Bagi siapa pun yang pernah menyaksikan pertunjukannya niscaya akan bersepakat bahwa AKA memiliki elemen-elemen penting yang menjadi dasar kebutuhan penampilan sebuah band panggung. Masing-masing personilnya memperlihatkan penguasaan instrumen dengan baik, mampu menyanyi dengan warna vokal berlainan, serta memiliki kemampuan berkomunikasi dengan audience. Semua elemen tersebut menggumpal dalam bentuk penampilan sensasional, penuh kejutan dan selalu ditunggu. Atraksi teatrikalnya yang terkenal itu lahir dari pemikiran seorang Ucok Andalas Datuk Oloan Harahap (lahir di Surabaya 23 Mei 1940) yang lebih populer dengan panggilan Ucok Aka. Ia menciptakan rentetan atraksi nan mendebarkan itu bukan tanpa alasan.
“Di panggung kita harus memberi hiburan dengan persentase enam puluh persen untuk mata dan empat puluh persen untuk telinga, hasilnya seperti itu,” papar Ucok yang tak ingat persis dari mana saja ide mendatangkan peti mati, tiang gantungan, cambuk dan sebagainya. Yang pasti, setiap selesai mentas ia merasakan sekujur tubuhnya sakit-sakit. Toh baginya itu konsekuensi dari sebuah pilihan. Aksi panas tersebut diulangnya lagi dan lagi, sehingga akhirnya memang menjadi stempel AKA di kemudian hari.
Didukung Arthur Kaunang (lahir di Surabaya, 9 Juli 1951) yang enerjik, Soenatha Tanjung (lahir di Bondowoso, 16 Desember 1945) yang terampil memilih nada-nada melodius namun tetap menguar sound beringas serta Syech Abidin (lahir di Surabaya 10 Desember 1948) yang bermain stabil, AKA menjadi semacam penyeimbang bagi kekuatan Rollies dan Giant Step (Bandung), God Bless (Jakarta), Rawe Rontek (Banten) atau Golden Wings (Palembang). Semua ini bermula dari jantung Indonesia timur.
Di seruas jalan bernama kaliasin (kini jalan Basuki Rahmat), yang salah satu ujungnya bersinggungan dengan jalan Urip Sumohardjo, di salah satu sudut Surabaya yang panas, terdapat Apotik Kaliasin milik Dr. Ismail Harahap. Di belakang bangunan itu terdapat ruang tempat latihan band yang sekaligus merupakan markas AKA. Perangkat musik di situ disediakan oleh Ismail Harahap setelah Ucok merayunya dengan membawa serta gitaris Jerry Soussa. “Jerry itu gitaris yang sangat terkenal. Saya ngajak dia dengan harapan agar ayah saya bersedia membelikan peralatan band,” tutur Ucok. Taktik ini terbukti berhasil. Ia kemudian kemudian mendirikan AKA pada 23 Mei 1967, itulah tanggal dan bulan kelahirannya.
Nama AKA (kependekan dari Apotik Kaliasin) diberikan oleh Joe Djauhari Kustaman, saudara angkat Ucok yang tinggal bersama keluarga Harahap di jalan WR Supratman No. 8, Surabaya. Atas permintaan Fransisca Frederica, ibunda Ucok, seorang wanita keturunan Prancis, Joe menemani Ucok melanjutkan pendidikan mengambil jurusan Asisten Apoteker di Semarang.
Di sana ia berhasil menamatkan pendidikannya, tapi Ucok tidak. Lelaki kribo itu rupanya sudah kontrak mati dengan dunia panggung. Setelah bertemu dengan pemain bas Hengky Wass, Jerry kemudian mengaudisi para calon drummer. Dari dua belas pelamar yang datang, tak satu pun yang dianggap memenuhi syarat. Akhirnya pilihannya jatuh kepada Syech Abidin (lahir di Surabaya 10 Desember 1948) yang merupakan drummer ke-13 yang datang melamar. Ucok sendiri memainkan organ, perkusi dan tentu saja sebagai vokalis utama. Adapun Dr. Ismail Harahap kemudian bertindak sebagai manajer yang mengurus segala keperluan kontrak manggung dengan promotor.
