Jalan Besuki 10, Menteng, Jakarta Pusat, 1991. Matahari sore masih menyisakan sinar kemerahan ketika saya tiba di kediaman Dr Ratwini Soemarso, kakak Harry Roesli. Sore itu saya bermaksud menjemput ‘naskah’ untuk majalah Mode. Sudah lebih dari setahun ia mengisi rubrik ‘kolom’ di majalah tersebut. Pada awalnya pengiriman naskah, kerap ditulis tangan, berjalan on time. Namun seiring dengan aktivitasnya yang kian bertumpuk, kedatangan naskah mulai tersendat-sendat, sampai kemudian saya memutuskan untuk mewawancarai langsung dan menuliskankannya sesuai dengan gayanya selama ini. Tentu saja usaha ini tak selalu berhasil. Tulisan pria bernama Djauhar Zharsyah Fachrudin Roesli ini sangat khas dan sulit ditiru, terutama spontanitasnya. Kumpulan tulisannya dalam Buku Republik Funky memperlihatkan kemampuannya mengurai berbagai persoalan pelik di tanah air, kemudian menyuguhkannya kepada pembaca dalam formula yang simpel, kocak, dan langsung ke inti persoalan. Kadang wawancara juga berlangsung di taksi dalam perjalanan menuju ke suatu tempat, tergantung kegiatannya di Jakarta.
Rupanya sore itu ia telah menunggu kedatangan saya, lengkap dengan kejahilannya. “Rek naon kadieu? (mau apa ke sini),” katanya seraya menyulut sebatang rokok “Sok atuh tulis (ya sudah tulis).”
Dengan pembawaan penuh canda, terkesan semberono, kerap saya tak sadar bahwa pada saat itu tengah berhadapan dengan seniman besar yang telah banyak melahirkan karya kontekstual. Seorang profesor musik lulusan Rotterdam Conservatorium yang dekat dengan berbagai kalangan. Ia tak risih cekakak-cekikik dengan para pengamen jalanan yang nongkrong di rumahnya. Hal yang sama akan dilakukannya jika tengah berhadapan dengan pejabat penting. “Baik dengan pengamen mau pun dengan pejabat sifat almarhum akan tetap sama, nggak pernah membeda-bedakan,” ujar Ferdinansyah Semaun, temannya dalam berbagai kegiatan sosial.
Harry adalah ikon musik kontemporer. Kemampuannya berinteraksi dengan segala jenis aliran musik memungkinkan dirinya dapat hadir di setiap moment penting. Dalam pandangan Dieter Mack, profesor musik dari Belanda yang juga komponis musik kontemporer, keluwesan tersebut bersumber pada keterbukaannya dalam beradaptasi dengan perkembangan tren. Maka, tidak aneh jika Dosen Pembina di Universitas Pasundan yang gencar melancarkan kritik terhadap berbagai penyimpangan ini suatu saat bisa muncul bersama Trie Utami sebagai komentator Akademi Fantasi Indonesia (AFI). Harry bahkan menjadi bintang iklan produk mie instan. Ia menjelma sebagai seleb.
Untuk dapat memahami karya-karya Harry Roesli tak cukup hanya dengan mencecap unsur bunyi melalui album atau pertunjukan bersama Depot Kreasi Seni Bandung) DKSB, melainkan juga memahami idiom-idiom yang tersembunyi di balik kalimat lugas dan nakal. Segera kita akan mendapatkan ekspresi berkesenian dari seorang yang sangat terbuka pada bentuk-bentuk baru, jenius dan penuh kejujuran. Harry Roesli tak mengenal kata tabu.
Dalam album Titik Api (Aktuil Musicollection, 1976), misalnya, ia mempertemukan irama pentatonik dengan diatonik tanpa harus saling perkosa. Pemikiran konvensional niscaya akan mengecam konsep album ini sebagai karya kualat. Dalam kata pengantar untuk album Kedamaian, ia dengan tulus memuji kolaborasi antara Mang Oking dengan Buby Chen sebagai sebuah perkawinan yang harmonis. Maestro kecapi bersinergi dengan maestro piano. Kini proses asimilasi dalam dunia musik modern sudah bukan lagi dianggap hal aneh.
