dan Mat Peci.Namun setelah berkali-kali berhasil melarikan diri dari penjara hidupnyaberakhir tragis di hadapan regu tembak.Theo lantas mengerahkan imajinasinya untuk mendeskripsikan detik-detik terakhir Kusni Kasdut menyongsong timah panas yang menjemput nyawanya di pagi buta.
“Sayap burung berkepak menembus embun pagi/Terbang menerjang gerbang dini/Terperanjat mendengar langkahnya yang begitu tegap/Melangkah menuju keabadian”.
Dari segi komposisi, “Selamat Pagi Indonesia” berhasil menabrakkan ungkapan puitis dengan irama rock progresif yang maskulin, penuh dengan jebakan sinkop namun tetap terdengar harmonis. Mempertemukan dua titik ekstrem dengan hasil memikat tentu memiliki tingkat kesulitan tinggi. Berbeda, misalnya, dengan “Balada Sejuta Wajah”. Denting gitar akustik yang menjadi ilustrasi kegelisahan adalah pola standar pada penulisan karya berwarna balada.
Tema lagu lainnya yang bersumber pada sejarah adalah “Sodom Gomorah”. Kita tahu, judul ini diambil dari nama dua kota yang dihancurkan Tuhan akibat kemaksiatan tumbuh merejalela. Dalam bahasa Ibrani, Sodom artinya terbakar sedangkan Gomorah artinya terkubur.
Di tengah masa persiapan inilah Achmad Albar membuat langkah kontroversial dengan merilis rekaman dangdut Zakia. Rapatnya pertautan waktu pengerjaan membuat aroma rock progresif tertular pada “Raja Kumbang” yang musiknya dikerjakan Ian Anton dan Antono. Riff gitar yang bergerak cepat dari hulu hingga hilir mengingatkan pada gaya Jimmy Page dalam “The Song Remains The Same”. Hingga bertahun-tahun setelah beredar, pencinta musik di Malaysia masih mengingat “Raja Kumbang” sebagai hit yang bertahan sangat lama. “Memang energi album Cerminterbawa pada waktu kami mengerjakan album solonya Mas Iyek,” jelas Abadi Soesman.
Ketika akhirnya Rudi Haryanto merilis lewat label miliknya, album yang dikerjakan dengan segala totalitas dan penuh perdebatan sengit itu ternyata disambut dingin oleh pasar. Penggemarnya terbatas pada anak band. Mayoritas konsumen terlihat bingung. Teddy Sujaya pun tertawa ketika dimintai komentar.
“Kami memang nggak memikirkan persoalan album itu mau laku atau tidak. Tahunya hanya rekaman lagu-lagu hasil latihan. Sama sekali nggak menyangka bahwa sekian tahun kemudian barangnya diburu para kolektor.”
Terlepas dari kerugian secara bisnis, keberadaan Cermin tetap menyisakan kebanggan dalam dirinya. Sekadar mengingatkan, seluruh proses rekamannya menggunakan set drum Pearl warna putih, sama persis dengan yang digunakan Ian Paice. Mimpi kepemilikan drum tersebut bermula saat Deep Purple tampil di Stadion Utama Senayan, 4 dan 5 Desember 1975. Entah bagaimana Teddy rupanya berhasil mendekati panggung dan mengamati settingperangkat milik idolanya itu. Menurut Teddy, kini drum kebanggaannya itu telah berpindah tangan menjadi milik Rhoma Irama.
Kini drummer yang berjasa melambungkan Anggun C Sasmi itu tinggal di Bali bersama keluarganya dan mengelola Kedai Bukan Roti Biasa di Jalan Teuku Umar, Denpasar. “Gue dengar juga God Bless merekam ulang album Cermin.”
Tidak lama kemudian Donny Fattah bersama istrinya (saat itu), Rinny Noor, bertolak ke Amerika untuk menetap di sana. Posisinya segera digantikan adiknya, Rudy Gagola, karena God Bless masih menyisakan satu kontrak panggung di Bandung. Sementara Rudi Haryanto belakangan sukses mengembangkan usaha penyewaan sound system di bawah nama Rama Agung Musik (RAM).