Tapi formasi ini tak bertahan lama. Hengky Wass mengundurkan diri digantikan adiknya, Peter Wass, bassis bertangan kidal. Sedangkan Jerry Soussa digantikan Soenatha Tandjung, eks gitaris Ariesta Birawa yang pernah melahirkan nama besar Mus Mulyadi. Tahun 1999 Jerry Soussa yang hidup menyendiri menghembuskan nafas. Kepergiannya baru diketahui beberapa hari kemudian. “Saya sendiri terlambat menerima kabar kematiannya,” kata Ucok dengan suara perlahan.
Tahun-tahun pertama karir AKA ditandai dengan pergantian pemain bas dari Peter Wass kepada Lexy Rumagit. Entah kebetulan atau tidak, keduanya sama-sama kidal, sama-sama dahsyat. AKA formasi baru ini berhasil mensejajarkan diri dengan dua nama besar yang tengah menjadi kebanggaan publik Surabaya, Ariesta Birawa dan Yeah Yeah Boys yang dimotori oleh Eddy Radjab. Sayang, Lexy Rumagit punya masalah dalam soal disiplin. Ia sering mangkir latihan. Menurut Soenatha, salah satu faktor penyebabnya adalah ketidakmampuan Lexy dalam memisahkan urusan band dengan pacaran. Hal yang sebenarnya lumrah ini lamakelamaan dirasakan mengganggu jadwal latihan dan pertunjukan. Lexy akhirnya memilih mundur pada 1969. AKA pun sibuk mencari penggantinya karena sudah terikat kontrak dengan sejumlah promotor.
Kabar terkuaknya lowongan untuk pemain bas baru sampai ke telinga Arthur Victor George Jean Anesz Kaunang, melalui seorang teman bernama Rubin. Arthur Kaunang, yang pernah bergabung dengan Leo Kristi dalam kelompok Muana, seorang penggemar berat AKA. Ia rela menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk menonton AKA berlatih di belakang Apotik Kaliasin tadi. Kesempatan audisi untuk menggantikan Lexy Rumagit langsung membuatnya bingung dan gelisah. Nama AKA terlampau besar baginya disamping menyadari dirinya tak sehebat Lexy Rumagit. Instrumen yang paling dikuasainya ketika itu adalah piano klasik. Namun pencabik bas mana pun di Surabaya yang akan “rela mati” demi untuk bisa bergabung dengan AKA. Dan Arthur akhirnya menjajal kesempatan tersebut tanpa dibekali penguasaan bas yang memadai.
Ternyata, dari sekian banyak calon bassis yang diaudisi, Arthur lah yang terpilih. Padahal saat itu banyak pelamar lain yang lebih bagus darinya. Sampai sekarang Arthur tak pernah menanyakan alasan pemilihan dirinya. “Arthur memang sengaja dipilih karena dia kidal, soalnya di panggung kami sudah terbiasa dengan format bassis kidal,” alasan Soenatha Tandjung. Selama tujuh hari Arthur Kaunang tak diperkenankan pulang karena harus ngebut menghapal repertoar dari Stephen Wolf, Three Dog Night, Cream dan Jimi Hendrix untuk memenuhi beberapa kontrak manggung yang terlanjur ditandatangani. “AKA saat itu sudah punya nama besar. Bisa bergabung dengan mereka rasanya seperti dream come true,” kenang Arthur.
Setahun kemudian AKA mendapat tawaran mengisi acara tetap di West Point Garden Bar & Restaurant, Singapura. Di sana mereka bertemu The Rollies, kelompok brass rock asal Bandung, yang tengah mengisi acara serupa di tempat lain. Sebelum kedatangan mereka, tempat hang out yang terletak di pinggir pantai ini biasa menyajikan lagu-lagu off beat untuk mengiringi pengunjung ber-a go go. Akan tetapi AKA mengubah atmosfer tersebut dengan memainkan lagu-lagu rock yang ternyata mendapat sambutan bagus. Kehadiran arek-arek Surabaya itu menjadikan jumlah pengunjung restoran tersebut semakin berlimpah. Kontrak pun diperpanjang. Tidak hanya itu, perusahaan Life Records menawari mereka untukrekaman mengiringi beberapa penyanyi solo artis Mandarin. Sebagai anak perantauan, AKA kemudian disibukkan oleh jadwal yang padat. Siang rekaman, malam menghibur pengunjung West Point Garden Bar & Restaurant. Toh di luar itu mereka masih berusaha menyisihkan waktu untuk berburu piringan hitam (PH).