Toh, suatu hari ‘tak mengenal kata tabu’ ini sempat membuatnya repot. Tanggal 17 Agustus 2001 ia diundang ke kediaman mantan Presiden RI Abdurachman Wahid di kawasan Ciganyur, Jakarta Selatan. Ia pun menyanyikan lagu “Garuda Pancasila” dengan lirik yang sudah diotak-atik. Begini:
Garuda Pancasila/Aku lelah mendukungmu
Sejak Proklamasi/Selalu berkorban untukmu
Pancasila dasarnya apa/Rakyat adil makmurnya kapan
Pradi bangsaku
Tidak maju-maju … tidak maju … maju
Tidak maju … maju.”
Akibatnya, Harry harus berurusan dengan aparat. Kapolda Metro Jaya, saat itu, Irjen Pol Sofjan Jacoeb bermaksud menjeratnya dengan “pasal karet” peninggalan kolonial, yakni pasal 154 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (perbuatan yang menimbulkan kebencian), dan pasal 160 KUHP (penghasutan). Kasus ini mengundang pro dan kontra. Rencana Polda Metro Jaya memerkarakan Harry dianggap sebagai pengingkaran terhadap kebebasan berekspresi di sebuah negara demokrasi. Harry sendiri berkali-kali menyatakan bahwa lirik lagu tersebut di terimanya dari salah seorang pengamen jalanan, yang menerimanya dari pengamen lain. Konon lagu tersebut sudah sering dinyanyikan di dalam bus kota atau angkot. Harry sendiri sudah pernah menyanyikannya di Bandung saat terjadi demontrasi mahasiswa dalam rangka meruntuhkan rezim Orde Baru. Artinya, itu tahun 1998. Tak ada peristiwa gugatan.
Kasus Harry ini memiliki kemiripan dengan yang dialami oleh Slank tempo hari. Tanggal 24 Maret mereka menyanyikan “Gosip Jalanan” dalam sebuah konser mini di markas KPK. Senayan pun menyalak. Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR Gayus Lumbuun mengancam akan membawa mereka ke depan Hukum. Slank tak menggubris.
Tetapi Harry Roesli bukan Slank, meski sama-sama berjuang melawan kesewenangan. Melalui media cetak dengan tulus ia meminta maaf atas kekhilafannya, terutama kepada keluarga Sudharnoto, pencipta lagu kebangsaan tersebut.
***
Harry Roesli : Kreatif Sejak Kecil
Harry Potjang, karibnya sejak di SMP 2 Bandung, mengenang. “Dia dulunya penyanyi seriosa yang serius.” Setiap ada acara kesenian, Harry Roesli selalu menjadi murid andalan. Talenta musikal Harry bahkan telah mencuat di sekolah dasar. Sewaktu duduk di kelas IV ia sudah mampu menciptakan hymne untuk sekolahnya. Begitu juga waktu di SMP dan berlanjut hingga SMA.
Pada awal karirnya tak langsung bersentuhan dengan musik kontemporer. Laiknya anak muda gaul, irama rock and roll merasuki jiwanya. Bersama Potjang dan beberapa teman, ia membentuk band Batukarang pada 1968. “Nama itu diambil karena kami semua suka Rolling Stones.” Harry menyanyi dan memainkan bas, Potjang meniup harmonika dan sesekali menyanyi. “Kang Harry sebenarnya anak mami, lahir dari keluarga berkecukupan.” Namun entah kenapa berada di tengah lingkungan keluarga yang puritan justru tumbuh jadi anak badung. Jika hendak pergi ke pesta, Harry berangkat dari rumah mengenakan busana rapih. Namun ketika melewati rumah penjaga, dia menggantinya dengan jins robek-robek. Di pesta ulang tahun, ketika didaulat menyanyi, ia seenaknya melemparkan tamborin ke tengah para undangan dan meminta salah seorang di antara mereka untuk mengembalikannya.
Pada saat Bandung dilanda demam musik psikedelik, Batukarang berubah nama menjadi Tippis. Personil bertambah dengan masuknya Aswin Sani (gitar). Harry mulai memperlihatkan kemampuannya merekonstruksi peristiwa sosial dan politik ke dalam lirik lagu. Dia piawai melahirkan kata-kata lugas tanpa mengaburkan esensi yang dibidiknya.
