Tubuh kurus dengan rambut panjang melewati punggung itu menggeletak begitu saja di seruas trotoar tak jauh dari Hotel Menteng, Jakarta Pusat; menarik perhatian para pejalan kaki yang berseliweran untuk memulai aktivitas pagi. Tak seorang pun peduli. Dari mulutnya tercium bau minuman keras. Ketika matahari mulai terasa menggigit kulit, sosoknya perlahan-lahan menggeliat malas, memandang kiri kanan dengan wajah bingung. Susah payah ia berusaha bangkit sembari sempoyongan, lalu menyetop metro mini yang kebetulan melintas dan berlalu entah ke mana.
Para penggemar musik rock di tanah air pasti dengan mudah mengenalinya: Eddy Kemput.
Peristiwa di atas berlangsung sekitar 1993. Pemilik nama asli Tri Witarto Edi Purnomo ini adalah pemain gitar Grass Rock, band keras asal Surabaya. Sebagai personel dari band yang namanya mencorong (mereka juara pertama Festival Rock se-Indonesia 1985), roda kehidupannya persis seperti yang digambarkan dalam stigma sex, drugs and rock & roll: penuh hedonisme. Ganja dan minuman keras menjadi sahabat. Penyebab dirinya terkapar di trotoar tadi pun sebagai akibat dari mabuk-mabukan malam sebelumnya.
“Kondisi aku waktu itu kira-kira sama seperti ‘Anak Rembulan’,” kenangnya kepada Rolling Stone. Anak Rembulan adalah lagu sekaligus judul album debut Grass Rock rilisan 1990. Liriknya menceritakan kehidupan anak jalanan: “Dia Tuan Petersen, selalu hidup sendiri/Rumah pun tak ada berkelana saja kerjanya/Petersen anak asuhan rembulan/Petersen lahir besar di jalan.”
Kehidupannya yang berantakan mengalami titik balik ketika suatu hari di tahun 2003 ia mengikuti ceramah di sebuah mesjid tak jauh dari rumahnya di kawasan Cibinong, Jawa Barat. Mereka yang hadir di situ asyik menyimak tausiah sambil menikmati tajil. Dia terheran-heran, kenapa harus sambil ngemil?
Tidak ada yang aneh sebenarnya. Tajil lumrah terdapat di mesjid-mesjid, biasanya disediakan bagi mereka yang tengah melakukan perjalanan jauh, terutama sebagai sarana berbuka puasa pada bulan Ramadhan. Namun entah kenapa saat itu Eddy bernazar bahwa dirinya tidak akan pernah menyantap kudapan seperti itu sebelum sebuah ceramah usai. Pada hari lain tidak lama setelah mengucap nazar, tiba-tiba terjadilah peristiwa yang akan mengubah jalan hidupnya: mendadak dia terbangun di pagi buta dan langsung pergi mandi. Keheranan sang sang istri hanya dijawabnya dengan kelimat pendek: “Mau shalat subuh.”
Sejak saat itu dia mulai berusaha menjalankan shalat lima waktu secara teratur. Dia juga langsung mengiyakan ketika Yankson A.I. mengajaknya untuk giat memperdalam Al Quran. Sebelumnya Eddy sudah sering mendengarkan ceramah penyanyi band Jet Liar yang beraliran heavy metal itu di mesjid tadi. Mengingat aksi panggung yang garang di atas panggung, Eddy terkagum-kagum menyaksikan Yankson A.I. berdiri di atas mimbar. “Isi ceramahnya begitu meresap dan sangat bagus.”
Proses pencarian atas nilai-nilai spiritual membawanya bertemu dengan teman-teman lama yang sudah lebih dulu melangkah ke arah sana. Salah satunya adalah Irvan Sembiring, penyanyi merangkap pemain gitar Rotor, band beraliran thrash metal. Pada 2004, untuk pertama kalinya Eddy Kemput melakukan itikaf selama tiga hari di sebuah mesjid di kawasan jalan Hayam Wuruk, Jakarta Utara.