Berkat seabreg cakram itulah mereka dapat mengikuti perkembangan musik dunia, terutama yang menyangkut nama-nama besar yang menjadi acuan selama ini. Ucok Harahap, sebagai contoh, mengaku amat terpengaruh oleh James Brown. Karakter si raja soul inilah yang menginspirasi kegilaannya di atas panggung. Kelak, AKA pernah dicekal di Jawa Timur gara-gara Ucok Harahap melakukan adegan senggama ketika membawakan Sex Machine-nya James Brown.
“Ucok terlalu menghayati lagu itu, sampai-sampai dia mencopot seluruh pakaiannya hingga tinggal celana dalam saja,” cerita Arthur Kaunang yang juga punya aksi panggung sama-sama ganas.
Tak berapa lama berpindah kepemilikan. Keluarga Ucok boyongan ke Apotik Kaliasin daerah Lawang yang udaranya jauh lebih sejuk. Sebuah villa milik keluarga Harahap segera berubah fungsi menjadi tempat tinggal. Di sana AKA kembali melanjutkan rutinitasnya main musik. Sesekali mereka berlatih di studio milik Richard Pontoh, salah seorang roadies yang disebut-sebut sebagai maskot AKA, di bilangan Pucang Anom Timur 6, Surabaya. Di samping gemar memborong piringan hitam, sebagian penghasilan dari manggung mereka pergunakan untuk membeli peralatan musik. Soenatha pulang ke Indonesia dengan menenteng Fender Stratocaster, Arthur membawa bas gitar Fender Vintage 64, demikian juga Syech.
“Hanya Ucok yang nggak beli apa-apa. Nggak tahu duitnya dipakai apa?” Arthur tertawa. Sesampainya di tanah air mulailah AKA melakukan penjelajahan dari panggung ke panggung. Kecintaan terhadap lagu-lagu berirama keras merangsang mereka untuk selalu tampil enerjik. Ucok bahkan menginginkan grupnya lebih dari sekadar pameran skill. Ia menggagas atraksi teatrikal yang melibatkan peti mati, cambuk, tengkorak dan lain sebagainya. Soenatha, Arthur dan Syech Abidin merespons ide gila ini dengan menyiapkan aransemen khusus pada lagu-lagu tertentu untuk menambah kesan dramatis. Walhasil, nama AKA pun meroket meninggalkan Ariesta Birawa dan Yeah Yeah Boys. Namun hingga saat itu kesempatan untuk rekaman belum juga datang menghampiri.
“Kami harus menghabiskan waktu bertahun-tahun sebelum akhirnya mendapat tawaran rekaman. Kesempatan bikin album ketika itu susahnya minta ampun, tidak seperti jaman sekarang,” kata Syech Abidin.
Tawaran untuk rekaman akhirnya datang dari Indra Records. Album demi album lahir meluncur secara teratur, umumnya mengetengahkan judul bahasa Inggris seperti Sky Rider (1973), Cruel Side Of The Suez War (1974), Shake Me (1975) atau Mr Bulldog (1976). Kebanyakan judul di atas ditulis oleh Ucok dan Arthur Kaunang yang memang pernah kuliah di IKIP Surabaya jurusan Sastra Inggris, namun tak sampai menyelesaikan skripsi. Memang AKA sempat mencetak hit “Akhir Kisah Sedih,” “Dunia Buram” atau “Badai Bulan Desember,” namun secara umum publik lebih menantikan atraksi AKA. Sedangkan album yang menggunakan bahasa Indonesia, Bertemu Untuk Berpisah (1976) sekaligus mengakhiri hubungan kerja mereka dengan Indra Records. Ini sebenarnya merupakan kompilasi lagu-lagu bernuansa balada yang pernah menduduki tangga lagu.
Harus diakui AKA memiliki keunggulan dalam penulisan berbahasa Inggris. Artikulasi, progresi nada, serta ekspresi bernyanyi Ucok mau pun Arthur sudah sulit dibedakan dengan pemusik luar negeri. Judul-judul di atas terasa dibuat untuk suasana panggung, atau setidaknya untuk memenuhi kebutuhan panggung. “Crazy Joe,” sekadar gambaran, memperlihatkan interaksi antara Ucok Harahap dan Arthur Kaunang dengan kekompakan seperti yang biasa terlihat pada saat tampil live. Inilah lagu yang sering menjadi nomor andalan di atas panggung. Ketika dirilis, “Crazy Joe” bertahan di puncak tangga lagu Radio Australia selama tiga pekan. Beruntung Ucok memiliki tiga orang adik yang tinggal di luar negeri. Mereka inilah yang rajin mengiriminya piringan hitam sehingga Ucok mendapat referensi yang berharga.