Tahun 1971 ia membentuk Gang Of Harry Roesli dengan personil Albert Warnerin (gitar, perkusi, vokal), Iwan Abdurachman (gitar, vokal), Janto Soedjono (drum, perkusi), Indra Rivai (organ, piano, perkusi) dan Harry Potjang (harmonika, perkusi, vokal). Harry yang urakan dan biasa dipanggil Si Gelo oleh kalangan teman-temannya, menyimpan minat besar pada isu lingkungan. Indikasi tersebut nampak jelas pada album pertama Philosophy Gang (Lion Record, 1971) yang proses rekamannya berlangsung di PT Musica Studios.
Harry Roesli banyak memunculkan idiom dalam bahasa bunyi dan visual. “Malaria”, salah satu komposisi yang hingga kini tetap monumental, adalah potret buram pemerintah yang membisu menyaksikan kepincangan sosial, eksploitasi alam yang membabi buta serta gejala destruktif lainnya. Ade Murad Handoyo, pelukis beraliran surealis jebolan Institut Teknologi Bandung, memaknai pemikiran tersebut dengan menampilkan sampul depan seorang perempuan tua duduk di dalam sebuah mug warna putih. Buah dadanya melorot sebelah, keriput dan lelah. Sampul belakang menggambarkan kemaluan dalam posisi tengah ereksi. Album Philosophy Gang sendiri akhirnya tak jadi diedarkan. Tersiar kabar bahwa album tersebut kena cekal akibat penampilan grafis tadi dianggap menebar unsur pornografi. Tapi pihak keluarga Harry menolak tudingan ini.
“Album itu nggak beredar karena labelnya dari Singapura. Waktu itu ada peraturan bahwa produk asing nggak boleh beredar di Indonesia,” ungkap Kania Perdina Handiman, istri Harry, saat saya mengkonfirmasi kebenaran berita. Karena terlanjur diproduksi, akhirnya album dalam format piringan hitam tersebut dibagi-bagikan oleh Harry Roesli dan Musica Studio’s sebagai pihak yang menggandakan. Satu hal pasti, muatan isu dalam Philosophy Gang tetap aktual. Kasus pembalakan hutan, misalnya, sampai sekarang tak kunjung selesai.
Lebih dari tiga dekade kemudian, Erwin Gutawa mendaurulang lagu tersebut lewat vokal Kikan Cokelat (Sony BMG, 2006), dan belum surut pesonanya. Melanie Soebono langsung merasakan dejavu. Ia mengaku pernah menyukai lagu tersebut namun tidak mengetahui siapa yang membawakannya ketika pertama kali mendengar.
“Walau pun gue nggak lahir ketika lagu itu dibuat, gue merasa berada dalam situasi itu,” kata penyanyi rock cewek yang baru bergabung dengan Pulau Biru Management tersebut.
Dari tahun 1972 hingga 1975 Harry Roesli secara periodik merilis album Harry Roesli Solo sebanyak empat volume. Imaji kreatifnya semakin liar, hingga publik memandangnya sebagai ikon musik kontemporer ketika berhasil mementaskan Opera Ken Arok. Kisah sejarah yang riuh oleh penghianatan, korupsi dan perselingkuhan ini diterjemahkan Harry sebagai gambaran amburadulnya pemerintahan Indonesia. Pertunjukan yang berlangsung di Gedung Merdeka, Bandung, April 1975, meledak untuk ukuran saat itu. Pemberitaan gencar di berbagai media cetak akhirnya berhasil meluluhkan orang tuanya, Mayjen (Pur) Roeshan, untuk mengizinkan anaknya bermain musik secara total.
Para pendukung acara pun lantas diundang makan bersama di jalan WR Soepratman 57, Bandung, rumah keluarga Roesli. Albert Warnerin menyaksikan bagaimana saat itu Harry mendapat ‘passport’ sebagai musisi dari sang ayah.
“Awalnya dia diperbolehkan bermusik sebatas hobi saja. Karena itu setiap kami mau latihan di jalan Lembong, dia terpaksa berangkat diam-diam. Nggak berani kelihatan bawa alat. Opera Ken Arok telah membawa perubahan besar dalam hidup Kang Harry,” ucap gitaris Giant Steps yang nyaris terlibat dalam setiap album Harry Roesli.
