Kamar Musik.id. Rembang petang turun pada seruas jalan di kawasan Ubud, Bali, Selasa 13 Juni 2023. Matahari menyisakan sinarnya di sebuah sudut restoran Thailand, di mana terlihat Endah Widiastuti (Endah N Rheza) dan Upi a.k.a Tuan Tigabelas tengah menikmati hidangan. Mata keduanya berkaca-kaca.
Mereka, bersama Iga Massardi, Fiersa Besari, FSTVLST, Guritan Kabudul, Iksan Skc/Puter, Kai Mata, Made Mawut, Navicula, Tony Q dan Rhythm Rebels, mengikuti pelatihan tentang iklim selama tiga hari (12 – 15 Juni) dengan pemateri oleh sejumlah pakar lingkungan dan organisasi kemasyarakatan – termasuk Green Peace. Bergabung juga Nova Ruth – putri gitaris Totok Tewel.
Pelatihan tersebut merupakan bagian dari persiapan album kompilasi Sonic/Panic yang temanya mengangkat salah satu isu paling darurat di dunia: krisis iklim. Rencana ini mendapat sokongan penuh dari para pakar lingkungan dan organisasi kemasyarakatan. Bondan Adriyanu, misalnya, hadir mewakili Green Peace.
“Hari kedua terasa paling bagi kami,” cerita Endah.

Ada pun materi pembahasannya menyoal eksplorasi permasalahan batubara dan dampaknya terhadap pencemaran udara dan emisi CO2 dengan pemateri Bondan Andriyanu. Saat itulah para peserta dibuat terhenyak. Sadar atau tidak, mereka sendiri merupakan bagian dari permasalahan. Fakta menakutkan terungkap saling susul sehingga pada satu titik membuat Upi, pemilik nama panggung Tuan Tigabelas. merasa “menyesal” telah mengikuti sesi pelatihan tadi.
“Aku sama Endah sempat makan bareng, lalu saling pandang dan kita tanpa sadar menangis. Ini serius sekali,” ujarnya. Dia seakan mendapat energi dari paparan Enggar Paramita tentang bagaimana mengembangkan narasi positif tentang krisis Iklim dan solusinya.
“Ini adalah tongkat estafet yang harus disampaikan dalam bentuk yang aku tahu, yaitu musik.”

Seluruh lagu dalam album Sonic/Panic menggambarkan berbagai ekspresi terdalam para musisi atas kondisi iklim. Masing-masing identitasnya sehingga secara bebunyian terdengar sangat variatif. Termasuk di dalamnya hip-hop, rock, blues, electronica, reggae, pop sampai world music. Iga Massardi yang berkolaborasi dengan musisi asal Madura, Badrus Zeman, mengusung lagu “Polo Nyaba (Pulau Nafas)”, yaitu cerita pulau terpencil yang punya indeks oksigen paling bagus di dunia. Narasinya menjadi pengingat yang menyentuh tentang krisis iklim saat ini.
Yang juga menyentak kesadaran adalah lagu “Plastic Tree” dari Endah N Rhesa yang menganalogikan dunia tanpa pohon, yang digantikan oleh replika plastik. Sebuah alarm bagi siapa pun yang memandang remeh krisis iklim.
“Tidak ada pohon, tidak ada burung yang bernyanyi, ayam berkokok, lebah memanfaatkan baterai supaya mereka bisa terbang, segalanya lebih artifisial. Semua jadi menyeramkan. Ada kemegahan, ada kehancuran, ketakutan. Jadi mixed feelings,” kata Endah.

Navicula menyumbang “House on Fire”. Salah satu inisiator proyek kompilasi, gitaris Gede Robi, berharap bahwa Sonic/Panic akan memberi dampak lebih berarti daripada yang selama ini dijalankan oleh kelompok bandnya. Seperti diketahui, sejak Navicula berdiri sejak 1996 mereka gencar membicarakan isu lingkungan namun sepertinya tidak membuahkan hasil.
“Jadi spirit lagu “House on Fire” ini adalah kolaboratif. Bahwa alangkah besarnya gaung ini jika semua industri kreatif membicarakan isu ini,” ujarnya.”
Endah Widiastuti dan Robi kompak menyatakan bahwa gerakan yang mereka jalankan bukanlah untuk menyalahkan pihak tertentu. Sebaliknya, mereka merentangkan tangan untuk bergandengan dengan pihak mana pun. Oleh karena itu,”Alangkah besarnya gaungnya jika negara, lapisan masyarakat dan pelaku kreatif membicarakan semua isu ini.”

