Dream Theater, sekali lagi, memberi pelajaran bagaimana sebuah komposisi disajikan secara berkelas. (Anggitane/HUJANMUSIK)
Siang itu, Rabu 10 Agustus 2022, Solo tengah menunjukkan pencapaian suhu tertinggi mencapai 31 derajat celcius dengan langit cerah berawan. Sekitaran Stadion Manahan menjadi titik keramaian. Jika dua hari sebelumnya lekat dengan nuansa olahraga skala Asia Tenggara, kali ini pemandangan khas konser musik menyeruak memenuhi pandangan.
Dominasi pedagang t-shirt warna hitam berikut aksesoris pendukungnya bertebaran hingga pintu masuk utama.
Hari itu Solo akan dikenang sebagai monumen kesekian bangkitnya geliat konser musik berskala internasional, setelah beberapa tahun absen. Tak tanggung-tanggung, band rock/metal progressive kenamaan Dream Theater, yang didatangkan promotor Rajawali Indonesia, dimunculkan sebagai magnet penggerak massa yang menyemut memadati area parkir A & B, Stadion Manahan Solo.
Sudah bulat tekad takad untuk menyaksikan konsernya hingga tuntas. Rasa lelah selepas menempuh 2 jam berkendara jarak Jogja – Solo tak ada artinya dengan luapan kegembiraan segera berjumpa kolektif kenamaan asal Amerika itu. Bergegas, saya mengarahkan mesin roda dua lansiran 2007 mengitari komplek Stadion Manahan, mencari ruang parkir yang aman.
Geliat kabar bahwa mereka bakal melangsungkan konser “Top of The World Tour” di Kota Solo menjadi prioritas yang mengusik hari-hari setelahnya. Banyak agenda yang harus digeser untuk menyesuaikan dengan jadwal kedatangan mereka. Pantang dihadang sebelum kesampaian menyaksikan langsung aksi John Petrucci dan kawan-kawan.
Indonesia sebagai satu – satunya negara di Asia Tenggara, dan negara Asia kedua setelah Jepang, yang menjadi persinggahan Dream Theater untuk mempromosikan album ke-15 mereka “A View from the Top of the World”.
Dream Theater saya kenali kali pertama justru bukan dari album-albumnya. Saya mendapati mereka dari sebuah kaos yang dikenakan oleh banyak pemain snare perkusi yang berlaga dalam Hamengku Buwono Marching Band Championships tahun 2003 silam di Stadion Mandala Krida, Jogjakarta.
Perkenalan berlanjut dengan “Pull Me Under” yang menjadi lagu audisi sebuah band lokal sekitar kost-an kala itu. Saya memberanikan diri melamar untuk posisi sebagai drummer dan gagal lolos audisi.
Sejak saat itu saya menempatkan Dream Theater sebagai kolektif rock yang rumit namun tetap menarik untuk diikuti. Standar keahlian musikal saya yang tak cukup waktu mempelajari teknik rock presisi yang mereka miliki. Membuat saya memilih realistis untuk menjadi penikmat dan penyimak saja.
Setelah melewatkan penampilannya pada 2017 silam di Stadion Kridosono Jogja, kedatangan ke Solo 5 tahun kemudian sudah barang tentu sangat layak diperjuangkan.
Antusiasme penyuka Dream Theater di Indonesia terhitung sangat tinggi, hingga waktu pelaksanaan konser, ribuan tiket reguler sudah habis terjual. Seruan protes dilayangkan ke berbagai platform media sosial Rajawali Indonesia, tak sedikit yang mendesak untuk membuka penjualan tiket On The Spot. Akhirnya penjualan tiket On The Spot pun diakukan mulai pukul 10:00 WIB, dengan harga Rp. 1.500.000 untuk festival A, dan Rp. 1.000.000 untuk festival B sudah termasuk pajak dan admin.