Sewaktu proses persiapan, Harry bertemu dengan Kania Perdina Handiman yang saat itu bertindak sebagai Ketua Kesenian SMA 1 Bandung. Harry memang banyak melakukan rekruting siswi sekolah tersebut untuk diposisikan sebagai penyanyi latar atau pendukung lainnya. Karena jumlah yang diinginkan tak mencukupi, akhirnya Kania sendiri turut bergabung. Belakangan, ia bahkan aktif mendukung proyek rekaman Harry.
Sikap Harry dalam memandang setiap permasalahan, terutama yang berhubungan dengan isu yang sedang hangat, lama-kelamaan menarik perhatian Kania. Mereka merasakan adanya kesamaan sudut pandang dalam banyak hal. Terlibat diskusi. Bergaul dengan sejumlah LSM. Akhirnya pacaran. “Saya tertarik sama Mas Harry karena pemikiran-pemikirannya, bukan oleh badannya yang tambun, hehehe!”
Di mata Albert mau pun Potjang, Harry Roesli amat menonjol kemampuannya sebagai leadership. Ia mampu mengumpulkan begitu banyak orang yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu dan profesi untuk sebuah gagasan ambisius yang kelak tercatat dalam tinta emas sejarah musik Indonesia modern. Ken Arok sendiri merupakan nama teater rintisannya sejak 1973. Kalangan teman seprofesi mengenalnya sebagai seorang yang punya jiwa sosial tinggi.
Sabagai musisi, Harry tak pernah bersentuhan dengan pasar. Sebagian besar karyanya yang terdokumentasi dalam 23 album tak ada yang sukses secara komersial. Ketika saya menanyakan biaya produksi album Si Cantik (Gema Nada Pertiwi, 1997), ia nampak kebingungan menjawab. “Yang pasti mah merugi euy. Paling juga kasetnya nanti dibagi-bagiin karena nggak bakal ada yang mau beli. Pembajak juga mungkin ogah ngebajak album gue, he-he-he!”
Tetapi Harry pintar. Untuk menopang roda kehidupannya, ia merambah dunia layar lebar sebagai ilustrator. Beberapa judul film yang memperlihatkan sentuhan kreatifnya antara lain Suci Sang Primadona (1977), Cas Cis Cus (1989), Di Sana Senang Di sini Senang ( 1990), Komar Si Glen Kemon Mudik (1990) Om Pasikom (1990), Si Buta Dari Goa Hantu – Lembah Tengkorak (1990), dan sejumlah judul tentang Si Kabayan. Ia menggagas kelahiran DKSB sebagai out put ekspresi kesenimanannya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa nasib para pengamen jalanan menjadi perhatiannya. Ia terjun merangkul mereka, mengarahkannya agar menjadi manusia berguna.
Masa ketika rezim Orde Baru berkuasa merupakan periode yang tepat untuk menakar patriotismenya. Pertunjukan musiknya senantiasa menjadi ancaman bagi aparat, demikian pula sebaliknya. Para pengunjung yang rajin datang ke Teater Utan Kayu tentu masih ingat ketika Harry melawan pemerintah yang refresif melalui pertunjukan tanpa jeda selama 25 jam 10 menit. Bebunyian yang dihasilkan dari perangkat serba elektronik ditambah sedikit perkusi, sungguh meneror gendang telinga karena meraung secara terus menerus. Ia tengah menyuarakan keprihatinan dengan cara menyiksa diri. Tetapi Harry tak ingin menyiksa penonton. Ia menggelar kasur-kasur buat mereka. Dalam konteks berbeda, sesungguhnya Sapto Raharjo pernah melakukan hal serupa selama tiga hari tiga malam.
Harry Roesli seorang manusia super sibuk. Ia senantiasa berada di berbagai aspek kehidupan. Ia bergaul akrab dengan sejumlah LSM, musisi, dramawan, pejabat pemerintahan, pengamen jalanan, tokoh perfilman dan entah apalagi. Kehidupannya seperti sirkus. Penyakit pun mulai menggerogotinya karena pola makan dan tidurnya berantakan. Selama lebih dari sepuluh tahun berbagai penyakit seperti kompak menggerogoti tubuhnya mulai diabetes, hipertensi, asam urat, kolesterol tinggi dan paru-paru. Ini tak perlu terjadi jika sang ikon mampu menjaga keteraturan hidupnya. Keluar masuk rumah sakit pun sudah tak terhitung.
