Hujanmusik!, Jakarta – Malam berdebu melintas berkelebatan. Menitip deru diantara kerlip lampu biru dan anak muda yang bertahta di jembatan kota.
Adrenalin sedang dalam takaran konsisten. Sementara selintingan tembakau yang terbakar tercium cukup menyengat. Malam siap berpacu, melintasi keriuhan Jakarta dengan titipan narasi urban pinggiran kota.
Fragmen liar yang cukup untuk menggambarkan pikiran. Suasana sesaat setelah menyimak rock motivasi tinggi dari kuartet nir basa basi, Motives.
Tepat pada 26 Juni lalu, secara sadar kuartet ini resmi meluncurkan single pertama mereka yang diberi tajuk “Slavery”. Debut ini menjadi penanda kembalinya Edo (vokal), Bayu (gitar), Tony (gitar), dan Dody (bass) dalam satu rumah yang sama bernama Motives.
Riuh yang liar. Penanda masa distorsi sosial yang tak akan pernah usai. Agresif layaknya roh buruh Inggris dekade 70an yang sedang memastikan dinamikanya.
Dengan komposisi yang tak basa basi, “Slavery” sulit ditampil baik-baik saja. Mereka sejak dalam pikiran memang telah terformat agresif.
Distorsi gitar Bayu dan Tony yang gahar dan kokoh, rutin bersahutan satu sama lain. Cukup menjadi permakluman dari mana mereka berasal dan dibesarkan. Rock n roll berpadu dengan bass Dody yang tegas, dengan tepian centil di beberapa bagian.
Belum lagi hentakan drum tak berkesudahan yang membuat siapa saja didepannya bergoyang, seolah ini adalah Inggris di dekade 70. Persis yang saya narasikan diatas.
Bagian serangan terdengar vokal Edo yang liar. Cocok sebagai komando pemantik riuh di kerumunan.
Kalau boleh jujur, “Slavery” sejatinya adalah karya yang rapi. Persis seperti ditampilkan pada gelaran perdananya di panggung virtual ‘Suara Berserikat’. Panggung yang digagas label Motives kini bernaung; Smartest Bomb Records, di Hari Buruh lalu.
Tak dapat dipungkiri, meski punya kesan dewasa, Motives tak kehilangan sensibilitas liar a la punk-nya. Percampuran Buzzcocks, The Damned, atau The Vibrators, bolehlah kita jadikan pengingat kemana pijakan mereka dalam bermusik.
Saya tertarik mengulik lirik yang dialirkan Edo. Sebutan “Slavery” sangat eksplisit dengan muatan kritik sosial. Sesuatu yang dekat dengan muatan gerakan sosial.
Dalam keterangan tertulis yang dikirimkan pihak label kepada HujanMusik!. Motives, lewat debutnya, ingin mengulas soal tuntutan hidup yang kerap membuat manusia dengan mudah diperbudak. Perbudakan di sini bukan terbatas pada hubungan kerja antara bos dengan pekerja saja, tetapi dalam makna luas. dari ketergantungan akan perkembangan teknologi hingga konsumerisme.
Sangat paham ketika “Slavery” sengaja dirilis pada 26 Juni. Momentum yang sama dengan Hari Internasional PBB men- dukung korban penyiksaan.
Tanggal perilisan yang tepat dengan hari internasional itu disengaja untuk mengingatkan kembali kepada para pendengar Motives, bahwa perbudakan tak jarang selalu diikuti oleh penyiksaan. Selanjutnya, “Slavery” berdurasi dua menit 48 detik ini sudah bisa disimak di berbagai platform music digital dan diunduh di https://motivesid.bandcamp.com sebelum kemudian tampil dalam format fisik tentunya.
https://motivesid.bandcamp.com/track/slavery
Artikel ini telah rilis di HujanMusik!, ““Slavery” Takaran Distorsi Penuh Energi dari Motives” , June 21, 2021