Meski dikenal lama sebagai macan panggung, tidak semua atraksinya berjalan mulus. Pada saat tampil di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 9 & 10 November 1973, terjadi peristiwa nahas. Ketika membawakan “Crazy Joe” yang merupakan encore dari pertunjukan AKA, Ucok kembali melakukan atraksi dengan memasukkan dirinya ke dalam sebuah peti mati yang terdiri dari dua lapis, di mana di dalam peti mati lapis pertama sudah disiapkan tengkorak. Menurut Soenatha, setelah masuk ke dalam peti mati tersebut Ucok harus meloloskan diri melalui bagian bawah, sehingga pada saat peti mati tersebut dibuka, penonton hanya akan menemukan tengkorak tersebut. Namun entah kenapa mendadak dari dalam Ucok berteriak-teriak. Ia berusaha membuka sendiri pintu peti mati. Sial, macet. Setelah berhasil dibuka dengan paksa, Ucok seperti kesurupan berlari ke atas tembok pembatas arena Teater Terbuka. Kemudian memanjat genting sebelum terjatuh menghempas bumi karena tanpa sengaja ia memegang kabel listrik yang melintang di atas genteng.
“Adegan ini mendapat aplaus panjang dari penonton yang menduga (pemandangan) itu bagian dari atraksi. Padahal sebenarnya Ucok tengah kesurupan,” kenang Soenatha yang hingga kini mengaku tak pernah bisa melupakan peristiwa tersebut.
Namun menurut versi Ucok, ketika dirinya dimasukkan ke dalam peti mati tersebut, ia kaget mendapatkan dirinya berada di sebelah mayat seorang wanita. Karena ketakutan, ia lantas menendang-nendang peti mati itu sekuat tenaga hingga terbuka, lalu tanpa sadar berlari sejauh mungkin dikejar mayat tersebut. Benarkah kesurupan?
“Saya tak ingat pasti. Kalau dalam keadaan sadar tentu mana berani saya lari-lari di atas genteng,” papar Ucok.
“Crazy Joe” adalah panggilan yang diberikan personil AKA kepada Joe Djauhari Kustaman karena seringkali memberikan ide-ide yang dianggap nyeleneh. Joe inilah yang menggantikan Ismail Harahap dalam menangani urusan kontrak AKA dengan panitia.
Toh, meski sempat mengalami pergantian manajer, secara ekonomi AKA tidak berbeda dengan kebanyakan grup ketika itu yang bermusik semata-mata lebih sebagai penyaluran hobi.
“Waktu itu kami tak pernah berpikir bagaimana AKA berhasil secara ekonomi. Berbeda dengan management band sekarang yang lebih profesional dan sejak jauh hari sudah memikirkan bagaimana mengumpulkan penghasilkan sebanyak-banyaknya,” papar Soenatha. Arthur Kaunang bahkan memandang keterlibatannya dengan AKA sebagai bagian dari proses perjuangan dalam mencari jati diri sebagai musisi. “Secara ekonomi gue lebih mapan waktu dengan SAS,” tambah bassis bertubuh tinggi besar itu.
Mungkin karena itulah mereka seolah tak pernah peduli dengan komersialisasi sebuah karya musik. Mereka tetap memasukkan lagu berteks Inggris ke dalam album-album AKA meski porsinya kecil. Dengan begitu pencitraan sebagai band panggung dengan aksi memikat dapat dipertahankan. Namun konsep ini segera berakhir seiring dengan habisnya kontrak kerjasama AKA dengan Indra Records. Setelah berada di bawah naungan Remaco, AKA tak mampu menghindar dari tekanan produser untuk melahirkan album yang lebih komersil.
Pada 1974 meluncurlah album bertajuk Pop Melayu dengan hit “Yang Jauh Disana” yang dilantunkan Syech Abidin. Kemudian Pop Melayu Jawa dan Qasidah Modern yang dirilis pada tahun yang sama. Keangkeran AKA sebagai band rock yang disegani kemudian tengah meluncur ke titik nadir. Banyak penggemar merasa dikhianati dan mulai melupakan mereka. Sementara itu perbedaaan prinsip antar sesama personil AKA semakin menggiring mereka menuju ke arah sebuah persimpangan. Di satu sisi Soenatha, Arthur dan Syech ingin mengedepankan musik berdasarkan sebuah konsep. Namun di sisi lain Ucok semakin larut dengan sensasi-sensasi yang terus-menerus ia ciptakan. Upaya untuk menyatukan kembali visi telah berulang kali ditempuh namun tak pernah menghasilkan titik temu. AKA berusaha tetap eksis dalam keterseokan. Akan tetapi aura keretakan dalam tubuh AKA mulai tercium ketika Ucok mulai jatuh cinta pada pada seorang gadis bernama Farida yang sama-sama tinggal di Lawang. Begitu kepincutnya Ucok, sampai-sampai ketika Farida pindah ke Jakarta, Ucok nekat meninggalkan istri beserta empat orang anak.