Bulan Desember 2004 tubuhnya kembali ambruk. Ia menjalani perawatan di ruang Intensif Cardio Vascular Care Unit, di lantai 2 Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta. Operasi balloning pun segera dilakukan untuk mengatasi penyempitan pembuluh darah. Padahal beberapa hari sebelumnya ia dirawat di Rumah Sakit Santo Borromeus, Bandung. Dipindahkan ke Jakarta berhubung keadaannya bertambah kritis. Didi Petet termasuk sahabat yang paling aktif memantau perkembangan kesehatannya.
Jumat 10 Desember, berbagai alat pacu jantung di tubuhnya dilepaskan tim dokter setelah melihat perkembangan kesehatannya membaik. Tapi kondisi tersebut berlangsung singkat. Pada Sabtu dini hari, mendadak kesehatannya kembali drop. Tensi darahnya tinggal sekitar 60. Saat itu Kania bersama putera kembarnya, Hami dan Yala, tengah terkantuk-kantuk di ruang perawatan. Tensi darah yang terus merosot membuat mereka panik. Tim dokter pun segera dihubungi. Namun jiwanya sudah tak tertolong. Harry Roesli, sosok yang begitu dicintai banyak orang, menghembuskan nafas terakhir pada hari Sabtu, 11 Desember sekitar pukul 19.55 WIB.
Jenazah lelaki kelahiran 10 September 1951 itu disemayamkan di rumah duka, jalan Besuki 10. Keesokan harinya, selepas pukul 11.00, iring-iringan bergerak menuju tempat pemakaman menuju pemakaman keluarga, di belakang Masjid Alhuda, Jalan R.E. Abdullah Gunung Batu Kaum Kel. Pasirmulya Bogor. Liang lahat telah disiapkan di samping makam Roeshan Roesli. Agak ketengah kompleks tersebut terletak makam Marah Roesli, sang kakek, bersama istri, Ratna Kentjana. Saat itu kompleks pemakaman penuh para pelayat. Seniman, budayawan, artis, para binta AFI, musisi dan warga sekitar, tumpah ruah dalam sengatan suasana sedih.
Sejumlah anggota DKSB segera memukul-mukul drum menyambut kedatangan jenazah. Sang Saka Merah Putih berkibar-kibar dalam genggaman seniman Wawan Husein. Bersamaan dengan itu dari sebuah speaker mengalun “Jangan Menangis Indonesia”. Setelah itu Didi Petet tampil membacakan puisi. Potjang meniup harmonika. Mereka mengiringi jenazah yang secara perlahan-lahan diturunkan ke liang lahat. Tangisan pun meledak. Suasana terasa sangat dramatis. “Kami semua sangat emosional waktu itu,” kata Potjang.
Keluarga, Didi Petet, Putu Wijaya, Harry Potjang, kerabat dan handai taulan mungkin tak rela melepas kepergiannya. Namun si jenius harus menghadap Sang Khalik. Putu menangis. N Riantiarno menangis. Yang lain juga menangis. Kita tidak akan pernah tahu kapan Indonesia akan memiliki lagi seniman besar seperti Harry Roesli.
Kepergian tokoh musik Jawa Barat ini meninggalkan rasa sedih berkepanjangan dan diperingati para sahabatnya dengan berbagai kegiatan. DKSB bekerjasama dengan Rumah Musik Harry Roesli menyelenggarakan 40 hari meninggalnya pemusik serba bisa itu bertempat Teater Terbuka Taman Budaya Jawa Barat. Didi Petet, Putu Wijaya, Doel Sumbang dan Rida RSD turut mendukung. Dalam kesempatan itu dilakukan acara lelang dari CD berisi lagu-lagu rohani ciptaan Harry yang terjual Rp. 7 juta, potret diri karya Herry Dim seharga Rp. 3 juta serta t-shirt senilai Rp. 5 juta. Semua hasil perolehan saat itu, sekitar Rp. 30 juta, disumbangkan kepada korban Tsunami di Aceh.