Antrian penggemar menyemut di pintu masuk, baik yang menukarkan tiket online maupun yang melakukan pembelian langsung. Sembari menunggu open gate, banyak diantara mereka yang memanfaatkan waktu dengan berfoto di depan gate area parkir A dan B Stadion Manahan.
Sebagai kolerktif rock/metal progressive Dream Theater memang banyak mempengaruhi musisi dan individu yang memiliki jiwa progresif di dalamnya.
“Saya dari komunitas Dream Theater Indonesia, namanya juga anak komunitas jadi wajib banget nonton Dream Theater. Seberapa penting mereka mempengaruhi saya dalam bermusik?, bisa dibilang mereka influence terbesar saya dalam bermusik,” kata Lie Andi, musisi yang bermain bass untuk Jikunsprains, saat ditemui Kamarmusik.id di sekitar venue.
Beragam kalangan lintas usia, profesi dan status tampaknya menyatu dalam simbol t-shirt dengan noktah tulisan maupun logo Dream Theater.
Seorang penggemar dari Bogor yang enggan dikutip namanya mengaku menyukai Dream Theater sejak duduk di Sekolah Menengah Pertama. Ia memaksa hadir disela-sela jeda mengajar kelas Fiqih di salah satu pesantren di Bogor.
“Saya naik bis ke Solo, meski effort-nya berat dan hari kerja, tetap saya usahakan demi nonton mereka. Setelah ini paling langsung naik bis pagi balik ke Bogor, kalau kelamaan kasihan kyai dan anak- anak santri nanti,” tegasnya.
***
Waktu menunjuk pukul 15.30 WIB, berjarak dua jam dari jadwal open gate venue konser. Hujan dengan intensitas sepersekian sempat menyambut dan membasahi pelataran Manahan.
Set panggung yang sejak siang sudah siap menggelegar mulai menampakkan kesibukan.
Dari kejauhan saya saksikan Mike Mangini dan Jordan Rudess terlibat dalam diskusi bersama John Petrucci. Sementara John Myung terlihat sibuk dengan teknisi bass-nya, dan James LaBrie mondar- mandir memastikan suara mic-nya memenuhi kebutuhan untuk pertunjukan malam nanti.
Ritual sound check sepertinya berlangsung cukup serius. Dream Theater terlihat sangat profesional menyiapkan penampilan untuk penggemarnya. Area Front of House (FOH) menjadi kawasan steril untuk orang yang tak berkepentingan. Ketat.
Anas Syahrul Alimi, founder Rajawali Indonesia tampak beredar di sekitar area Festival B. Meski beberapa kali menyapa kolega dan pendukung konser dengan ramah, gawainya lebih sering dalam genggaman dengan sesekali menempel di telinga. Sorot matanya tetap tajam melirik arah panggung tempat Dream Theater dan kru melakukan pengecekan sound. Aura kelegaan tersirat dari roman mukanya selepas hujan berhenti dan kru Dream Theater tampak puas dengan pengecekan.
“Ini menjadi mimpi bersama bahwa band rock progressive dunia peraih Grammy akhirnya bisa konser di Solo. Ini kebanggaan kita bersama. Butuh proses yang panjang sebelum akhirnya Dream Theater memutuskan bersedia menggelar konser di Solo,” ungkapnya.
Terlintas ingatan pada 2017 silam, tentang kisah perjuangan luar biasa seorang Anas Alimi dan tim Rajawali Indonesia mendatangkan Dream Theater ke Jogja. Berikut kisah kemustahilan yang mampu dipecahkan, memindahkan venue dari Candi Prambanan ke Kridosono dalam waktu 20 jam.
Kisah berkesan dan menjadi catatan tersendiri bagi Dream Theater ketika dihubungi Anas untuk kembali tampil di Indonesia.
“Yang tahun ini itu menjadi lebih kuat. Ada semangat untuk mendatangkan lagi, karena ada sejarah ketika saya mendatangkan Dream Theater,” beber Anas.
Catatan penting lainnya, Dream Theater menjadi band internasional pertama yang konser di Indonesia setelah pandemi.