“Sampai Jakarta saya terpaksa tidur di (stasiun) Gambir untuk sementara,” katanya menerawang.
Kedua pasangan yang dimabuk asmara itu akhirnya menikah dan dikarunia dua putra: Sutan Kharisma Mahayudin dan Sutra Kharisma Maharani yang kini menjadi presenter sebuah TV swasta. Keputusan Ucok menikahi Farida membuat ketiga temannya tidak habis pikir. Dalam pandangan Syech Abidin, Ucok memang selalu tak berdaya jika sudah berhadapan dengan urusan perempuan. “Dia itu orangnya sangat baik, tetapi punya kelemahan dalam urusan perempuan. Dari dulu persoalan dia selalu menyangkut perempuan.”
Semula mereka tak terlalu ambil peduli sepanjang urusan percintaan Ucok tak sampai mengganggu aktivitas AKA. Namun keputusan Ucok meninggalkan Lawang untuk menetap di Jakarta membuat repot teman-temannya. Komunikasi menjadi sulit. Apalagi tersiar kabar bahwa Ucok membuat album rekaman lewat grup Love Sweet Gentle bersama Hengky (gitar), Eddy (bas), Benny Moustafa (drum) dan Cipta (saksofon). Ucok semakin sibuk sendiri.
Ketika AKA mendapat undangan mentas di Semarang, Ucok bahkan mangkir. AKA pun terpaksa tampil dengan formasi tiga orang. Peristiwa seperti terus itu terus berulang. Ucok lantas diberi peringatan melalui surat resmi, tapi hingga surat peringatan kedua dilayangkan tak kunjung memberikan respons. Ketika temannya lantas sepakat untuk mengibarkan bendera SAS (Soenatha, Arthur, Syech). AKA dibiarkan vakum karena Ucok tak pernah menyatakan keluar. Setelah tinggal di Jakarta, terpisah dari ketiga teman seperjuangannya, Ucok Harahap runtang-runtung sendirian. Agar tak kehilangan muka di mata keluarga Farida, dicarinya kesibukan dengan mendirikan Ucok And His Gang (Uhisga). Ini semacam bengkel kesenian yang mengakomodir kegiatan musik, tari, fashion show, modelling dan entah apa lagi. Jumlah anggotanya pun menggelembung. Lucunya pada saat manggung di Jember SAS pernah sepanggung dengan Uhisga. Di sana Ucok kembali menampilkan atraksi teatrikal dengan menggantung dirinya di atas sebuah tiang yang telah dipersiapkan. Peristiwa nahas kembali terulang. Tali yang mengikat kedua kakinya terputus dan Ucok meluncur jatuh dengan posisi kepala di bawah. Pertunjukan pun segera dihentikan. “Itu ulah orang yang tidak suka pada saya, kemudian memutus tali secara gaib,” kata lelaki yang mengaku punya kemampuan seorang paranormal itu.
Uhisga ternyata pula tak cukup mampu menampung ledakan kreativitas Ucok yang seperti tak pernah kehabisan energi. Di Jakarta ia mendirikan The Yukas bersama Jopie Item (gitar) dan Karim Suweileh (drum). Meski berkolaborasi dengan pemusik jazz andal, toh album Jalan-Jalan yang dihasilkannya malah bernuansa pop. Ucok kemudian mendirikan Warrock yang tidak menghasilkan apa-apa. Namun karisma Ucok Harahap rupanya belum berakhir. Pada saat namanya mulai dilupakan, ia membuat kejutan dengan proyek Duo Kribo bersama Achmad Albar yang berhasil mencetak hit “Penari Jalang,” “Neraka Jahanam,” “Pelacur Tua,” dan lain sebagainya. Namanya kembali menjadi topik pembicaraan. Dalam penuturan Arthur Kaunang, kegagalan Warrock telah menginspirasikan di kalangan personil SAS untuk menghidupkan formasi AKA. Sukses Duo Kribo telah mengubur rencana tersebut. Mimpi ke arah sana memang terwujud pada 1997.