Pada peringatan 100 harinya, dramawan N Riantiarno menangis di tengah orasi yang dibacakannya di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 23 Maret 2005. Nano, panggilan N Riantiarno, yang sudah sering bekerja sama dalam pentas teater, memberi ilustrasi bagaimana masyarakat melepas kepergian almarhum dengan penghormatan layaknya kepada presiden. Orasi yang disampaikan dedengkot Teater Koma itu kemudian menjadi “tak sempurna” karena beberapa kali ia harus terhenti menahan isak tangis.
Teater Mandiri pimpinan Putu Wijaya mementaskan dua cuplikan yang dikemas dalam satu pentas. Putu Wijaya sendiri menghadirkan monolog yang merupakan interpretasi atas lagu “Jangan Menangis Indonesia”. Pada bagian awal, anak- anak Teater Mandiri menyampaikan pesan-pesan kematian yang dicuplik dari Luka. Cerita pertunjukan ini pernah dipentaskan oleh Teater Mandiri bersama Harry Roesli dan DKSB di Tokyo (Jepang) dan Hamburg (Jerman). Seperti halnya N Riantiarno, Putu Wijaya adalah dramawan papan atas yang sudah kerap bekerja sama dengan Harry Roesli.
Lagu “Jangan Menangis Indonesia” yang terdapat album L.T.O (Musica Studios, 1978) termasuk salah satu karya penting sepanjang karir kesenimanan Harry Roesli.
Janganlah menagis Indonesia
Apakah kau sepi, Indonesia
Kami berjajar menjagamu Negara
Merembang air matanya, persada tercinta
Menitik satu per satu
Tandanya berduka dia sedang lara
Tuhan Yang Maha Kuasa
Hentikan tangisannya …
Pada saat Indonesia luluh lantak oleh kerusuhan menyusul tumbangnya rezim Soeharto, lagu ini menjadi hymne yang mengiringi berbagai pemberitaan di sejumlah televisi swasta. Demo mahasiswa, penjarahan, pembacaan teks pengunduran diri Soeharto. Harry Roesli seolah hidup kembali dan mengajak masyarakat untuk tabah menghadapi segala cobaan.
Empat bulan setelah kepergiannya, April 2005, pihak keluarga dan DKSB mendirikan Harry Roesli Foundation. Ini merupakan hasil rembukan antara pihak keluarga dengan teman dan kerabat para seniman untuk tetap meneruskan cita-cita yang telah dirintis almarhum. Aat Soeratin, yang selama ini memiliki kedekatan dan sudah sering terlibat dalam proyek kesenian bersama Harry Roesli, ditunjuk sebagai Ketua. Sedang operasional sehari-harinya dipercayakan kepada Ferdinandus Semaun, salah seorang aktivis DKSB. Yayasan ini menaungi empat kegiatan. Pertama Rumah Musik yang mewadahi beberapa kursus reguler seperti kursus musik dengan pengajar Rully, mantan personil band Digital Music Crew (DMC) yang tak lain adik Kania dan kursus Salsa yang ditangani langsung oleh Kania. Kemudian Rumah Sosial yang disiapkan untuk pemberdayaan komunitas anak jalanan. Ini menjadi tanggung jawab Yala, salah satu putera kembar Harry Roesli. Ada pula Rumah Kebudayaan. Ini semacam grup diskusi. Fungsinya sebagai counter bagi kebudayaan yang dianggap membawa pengaruh negatif terhadap kehidupan masyarakat, seperti budaya kekerasan atau asing.
“Kekerasan sudah lama ada di sekitar kita dan itu berbahaya. Rumah Budaya ini dimaksudkan untuk merumuskan solusi akan bahaya tersebut,” terang Ferdinandus. Terakhir adalah Rumah Karya. Komunitas pengamen jalanan yang telah menjalani pembinaan, bernaung di sini. Mereka diarahkan untuk menciptakan kreasi pertunjukan hingga mampu menghidupi dirinya. Ketika berlangsung acara “Reuni Musisi Bandung. Tribute To Harry Roesli” di Fame Station, 2 Maret 2005, Kelompok Musik Jalanan tampil membawakan Kesaksian 2004. Dengan iringan denting gitar dan tiupan harmonika, liriknya terasa dramatis.