“Keluar dari mesjid rasanya hidup ini lebih tenang dan terang,” katanya. Eddy pun memutuskan untuk mengenakan gamis (busana khas muslim) dan membiarkan jenggotnya tumbuh. Alasannya masih sederhana. ”Gue perhatikan, orang-orang yang pakai gamis itu kok keren …”
Secara bertahap dia memberanikan diri melakukan syiar dimulai dengan mengajak teman-temannya sesama pemusik untuk menjauhi segala bentuk kemaksiatan. “Belum berhasil sih, tapi setidaknya sudah ada satu dua teman yang bersedia memenuhi ajakan untuk rajin shalat lima waktu.”
Tidak selamanya langkah ini berjalan mulus. Menurut penuturannya, pada tahap awal dia kerap menerima berbagai teror melalui pesan pendek. Isinya beragam, mulai dari komentar sinis sampai pada ancaman pembunuhan. Namun hal ini tidak membuatnya gentar selama dirinya merasa berada di jalan Allah. Hari-harinya tetap diisi dengan upaya memahami makna Al Quran, hingga pada 2010 diputuskanlah untuk bertolak ke India selama dua bulan sebelum melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju Bangladesh. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk menambah wawasan tentang Islam.
Tiba di mesjid Nizamuddin, New Delhi, Eddy menemukan kenyataan mengejutkan ihwal sejumlah mazhab yang mengeluarkan fatwa bahwa bermain musik adalah kegiatan haram. Informasi ini ia dapatkan setelah berterus terang kepada gurunya, Masyekh Maulana Ibrahim, tentang profesinya sebagai pemusik. Namun Maulana Ibrahim rupanya seorang moderat. Eddy hanya dianjurkan untuk mengurangi aktivitas di dunia musik, bukan berhenti sama sekali. Meski terasa berat, anjuran tersebut toh dijalaninya dengan ikhlas. Sudut pandangnya atas seni musik perlahan-lahan berubah. Jika sebelumnya bermusik melulu sebagai mata pencaharian, kini dia melakukannya semata untuk dakwah.
“Dulu nggak ada job seminggu saja pasti sudah telepon kiri kanan, sekarang mendapat kerjaan sebulan sekali saja sudah Alhamdulilah. Aku percaya kalau kita punya niat baik Tuhan akan selalu membukakan jalan.”
Ihwal kabar sejumlah musisi yang memutuskan keluar dari band masing-masing dan sepenuhnya mengkhususkan diri dalam kegiatan dakwah menurutnya adalah soal pilihan. Tanpa bermaksud melakukan pembenaran, Eddy Kemput meyakini bahwa kegiatan musiknya merupakan bagian dari kegiatan seperti yang mereka lakukan. Hal senada diungkapkan oleh Budhi Haryono, salah seorang penabuh drum terbaik Indonesia. “Soal musisi yang meninggalkan band untuk memperdalam agama kembali kepada pribadi masing-masing,” katanya.
Sebagai seorang multiinstrumentalis, Budhi Haryono adalah perintis Jam Rock, band asal Cimahi, yang belakangan berubah nama menjadi Jamrud. Meski tidak sempat ikut rekaman, Budhi merupakan penabuh pertama kelompok fusion Krakatau sebelum digantikan Gilang Ramadhan. Dia kemudian bergabung dengan Karimata dan merilis Jezz, album yang dijejali sederet pemusik jazz internasional seperti Bob James, Lee Ritenour, Ernie Watts, Don Grusin, dan Phil Perry.
Pada 1998, Budhi melakukan tur maraton ke 33 kota bersama kelompok GIGI. Hal ini mengharuskannya naik turun pesawat. Pada saat meninggalkan bandara Hasanudin, Makassar, menuju Ambon, pesawat yang ditumpangi rombongan GIGI mengalami gangguan cuaca dan mengharuskan mereka kembali ke Makassar. Peristiwa tersebut membuat dirinya ciut dan serta merta teringat akan kebesaran Illahi. Sejak itulah Budhi memutuskan untuk belajar lebih jauh tentang agama Islam. Dia juga mengganti ‘kostum anak band’ dengan pakaian gamis. Namun berbeda dengan Eddy Kemput yang konsisten hingga hari ini, Budhi Haryono hanya beberapa tahun mengenakan gamis sebelum kemudian menggantinya lagi dengan kostum keseharian. “Gua masih dalam proses pencarian,” alasannya.
