Sawung Jabo adalah Sirkus Barock, begitu pun sebaliknya. Nama kelompok ini bisa ‘dimatikan” atau “dihidupkan” tergantung dirinya. Cerita berikut hanya contoh kecil.
Setelah cukup lama tidak terdengar aktivitasnya, pada Sabtu (21/1/23) kelompok yang dimotori oleh Sawung Jabo tampil di Teater Tertutup, Taman Budaya, Bandung. Satu minggu kemudian menyusul di Teater Tertutup Grand Parahyangan, Bogor. Judul pertunjukannya: “Bicaralah Dengan Cinta”, diambil dari lagu yang terdapat pada album “Anak Angin” (Greenland Indonesia/Bravo Musik, 2012)
Berbeda dengan yang pertama, yang dimaksud teater tertutup pada pertunjukan kedua tak lebih dari ruang serba guna dimana sisi kiri kanannya dipasang kain hitam. “Mau bagaimana lagi? Cari gedung yang memenuhi standar setengah mati,” tutur promotor Tompel Witono.
Formasi Sirkus Barock kali ini terdiri dari Joel Tampeng (akustik elektrik gitar), Ucok Hutabarat (biola), Bagus Mazasupa (elektrik piano/keyboard), Denny Dumbo, (perkusi, suling) Ruben Panging Kayon (akustik gitar), Hasnan Hasibuan (cello), Wasis Tanata (drum), Tauhid Subarkah (bass) serta Alfred Mailoa, Bonita Adi, Suzan Piper (vokal latar) dan Totok Tewel.
Jumlah tersebut di luar bintang tamu seperti Iksan Skuter, Baruna, Sri Khrisna Encik, Sarah Saputri dan Hari Pochang.

Panggung pun terasa penuh. Semua berperan penting dalam pengayaan komposisi. Dalam kefasihan membangun persoalan ansambel Jabo tentu sudah teruji oleh waktu. Sekadar mengingatkan, dia pernah kuliah di Akademi Musik (AMI) Yogyakarta selama 3 tahun.
Melalui pemaknaan judul Sirukus Barok ingin mengirimkan pesan damai kepada masyarakat Indonesia, terkhusus kepada orang-orang yang rajin bicara mengenai agama, nilai, dan lain sebagainya tapi ujung-ujungnya selalu politis. Jabo meyakini jika segalanya disampaikan dalam bahasa cinta, akan lahir kedamaian, harmoni, saling peduli, saling menjaga, saling menghargai.
“Sekarang ini ‘kan sesama orang salah saling menyalahkan,” katanya dari atas panggung yang disambut tawa penonton – di antaranya nampak Eros Djarot.
Pria kelahiran Surabaya, 4 Mei 1951, bernama asli Mochamad Djohansyah ini nampak tidak segarang dulu. Seluruh rambut, kumis dan jenggot telah memutih.
Yang tidak berubah adalah caranya berkomunikasi dengan audience. Tetap ceplas-ceplos, terkesan seenaknya, khas orang teater. Jabo memang pernah bergabung dengan Bengkel Teater pimpinan WS Rendra. Tak heran jika selama pertunjukan berlangsung suasana terasa hidup. Lihatlah bagaimana dia memperkenalkan para pemainnya menjelang akhir pertunjukan.
“….dia adalah seorang penyanyi terkenal. Terkenal nggak pernah dibayar!” katanya dengan mimik serius tapi tetap lucu. Ada pun Bonita, penyanyi yang dimaksud, hanya tersenyum seraya beruluk salam.
Saking asyiknya memperkenalkan, atau karena banyaknya musisi pendukung yang harus disebut, Jabo tidak sadar mengabsen hingga dua kali. “Yang paling kiri itu bajingan Totok Tewel!”
Membawakan repertoar 21 lagu, konser “Biacaralah Dengan Cinta” berlangsung lebih dari dua jam nyaris tanpa jeda. Penonton memenuhi kerinduannya dengan lagu-lagu sarat makna yang mengundang permenungan. Karya Sirkus Barock yang setiap temanya berasal dari buah pikiran Jabo sanggup memberi ruang bagi pengembaraan imajinasi.

Para musisi tamu pun dibebaskan berinterpretasi, seperti “Jula-Juli Anak Negeri” yang menjadi lebih nakal ketika dibawakan oleh Iksan Skuter. Atau “Petualangan Awan” yang terdengar lirih melalui olah vokal Suzan Piper.
Setiap kata pada lagu-lagu Sirkus Barock terdapat makna. Dalam blog pribadinya, Jabo menulis : “Kami tidak akan pernah menyanyikan lagu yang kami sendiri tidak memahami apa kandungan persoalannya. Artinya, Sirkus Barock tidak akan pernah mengobral kata kata dalam setiap lirik dalam lagunya. Bagi Sirkus Barock ,setiap kata ada maknanya, setiap irama ada jiwanya”.
Maka, penonton tidak rela ketika pertunjukan harus segera berakhir, dan Sirkus Barock mengabulkannya dengan dua lagu yang sudah menjadi milik rakyat : ” “Bongkar” dan “Badut”. Keduanya ditulis oleh Jabo dan Iwan Fals, kecuali judul terakhir dimana almarhum Naniel Yakien ikut menulis.
Konser “Bicaralah Dengan Cinta” akan sulit terwujud tanpa ada peristiwa yang mendahuluinya.
Pada 18 September 2022 Sirkus Barock menggelar “Senandung Anak Wayang”, judul salah satu lagu dari album “Menjadi Matahari” (Sirkus Barock Record, 2018), di Taman Budaya Jogjakarta. Moment tersebut ramai diberitakan karena menjadi ajang reuni antara Sawung Jabo dengan Iwan Fals dan Setiawan Djodi.
Secara kreatif nama Sawung Jabo dan Iwan Fals sulit terpisahkan. Sama-sama pernah tergabung dalam Kantata Takwa, Swami mau pun Dalbo. Mari kita runut sebagian jalinan pertemanan mereka.