*****
Album Cermin 7 diedarkan PT Aquarius Musikindo. Ini tidak ubahnya reuni kecil. Pada 1976 label ini pernah merilis album debutGod Bless, bekerjasama dengan Radio Prambors lewat bendera Pramaqua (Prambors-Aquarius). Kongsi ini sebelumnya lebih mengkhususkan pada produksi kaset khusus lagu-lagu barat. Selang beberapa tahun kemudian merekarupanya mulai berpikir untuk merambah pasar musik lokal dengan memproduksi sendiri album band Indonesia. Pilihan jatuh pada God Bless. Menurut Soerjoko, pendiri PT Aquarious Musikindo, salah satu dasar pertimbangannya adalah sosok Achmad Albar yang tengah menjadi idola anak muda.
Pada 1975 Achmad Albar berpasangan dengan Rini S Bono muncul dalam Laela Majenun,film yang diadaptasi dari Romeo & Juliet karya Shakespeare dan West Side Story karya Jerome Robins dan Robert Wise. Di dalamnya terdapat lagu “Huma Di Atas Bukit” dan “Sesat”, ciptaan sutradara Sjumandjaja dan Donny Fattah yang juga menulis “Setan Tertawa” untuk film Semalam Di Malaysia.Ketiga lagu inilahyang kemudian menjadi album debut tadi setelah dilengkapi “Rock Di Udara”, “She Passed Away”, dan “Gadis Binal”. “Vinyl pertama untuk band rock yang kami rilis ya album God Bless, meski sebatas sebagai materi untuk promosi,” kata Iman Sastrosatomo, direktur label tersebut.
Kini, 42 dua tahun kemudian, kedua belah pihak kembali bekerjasama. Semula keterlibatan Aquarius hanya untuk manangani ditribusi dalam format digital,namun kemudian berkembang lebih menyeluruh dengan penerbitan album fisik dalam format compact disc dan vinyl. Inilah vinyl pertama sejak Aquarius didirikan oleh Soerjoko pada 1969. Penjualanya dilakukan secara daring.Tampaknya hubungan sejarah kerja sama dan nama besar God Bless menjadi dasar pertimbangan terobosan ini.
“God Bless itu living legend, sejarah musik rock Indonesia ada pada mereka. Akan sangat disayangkan jika penanganan album barunya tidak maksimal,” jelas Iman.
Memunculkan kembali masterpiece yang sudah berurat akar dalam ingatan banyak orang selamanya mengandung risiko kegagalan dan keberhasilan yang setara. Album Cermin 7 sepertinya tengah bersiap memasuki wilayah pertarungan ini. Apalagi sebagian materinya mengedepankan rock progresif yang bagi sebagian kalangan awam terdengar tidak familiar.
Namun saat menyimak hasil penggarapannya, Achmad Albar dan kawan-kawan tampak sudah memperhitungkanhal ini. Mereka cukup berhati-hati untuk tidak terlalu jauh mengubah bagan setiap lagu. Hanya ada beberapa bagian kecil yang lebih disederhanakan termasuk pemangkasan durasi “Anak Adam” dari 12 menit 6 detik menjadi 9 menit 7 detik. Fokus perhatiannya lebih diarahkan pada pengembangan sound agar dapat dinikmati oleh penggemar musik generasi sekarang, sementara mereka yang telah akrab dengan materi versi pertama tidak akan merasa ditinggalkan. Dalam konteks menghadirkan kekinian inilah peran Fajar Satritama dimunculkan.
Sebagai personel termuda yang memiliki gempuran penuh tenaga, salah satu pendiri Edane iniadalah darah baru. Ia cepat menyesuaikan diri dengan napas musik God Bless namun tetap membuat ruang tersendiri untuk mengembangkan pola permainan. Melalui teknik pukulannya yang ekspresif dan cenderung mengintimidasi, “Musisi” versi baru terdengar lebih agresif. Jika harus jujur, beberapa perubahan struktur pada seluruh aransemen nampak dibuat untuk menyesuaikan dengan pola permainannya. Harap diingat bahwa Edane dan God Bless memiliki perbedaan konsep musikal. Fajar berhasil memosisikan dirinya di dua wilayah itu. Cukup beralasan ketika dirinya tak berniat meninggalkan Edane meski manajemen God Bless telah membuka pintu sebagai drummer tetap.