Kali ini kehadiran mereka di Solo membawa predikat berkelas. Mereka membuktikan diri sebagai band rock/metal progressive yang masih aktif berkarya hingga album ke-15.
Pada album itu, band yang bertahan dengan formasi John Petrucci (gitar), John Myung (bass), James LaBrie (vokal), Jordan Rudess (keyboard), dan Mike Mangini (drum) justru lebih berkembang secara musikal dengan tetap mempertahankan kekuatan teknis instrumentalisnya.
Ada 7 lagu dalam album yang mereka garap saat tengah pandemi waktu lalu. Album yang akhirnya berhasil meraih Grammy 2022 untuk single berjudul “The Alien”, pada kategori “Best Metal Performance”.
Rasanya sangat wajar jika Rajawali Indonesia selaku promotor berupaya semaksimal mungkin untuk menyajikan konser berstandar internasional. Gagasan music tourism yang diharapkan mampu memberikan sumbangsih mewujudkan Kota Solo menjadi kota tujuan destinasi budaya.
Hal itu dibuktikan promotor dengan menggandeng 25 Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) kota Solo untuk turut mempromosikan berbagai macam potensi kearifan lokal kota Solo.
“Music tourism ini dampaknya sangat nyata bagi kota-kota di luar Jakarta, mereka sudah seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama. Dengan konser musik bertaraf internasional, dampak ekonomi di kota Solo jelas terlihat. Hotel-hotel penuh, dan khususnya kuliner khas Solo akan menjadi destinasi lanjutan setelah menonton konser ini”, tambah Anas Syahrul Alimi.
Pukul 17.54 WIB, panggung kembali sepi. Distorsi telah menepi. Entrance gate Festival B terlihat padat, barisan pemegang tiket konser sudah merapat dengan tertib menunggu waktu open gate, sembari dihibur gerungan musik keras dari panggung “Rock In Solo Village”, spot yang menjadi promosi hajatan festival musik rock kebanggan kota Solo, “Rock In Solo”, Oktober mendatang.
Gelegar keriuhan tak lama melanda. Gelombang manusia segera menghambur menuju area Festival B, A dan venue yang tersedia. Menerjang dan berebut untuk tiba di lokasi panggung sesegera mungkin. Festival A menjadi lokasi paling dekat dengan panggung, masing-masing segera mencari posisi paling memungkinkan untuk menyimak konser dalam dua jam kedepan.
Sampai disini mereka harus bersabar demi menyaksikan sejarah konser rock penting di Kota Solo. Dari cara tutur mereka terkuak bahwa sebagian besar bukanlah berasal dari sekitaran sini. Ada yang dari Sidoarjo, Semarang, Jambi, Jakarta, Bogor, Bandung, Medan, Pontianak dan hampir dari seluruh kota di Indonesia selain Solo. Bahkah dari luar negeri seperti Thailand, Singapura dan Malaysia.
Sebuah kondisi yang mewakili klaim pihak Rajawali Indonesia, bahwa dari 10.000 lebih pemegang tiket, 60-70 persennya adalah dari luar Solo dan Jawa Tengah.
Mendekati pukul 19.00 WIB, tata cahaya panggung seturut redup dan padam. Namun tak lama kemudian kembali benderang dan kehadiran Dewa Budjana yang mengantarkan koor massa membawakan “Indonesia Raya”. Seketika, energi penonton kembali bergelora, seolah terpancar bahwa malam ini akan menjadi luar biasa.
***
Layar LED besar yang terhampar di belakang set drum Mangini dan Keyboard Jordan menjadi pusat perhatian. Ilustrasi yang ditampilkan semakin mengantarkan imajinasi kemegahan konser Dream Theater malam itu.
Jordan mengangkat tangannya, seolah menyapa penonton yang sudah menantinya sejak siang. Seturut kemudian Mangini melempar senyum dari balik set drum yang nyaris menenggelamkan tubuhnya. Menyusul kemudian Petrucci dan Myung yang langsung sibuk dengan perangkatnya masing-masing.