Mas, terlalu cepat/kau pergi tinggalkan kami
Kami masih butuh orang sepertimu
Tapi, kami sadar/ini memang sudah takdir
Tuhan, tempatkan ia di sisi-Mu/selamanya
Kelahiran Harry Roesli Foundation menjadikan segala aktivitas sosial dan kesenian di lingkungan DKSB menjadi lebih tertata dan produktif. Namun bukan berarti tanpa kendala. Untuk dapat berhubungan dengan pihak-pihak yang selama ini sering bekerja sama, kini tak lagi semudah dulu. Soal pengurusan izin keramaian, misalnya, dulu Harry tinggal angkat telepon. Beres. Sekarang, “Kami kadang dipingpong dulu kesana kemari,” keluh Ferdi.
Apa pun yang terjadi, perjuangan Harry Roesli harus tetap berlangsung. (*)
Foto Yang Hilang
Sungguh berat baban yang harus ditanggung Kania Perdina Handiman, istri mendiang Harry Roesli. Setelah kepergian suaminya, ia harus menjalani sendiri kesehariannya. Menjadi ibu sekaligus bagi kedua putera kembarnya, Lahami dan Layala, memantau kegiatan Harry Roesli Foundation serta DKSB yang berpusat di rumahnya, jalan WR Soepratman no 57, Bandung.
“Selama ini saya dan Mas Harry menghadapi segala sesuatu selalu bersama. Diskusi tentang politik, menghadapi berbagai kesulitan dan lain sebagainya. Sekarang segalanya harus dijalani sendiri. Buat saya ini sungguh berat.”
Meski menjadi pasangan suami istri yang kompak, sesekali muncul juga gesekan. Cara Harry Roesli mendidik anak-anaknya, menurut Kania, sangat kolot. Hukuman adalah hal yang wajar untuk sebuah kesalahan yang dilakukan si kembar. Sementara Kania yang berpikiran modern cenderung memberi ruang bagi mereka untuk membentuk kedewasaan sendiri. Pada akhirnya pendidikan untuk kedua puteranya lebih diserahkan pada Kania.
Dalam menyikapi pekerjaan Harry-Kania juga nyaris bertolak belakang. Harry yang sangat nyeniman terkesan menggampangkan persoalan, sementara Kania selalu menginginkan segalanya berjalan secara profesional. Pernah suatu saat ia menetapkan honorarium sebuah pertunjukan senilai Rp. 14 juta. “Tapi waktu orang itu mendatangi Mas Harry, suami saya dengan enteng bilang, ‘tiga juta juga cukup’, katanya.” Harry juga kerap melakukan ‘intervensi’. “Anggaran pertunjukan yang sudah saya susun bisa berantakan kalau tiba-tiba dia mendapat muncul ide baru. Terus bilang beli ini beli itu.”
Kania sebenarnya menginginkan masyarakat dapat mengapresiasi karya suaminya secara proporsional. Namun segala jerih payahnya justru sering kandas di tangan yang bersangkutan. “Padahal kalau dia dibayar dengan harga wajar, saya juga kan bisa memberi honor lebih kepada para pemain dan kru.” Adalah Kania yang menentang habis-habisan ketika Harry nyaris terseret ke dalam aktivitas politik dengan mendukung salah satu parpol terbesar. Untunglah, suaminya buru-buru tersadar. “Seniman sejati itu harus netral, tempatnya di tengah masyarakat.”
Kini tak ada lagi tempat untuk berbagi. Tak ada lagi teman nongkrong berjam-jam untuk bicara perkembangan sosial, politik atau budaya. Bercengkrama bersama LSM hanya tinggal kenangan. Baginya, sosok itu tak tergantikan.
Kania pernah mengabadikan suaminya yang tengah terbaring parah dengan tubuh penuh slang infus melalui kamera di handphone-nya. “Rencananya, kalau dia bandel lagi mau saya liatin foto-foto tersebut biar kapok.” Bandel yang dimaksudnya menunjuk kepada kehidupan Harry yang tidak teratur.
Sayang, handphone miliknya hilang dicuri orang. Nampaknya dengan foto-foto tersebut Kania bermaksud memperlihatkan kecintaannya kepada sang suami. (*)
*) Dimuat pertama kali di Majalah Rolling Stone Indonesia, edisi Juli 2008