Sonic/Panic diproduksi oleh Alarm Records bentukan nama-nama musisi tersebut di atas yang, melalui siaran persnya, mengeklaim sebagai label sadar iklim pertama di Indonesia. Untuk sementara hasilnya baru dapat dinikmati melalui seluruh platform digital. Cover artwor-knya didesain oleh Sirin Farid Stevy, visual artist sekaligus vokalis band FSTVLST.
“Untuk sementara kami akan kumpul-kumpul uang dulu biar bisa merilisnya dalam CD dan vinyl (piringan hitam),” kata Robi disertai tawa.
Kesadaran menyentuh yang diperlihatkan Gede Robi dan kawan-kawan bukan yang pertama. Tepat pada Hari Musik Nasional, 9 Maret 2020, The Rain merilis single “Today for our Tomorrow”, yang berisi ajakan kepada generasi milenial untuk lebih peduli kepada krisis iklim yang sedang terjadi. Lalu Nikita Dompas, Anda Perdana, Faye Risakota, dan Herald Genio melepas lagu “Lestari (Life We Can’t Waste)” yang berusaha meningkatkan kesadaran generasi muda terkait pengurangan emisi gas rumah kaca melalui kegiatan sehari. Video musiknya diluncurkan pada 21 November 2021 bertepatan Hari Pohon Sedunia (World Tree Day). Mereka bekerja sama dengan Katingan Mentaya Project.
Keresahan pada krisis iklim yang berdampak luas juga menginspirasi Trio Laleilmanino untuk melahirkan lagu berjudul “Dengar Alam Bernyanyi” yang dirilis bertepatan dengan momentum Hari Bumi Sedunia, 22 April 2022. Tak terhitung pula musisi legendaris Iwan Fals menggambarkan kerusakan alam karena ulah manusia. “Ujung Aspal Pondok Gede” dan “Balada Orang-Orang Pedalaman” hanyalah salah dua dari setumpuk karya protesnya.
Namun apa yang dilakukan oleh Gede Robi yang melibatkan berbagai unsur masyarakat nampak jauh lebih serius dan terasa sangat mendesak. Peluncurannya sendiri berlagsung Sabtu pekan lalu, 4 November 2023, di area parkir Monkey Forest Ubud dan menjadi bagian menarik dari penyelenggaraan IKLIM Fest (The Indonesia Knowledge, Climate, Arts & Music Lab).
Acara ini terselenggara berkat kerja sama Yowana Padangtegal dan Dietplastik Indonesia serta beberapa elemen masyarakat. Inilah festival sadar iklim pertama di Indonesia yang menerapkan protokol guna ulang untuk mengurangi sampah – pemandangan memprihatinkan yang kerap ditemukan di festival-festival musik. Direktur Eksekutif Dietplastik Indonesia Tiza Mara meyakini bahwa pencegahan sampah plastik bisa dilakukan di mana saja.

“Jika diterapkan dengan standar yang baik, sistem guna ulang ini juga bisa berperan mengurangi Gas Rumah Kaca (GRK) sampai dengan 80 persen,” kata Tiza Mara dalam siaran persnya.
Menurut Robi yang menjadi penggagas festival, sebagian tata lampu dan tata suara festival IKLIM menggunakan tenaga surya. Tujuannya tidak lain untuk mengurangi emisi karbon. “Dengan menerapkan langkah-langkah ini, harapannya bisa jadi inspirasi buat festival atau konser musik lain bahwa kita bisa bikin event besar tapi tetap ramah lingkungan.”
IKLIM adalah sebuah bentuk kesadaran kolektif para musisi, seniman, organisasi lingkungan, dan pakar iklim di Indonesia. Produknya mulai musik, seni, dan konten edikatif lainnya guna mendidik, mendorong, menginspirasi, dan menggerakkan individu mau komunitas untuk secara aktif terhadap perubahan iklim dan beralih ke energi terbarukan.
Alarm Records akan mendukung produksi para musisi, mulai dari komposisi dan rekaman hingga mixing dan mastering lagu baru, serta produksi karya seni yang mengkomunikasikan pesan utama tentang perubahan iklim. Sementara itu IKLIM akan memberikan dukungan teknis dan kreatif, dan menanggung biaya proses produksi terkait IKLIM.
IKLIM berkepentingan dengan kemunculan proyek album Sonic/Panic dikarenakan salah satu produknya adalah gerakan Music Declares Emergency (MDE) Indonesia. MDE sendiri sebuah kolektif global seniman dan profesional yang berkomitmen terhadap keadaan darurat iklim dan ekologi. Sebagian pesohor yang menjadi bagian dari MDE antara lain Radiohead, Massive Attack, Tom Morello, Billie Eilish dan Neil Young. Secara langsung, keterkaitan dengan gerakan internasional akan memposisikan skena musik Indonesia
sebagai bagian penting dari aksi lingkungan internasional.
“Gue enggak mau bumi ini habis begitu saja untuk generasi berikutnya,” kata Upi dalam jumpa pers. Suaranya lantang namun getir. Dengan kata lain, jika krisis iklim berkembang semakin parah, tidak akan ada lagi musik di planet yang sudah mati. (Denny MR)
Foto image : Dok. ISTIMEWA.

TIDAK MUSIK DI PLANET YANG MATI