Sekitar pertengahan September 1976 berdiri kelompok Barock di Jogjakarta. Konsep berkeseniannya berupa persilangan unsur teater dan musik balada. Ada pun Cikal bakalnya adalah sekumpulan remaja KAAS ( Keluarga Arek Arek Suroboyo ) yang sedang kuliah di Jogyakarta, Sawung Jabo seorang di antaranya. Nama ini diambil dari era jaman Baroque, jenis musik kesukaan Sawung Jabo.
Atas beaya Suzan Piper, seorang warga Australia, Barock mulai merekam demo secara live di Studio Kataketik di daerah Kota Baru. Sekitar 12 musisi berhimpitan di sana untuk mendokumentasikan lagu-lagu yang sebagian di antaranya kelak menjadi materi album pertama. Jabo kemudian menikahi Sue, panggilan Suzan Piper.
Suatu hari pasangan ini mengajak anak pertama mereka, Johan, nonton pertunjukan sirkus di Pasar Seni Ancol, tempat biasa Barock sering tampil. Diam-diam Jabo memperhatikan kegiatan para awak yang bermain akrobat, penjinak singa dan badut itu juga merangkap sebagai penjual tiket, mengatur parkir dan sebagainya. Hal tersebut mengingatkan pada kegiatan awal Barock yang mengerjakan apa saja yang berhubungan dengan pementasan. Sejak itulah nama kelompoknya diubah menjadi Sirkus Barock.
Enam tahun kemudian kelompok ini merilis album pertama “Anak Setan” (Insan Record Company, 1986). Orang yang berjasa melahirkan embrio tersebut tidak lain Farid Harja. Dialah yang menggaransi agar Sirkus Barock dapat menyelesaikan rekaman di studio Naviri, Bintaro, Jakarta Selatan. Jabo berjanji jika albumnya laku akan segera membayar. Farid pun mengangguk. Sederhana itu.
Jabo mengenal baik Farid Harja karena penyanyi berkacamata mata khas itu sering ‘nongkrong’ di rumah kontrakannya di jalan Salihara, Pasar Minggu. Rumah Jabo menjadi tempat kumpul seniman musik dan teater. Termasuk Doel Sumbang, Iwan Fals, Naniel dan banyak lagi.
Jabo mengingat bahwa di rumahnya Iwan Fals mulai melatih lagu “Wakil Rakyat” yang kemudian menjadi anthem ketika suhu politik Indonesia bergolak oleh pergerakan rakyat yang berujung lengsernya Soeharto. Mereka pun mulai menulis bareng. Judul lagu pertamanya : “Tumpukan Sampah”.

Saat tengah merekam album kedua, “Bukan Debu Jalanan”, Iwan ikut menyumbang petikan gitarnya di lagu “Burung Putih”. Pada fase ini dimulai keterlibatan Jokie Suryo Prayogo serta Totok Tewel yang datang menggantikan gitaris sebelumnya, Anang Hariono.
Sebagai motor penggerak Jabo sadar betul jika musik yang dilahirkannya tidak komersil. Dia hanya bersandar pada keyakinan bahwa setiap karya mempunyai nasib dan rejekinya sendiri. Dan rejeki itu datang menghampiri ketika materi “Bukan Debu Jalanan” masih bercokol di kepalanya.
Seorang warga Amerika bernama Douglas tanpa banyak cing cong segera menggelontorkan modal 7 juta tanpa berharap uang kembali. Dia hanya merasa senang pada musik Sirkus Barock dan masyarakat luas harus mendengarnya.
Hal serupa terulang beberapa tahun kemudian ketika Sirkus Barock tak kunjung menghasilkan rekaman baru. Penyebabnya lagi-lagi tidak ada modal.
Saat itu di rumah kontrakan barunya, jalan Lobi Lobi, Kompleks Pertanian, Pasar Minggu, Jabo kedatangan Yoko, seorang pemain piano yang pernah menjadi guide saat Bengkel Teater Rendra mentas Tokyo dan Nagasaki, Jepang. Kepadanya Yoko bertanya kapan Sirkus Barock berencana rekaman album baru.
Seperti halnya Farid Harja dan Douglas, Yoko pun dengan suka rela memberikan sejumlah dana untuk membeayai rekaman album baru. Sampai sekarang Sirkus Barock telah menghasilkan sekitar 7 album. Apakah semua melewati peristiwa seperti album-album sebelumnya? Saya tidak tahu.

Kini di tengah gempuran zaman ketika karya musik dapat dibuat secara instan dan wajah panggung pertunjukan begitu serba festival, langkah Sirkus Barock seperti terlupakan. Dunia musik mainstream sedang tidak ramah kepada jenis musik yang hanya dilahirkan melalui pergulatan wacana.
Namun bagi penikmat kesenian yang mengedepankan proses, eksistensi kelompok seperti ini akan selalu memiliki ruang tersendiri. Mungkin tidak besar karena popularitas hanyalah soal skala. Dan, Sirkus Barock nampaknya akan terus melangkah meski di jalan sunyi.
Masih terngiang di telinga ketika Jabo mengucapkan potongan larik “Menjadi Matahari” yang hendak dinyanyikannya dari atas panggung ‘Teater Tertutup’ Grand Parahyangan.
Hidup cuma sekali
Jadilah matahari
Bagi diri sendiri (*)
(Foto image : Dok TEMPO/Fully Syafi)