Kemunculan keempatnya langsung menuai sorak crowd.
Tak sampai dalam hitungan menit, sekira pukul 20.03 WIB Mangini menghentak, memberi tanda yang langsung disambar bebunyian dari personil lain. Crowd langsung diguyur sound instrumetalis dari sistem tata suara berdaya 120.000 watt, sebelum akhirnya James LaBrie muncul dari belakang Petrucci 2 menit kemudian.
Sengatan pertama Dream Theater “Top of The World Tour” dimulai dengan repertoar “The Alien”. Single peraih Grammy itu disuguhkan pada awal repertoar dengan enerjik. Durasi hampir 10 menit dilibas tanpa cela sedikit pun.
Nama John Petrucci dan John Myung yang diteriakan crowd, terdengar membahana sepanjang awal lagu. Tak bisa dipungkiri, karisma keduanya memang mendapat tempat secara khusus. Setidaknnya itu yang saya dengar dari barisan penonton di bagian depan.
Selepas “The Alien”, repertoar kedua “6:00” digelontorkan. Lagu yang diambil dari album ‘Awake’ terbitan 1994 itu memberi ruang ruang eksploratif John Myung yang secara pembawaan cenderung kalem.
Baru setelah 15 menit menghujam tanpa henti, James LaBrie menyapa. Dibawah dukungan tata cahaya yang secara khusus didatangkan langsung dari vendor di Australia dan Singapura, LaBrie mengungkapkan rasa gembiranya kembali bertemu crowd di Indonesia.
“It’s been such a long time, we right here tonight…are you with us?,” teriak lantang LaBrie, sebelum Dream Theater lanjut menebas dengan “Awaken The Master”.
Repertoar ketiga yang diambil dari album ‘A View From The Top Of The World itu’ mengambil durasi hampir 10 menit. Nyala nalar saya nyaris tak berkutik menyaksikan betapa gagahnya masing-masing personil Dream Theater menyublim diri mereka menjadi kekuatan musikalitas terbaik yang pernah saya lihat. Dan itu terjadi dalam usia mereka sekarang yang rata-rata menyentuh kepala 5.
Memasuki lagu keempat, Petrucci memberi intro “Endless Sacrifice” yang cukup familiar ditelinga penggemar. Lagu yang ditulis saat masih bersama Mike Portnoy dalam ‘Train of Thought’ (2005) itu memberi ruang Jordan Rudess memainkan keytar dan bersahut-sahutan dengan Petrucci dari bibir panggung.
Saya merasa perlu kagum dengan Mike Mangini yang melibas “Endless Sacrifice” dengan sempurna. Kekaguman yang sudah sewajarnya untuk drummer yang sempat membagikan ilmunya sebagai pengajar di Berklee College of Music di Boston, USA.
Waktu bagian Solo menunjuk pukul 20.51 saat Dream Theater mengakhiri “Bridges in the Sky” dari album ‘A Dramatic Turn of Events’ (2011). Semua personil menepi untuk sesaat. James LaBrie kembali bercengkrama dengan crowd sejenak.
“Solo….What a funtastic crowd tonight…Seriusly it’s so cool to be back here…Let’s continue with this show, this is also from our latest album, this is “Invisible Monster”,” teriaknya.
Lantas John Petrucci muncul dan memainkan intro “Invisible Monster” yang terdengar melodius dan magis itu. Sebagai nomor baru, “Invisible Monster” yang dimainkan dengan standar musikalitas diatas rata-rata tampak turut dirapalkan crowd. Semua kompak terbawa komando LaBrie.
“About To Crash” menjadi babak lanjutan setelahnya. Isi layar dengan ilustrasi semakin menjadi dengan tata cahaya yang sedemikian luar biasa membuka cakrawala bahwa Dream Theater tak kekurangan generasi penyukanya. Lagu yang masuk dalam album ‘Six Degrees of Inner Turbulence’ itu diproduksi pada tahun 2002.