Ivanka, pemain bas Slank, termasuk yang memilih musik sebagai medium berdakwah dan mengaku tidak pernah berpikir untuk meninggalkan musik. “Kemampuan gua bermain musik datangnya dari Tuhan, bukan dari setan,” ucapnya lantang.
Menurutnya, sarana dakwah memiliki banyak variabel. Salah satunya adalah melalui musik. Ia mencontohkan lagu-lagu Slank yang mengajak kepada kebaikan merupakan dakwah dalam bentuk lain. Musik dalam konteks lagu-lagu Slank menjadi sarana efektif mengingat jumlah Slankers yang luar biasa banyak.
Ivanka menghormati keputusan beberapa temannya yang memutuskan keluar dari orbit musik dan mengabdikan hidupnya semata-mata untuk berdakwah. Bahkan sebagian di antaranya mengeluarkan penyataan haram memainkan musik. Akan tetapi ia juga mengingatkan bahwa beberapa dari mereka pada akhirnya justru kembali bermusik walaupun dalam konteks syiar. “Terus apa bedanya dengan yang gue atau teman-teman lain lakukan sekarang ini?”
Mungkin karena tetap bersentuhan dengan dunia panggung dan rekaman, Ivanka tak lantas menukar tongkrongan sangarnya dengan tampil bergamis. Pembawaannya pun tetap ceplas-ceplos. Yang membedakan adalah ruang lingkup pergaulannya kini lebih melebar. Bukan lagi cuma beredar di kalangan pelaku industri musik, tetapi juga para pemuka agama. Secara jujur ia mengemukakan bahwa agama telah mengangkat dirinya dari kubangan narkoba.
Bisa jadi ia tak sedang berkhotbah. Beberapa tahun silam, pemusik berkepala plontos ini merupakan personel Slank yang paling akut ketergantungannya pada obat-obatan selain Kaka dan Bimbim. Kedua orang tuanya angkat tangan dan menyerahkannya kepada Bunda Iffet Sidharta. “Dulu itu di kamarnya ada tulisan I wanna die, ditulis pakai darah yang berceceran akibat membentur-benturkan kepalanya ke dinding. Namanya juga lagi sakau,” cerita Bunda suatu ketika.
Kehidupannya mulai berubah drastis ketika seorang sahabatnya, Andre (mantan penabuh drum Bunglon), tewas dalam sebuah kecelakaan pada 31 Agustus 2009. Kendaraan yang ditumpangi Andre masuk jurang dalam perjalanan dari Jakarta menuju Bandung. Rasa sedihnya berubah menjadi kesadaran bahwa dia pun harus siap jika suatu saat dipanggil menghadapNya. “Kematian Chilling (panggilan Andre) benar-benar membuat gua takut bahwa setiap saat bisa saja gua juga ‘lewat’ (mati).”
Jika musik dianggap mampu menyampaikan pesan-pesan religius kepada umat, maka jauh sebelum pemusik rock itu berbondong-bondong melakukan syiar agama Trio Bimbo telah lebih dulu melakukannya. Pada 1975, untuk pertama kalinya mereka merilis album Pop Qasidah. Terlepas bahwa langkah ini merupakan bagian dari strategi dagang karena saat itu industri musik tengah dilanda homogenitas, beberapa lagu lagunya terbukti menjadi karya klasik yang tetap diputar hingga hari ini. Di antaranya adalah “Rindu Kami Padamu”, Qasidah Anak Bertanya Pada Bapaknya” atau “Umat Manusia Bergembira” yang paling sering berkumandang setiap menjelang bulan suci Ramadhan tiba.