“Dua band ini musiknya berbeda, dan gue merasa belum menemukan kendala berada di antara keduanya. Kalau bisa sih jangan sampai harus meninggalkan Edane,” kata sarjana Hukum lulusan Universitas Indonesia ini.
Artinya, kini ia harus lebih pintar bersiasat dengan waktu mengingat statusnya sebagai Head Department di Bank ICBC Indonesia cukup menyita kesehariannya. Jangan heran jika suatu ketika Fajar datang ke panggung pertunjukan dengan masih berkemeja rapi.
Hal paling mendasar dari album rekaman Cermin 7 terletak terletak pada penurunan tempo setiap lagu. Ian Antono menampik ketika hal ini dihubungkan dengan bertambahnya usia rata-rata personel yang sudah berkepala enam–Achmad Albar bahkan sudah berkepala tujuh.
“Memang tempo seperti itu yang diinginkan. Dulu usia kami masih muda banget, masih emosional, pengetahuan soal teknis rekaman pun terbatas, jadi waktu penggarapan nggak terlalu banyak pertimbangan. Main hajar saja. Barulah ketika dimainkan di atas panggung terasa temponya terlalu cepat. Tapi waktu itu semuanya pada cuek.”
Yang menarik, Cermin 7 direkam ulang oleh keempat dari lima pelaku aslinya. Fakta ini memungkinkan terjaganya benang merah kreatif di antara versi pertama dan kedua. Karena itulah proses penggarapannya berlangsung cukup singkat, tak lebih dari enam bulan. Banyak elemen yang tetap dipertahankan, termasuk permainan irama pentatonik oleh Abadi Soesman pada “Anak Adam”. Semasa menjadi personel kelompok Gipsy ia memang sudah menyimpan ketertarikan pada kesenian Bali. Namun obsesinya kala itu sulit tersalurkan karena Guruh Soekarno Putera, pencetus terbentuknya Gispsy, sudah memiliki konsep tersendiri. Kesempatan baru diperolehnya setelah bergabung dengan God Bless.
“Saya pernah dengar Ray Manzarek memainkan gamelan Bali di album solonya (The Golden Scarab), bagus banget,” katanya beralasan. Personel The Doors itu bukan satu-satunya musisi asing yang pernah mengadopsi gamelan Bali. Tercatat Eberhard Schoener lewat album eksperimental Bali Agung dan Jon Anderson (Yes) pada koda lagu “Unlearning”pernah melakukannya.
Di dalam album terdapat sembilan lagu lama dan tiga lagu baru. Pengembangan sound yang jauh lebih modern serta hasil mixing apik oleh Stephen Santoso menjadikan Cermin 7 tidak terasa lagi sebagai sajian menu yang datang dari masa lalu. Pencinta rock progesif generasi baru tak perlu terkaget-kaget. Album ini pun dapat menjadi pintu masuk untuk mengenal jauh salah satu sosok band rock tertua Indonesia yang hingga ini tetap bertahan. Mereka dapat mencermati sendiri kedahsyatan sebuah album yang sebelumnya mungkin hanya didengar melalui cerita kakak atau malah orang tua. Sementara bagi penggemar lama album ini adalah obat rindu yang mampu memberi pengayaan rasa.
Masihkah jago-jago tua ini memiliki taji sebagai macan panggung? God Bless akan memperlihatkannya melalui tur Super Rawk yang dibuat di enam kota Jawa Barat,mulai dari Garut (25/3), Cirebon (1/4), Pangandaran (8/1), Cianjur (22/4), Purwakarta (29/4) hingga berakhir di Bandung (13/5). Mereka didampingi dua band rock generasi penerusnya: /rif dan Kotak.
Maka biarlah waktu yang akan membuktikan.(*)
*) Majalah Rolling Stone Indonesia, edisi Maret 2017