Dibuka dengan permainan solo Jordan Rudess, barisan depan penonton yang diisi penggemar lintas usia tampak santai bergumam mengikuti alunan suara dari Korg Kronos yang dimainkannya.
Keybordist yang bergabung dengan Dream Theater sejak era album Metropolis Pt. 2: Scenes from a Memory (1999) itu memiliki pengaruh yang cukup kuat pada karya-karya Dream Theater setelahnya. Sematan “Best Keyboardist of All Time” oleh Music Radar Magazine tahun 2011 menguatkan itu.
Sing a long cowd kian menjadi-jadi saat nomor “The Ministry of Lost Souls” dari album ‘Systematic Chaos’ (2007) dikumandangkan. Baik itu isian vokal LaBrie maupun melodi yang ditorehkan Petrucci dan Jordan Rudess rapat diikuti crowd.
Sungguh gemuruh yang membuat merinding.
Repertoar berikutnya adalah “A View from the Top of the World”, judul lagu yang juga menjadi nama album terbaru mereka.
Melihat cara Mike Mangini dan John Myung yang berkomunikasi secara musikal, saya seperti melihat penaklukan angkasa tanpa penguasa. Padu dan memasrahkan dinamika bebunyian dalam kawalan bass dan drum tanpa jeda.
Sejenak saya hampir terkecoh jika nomor ini dimainkan sebagai laga pamungkas. Apalagi kilatan cahaya futuristik terlihat royal ditampakkan jelang lagu berakhir. Pun saat Jordan Rudess maju kedepan panggung dan memberikan salam dalam lambaian tangan.
Lantas panggung pun gelap dan menyisakan teriakan crowd “We want more” berkali-kali.
Sampai akhirnya intro “The Count of Tuscany” terdengar mengiringi langkah John Petrucci mengambil jarak dan memainkan frase satu unit lagu yang masuk dalam album ‘Black Clouds & Silver Linings’ (2007). Diikuti kemunculan Mike Mangini dari balik set drum dan Jordan Rudess mendekati perangkat keyboard.
John Myung yang muncul terakhir dengan petikan bassnya menandai berakhirnya intro dan masuk sesi instrumentalis panjang hingga James LaBrie mengambil alih.
“The Count of Tuscany” menjadi encore yang indah pada konser “Top of The World Tour” di Kota Solo.
Dream Theater total merampungkan 10 lagu dalam durasi 2 jam penuh tanpa cela. Dihadirkan dengan kadar keras, distorsi terjaga tanpa meninggalkan estetika tata suara, khas Dream Theater sejak mengawali jejak rock/metal progressive tahun 1985 silam.
Setiap fomasi meninggalkan jejak yang dikenang setiap generasi yang mengenalnya. Terimakasih John Petrucci, John Myung, Jordan Rudess, Mike Mangini dan James LaBrie. Juga kepada Mike Portnoy (1985 – 2010), Derek Sherinian (1994 – 1999), Kevin Moore (1985 – 1994), Chris Collins dan Charlie Dominici.
Kehadiran formasi terakhir Dream Theater di Solo mengukir sukses kali keempat setelah Jakarta – Ancol (2012), Jakarta – Senayan (2014) dan Jogjakarta (2017). Sebelumnya mereka gagal tampil kembali di Jakarta pada 2020 karena pandemi.
“Keren, acaranya keren, soundnya juga oke. Ini mengobati kerinduan pecinta musik Indonesia setelah sekian tahun kosong, mudah-mudahan dilanjut terus, banyak konser-konser besar,” cetus Roy Jeconiah saat dijumpai seusai konser.
Konser yang berkesan dengan crowd yang paham.
Rasanya ini akan menjadi pertunjukan yang dikenang dan dicatat dalam sejarah konser musik Internasional di Kota Solo.
Kita tunggu kabar dari Rajawali yang akan kembali pada Maret 2023 nanti. (*)