Rhoma Irama malah memproklamirkan the sound of moslem dan secara terang-terangan mengatakan bahwa musik merupakan sarananya dalam melakukan syiar Islam. Disadari atau tidak, beberapa lagunya memang menyiratkan adanya dakwah seperti “Begadang” (Begadang, 1973), “Setetes Air Hina”, “Qur’an Dan Koran” (Renungan Dalam Nada, 1981) atau “Judi” (Judi, 1989) yang liriknya secara eksplisit berupa ajakan untuk menjauh kemaksiatan.
Pada tataran bisnis, tidak selamanya album dakwah menempati “warga kelas dua”. Sukses penjualan Istigfar (2005) milik solis Aunur Rofiq Lil Firdaus, kita mengenalnya dengan nama Opick, membuktikan bahwa syiar dan komersialisasi dapat berjalan beriringan. Album ini terjual di atas 800.000 keping. Harap diingat bahwa ketika itu penjualan album fisik mulai menunjukkan penurunan. Sukses Istigfar bahkan sulit dikejar oleh album rilisan ‘band sejuta kopi’ seperti Sheila On 7 atau Padi.

Semasa aktif bersama band G’Briel pada awal dekade 1980-an, keseharian Yuke Semeru pun nyaris tidak pernah lepas dari botol minuman keras. (Foto Istimewa)
Pemetik bas legendaris Yuke Semeru menyarankan agar polemik haram tidaknya bermain musik segera diakhiri. Ia memberi contoh sebuah gitar bisa menjadi haram jika digunakan untuk kemaksiatan, namun akan sangat berguna apabila digunakan dengan cara yang benar. “Baik hadis maupun Al Quran tidak mengenal keberadaan gitar. Oleh karenanya fungsi instrumen tersebut menjadi sangat relatif. Untuk apa diributkan?”
Semasa aktif bersama band G’Briel pada awal dekade 1980-an, keseharian Yuke Semeru pun nyaris tidak pernah lepas dari botol minuman keras. Aksi panggungnya dikenal garang dan termasuk salah satu pemain bass terbaik Indonesia. Dirinya berhasil keluar dari kubangan miras dan narkoba berkat bimbingan seorang mualaf warga negara asing. Pada saat mendaftar ke Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran, ia merupakan calon mahasiwa tertua dan sempat dikira hendak mengantar anaknya. Gelar Sarjana Al Quran disabetnya pada 2009.
Kini Yuke aktif sebagai da’i. Selain mengasuh program regular di sebuah radio swasta, ia juga secara rutin tampil membawakan Petikan Rahasia Hidup Berkah yang ditayangkan stasiun televisi milik MNC Group. Sesuai judulnya, program religi tersebut mengharuskannya selalu tampil memainkan bass.
Tulisan ini bukanlah untuk menghakimi pihak-pihak tertentu, melainkan untuk mengangkat sebuah fenomena yang sedang berlangsung di kalangan musisi tentang bagaimana mereka memaknai keesaan. Tentu di dalamnya terdapat proses yang tak pernah selesai. Budhi Haryono, misalnya, terus melakukan pencarian di tengah kesibukannya sebagai music director album solois atau band baru. Pada bulan Maret ini, Eddy Kemput berencana melakukan perjalanan ke Yunani untuk pembelajaran sembari melakukan syiar. Akan halnya Ivanka, ia tetap meyakini betul bahwa lagu-lagu bertema positif yang turut ia ciptakan dengan Slank merupakan bagian dari syiar dirinya bagi umat, dalam hal ini Slankers.
“Jadi, buat apa gue harus meninggalkan musik kalau dengan lagu bisa mengajak Slankers pada kebaikan? Mereka adalah ladang ibadah,” jelas pemain bas yang tidak segan meminta Slank menghentikan latihan jika sudah tiba waktu shalat.
*) Dimuat pertama kali di Majalah Rolling Stone Indonesia, edisi Maret 2009