AKA kembali memasuki studio rekaman untuk menggarap Puber Kedua yang melibatkan Ian Antono. Namun jaman telah meninggalkan mereka. Apalagi album ini tidak disertai konsep yang memadai sebagai daya saing dengan trend masa kini. Kemunculan Puber Kedua hanya menimbulkan riak kecil untuk kemudian segera dilupakan. Kini Ucok Harahap tinggal di Kediri. Kerinduan nampaknya tetap menggelayut di benak sang ikon terhadap nama besar AKA. Dalam percakapan pada awal bulan Januari 2007, ia terlihat masih menyimpan mimpi untuk menyaksikan lagu melankolis seperti “Badai Bulan Desember” kembali bergaung lewat band generasi sekarang. Sebuah obsesi yang masih dapat dipertanyakan. Namun tanpa itu pun sebenarnya nama AKA telah melegenda.
Lima Menguak Takdir
AKA bukan cuma kontroversial di atas panggung, tetapi juga dalam semua perilisan albumnya. Mereka garang dalam melahirkan lagu-lagu berbahasa Inggris namun mellow pada lagu-lagu Indonesia. Kontras tersebut nyaris menjadi identitas mereka. Menurut vokalis dan pemain bass Arthur Kaunang, itu merupakan hasil kompromi dengan pihak perusahaan rekaman. AKA bahkan ikut terseret melahirkan album pop melayu dan qasidah.
“Pada era ’70-an hampir semua band rock tidak punya posisi tawar di hadapan label. Mereka rata-rata menginginkan para musisi menciptakan lagu pop yang gampang laku di pasaran. Itu dilematis bagi musisi. Kami mencoba negosiasi dengan mereka agar tetap diberi keleluasaan merekam lagu berbahasa Inggris untuk keperluan panggung. Hasilnya seperti itu.”
Tidak semua album AKA sukses secara komersial. Dari 15 buah album, saya memilihkan 5 album fenomenal mereka yang wajib masuk ke daftar koleksi.
Do What You Like
Indra Records, 1972
Pengaruh “Purple Haze”-nya Jimi Hendrix langsung meruap pada intro “We’ve Gotta Work It Out” yang ditulis secara keroyokan oleh Ucok, Arthur, Soenatha dan Syech. Bukan hanya pada notasi vokal, melainkan juga distorsi gitar yang pada era flower generation Hendrix-lah penggagasnya. Selain “Do What You Like”, “Akhir Kisah Sedih” adalah hit terbesar album ini. Malalui “Bukan Mesiu” terlihat bagaimana eksistensi seniman musik yang masih dipandang sebagai profesi yang layak dicurigai penguasa. Sebuah tema serius untuk sebuah band yang baru merilis album pertama.
Reflection
Indra Records 1972
Kemampuan Soenatha Tandjung sebagai seorang multi instrumentalis mencuat di album ini. Ia bermain biola dengan lirih dalam “Jeritan Seniman” namun tampil sangar dalam “Reflection”. Tiupan harmonikanya menjadi soul pada “Jatuh Cinta”. Ia juga menulis lagu “Keagungan Tuhan” yang segera mengingatkan pada cerita Syech Abidin bahwa sejak bergabung dengan AKA gitaris pendiam itu sangat alim dan berusaha keras menjauhi sindrom sex, drugs and rock ‘n roll (Soenatha kini menjadi pendeta di Surabaya dan aktif dalam kerohanian). Album Reflection terasa kaya oleh pemilihan tema. Ada cerita tentang alam, jebakan asmara, religiusitas, dan “Akhir Kesucian Gadis” yang dibawakan secara kompak oleh Ucok dan Syech Abidin.
Crazy Joe
Indra Records, 1973
Begitu populernya “Crazy Joe”, sehingga tidak lama setelah dirilis berhasil memuncaki tangga lagu di Radio Australia selama tiga pekan. Lagu ini menceritakan sosok Joe, saudara angkat Ucok Harahap. Lengkingan dan teknik menyanyi Ucok mempertegas dirinya sebagai pengagum berat James Brown. “Crazy Joe” terdengar liar dan menghentak berkat cabikan bas Arthur Kaunang yang nampak larut ke dalam tema lagu. Meski dalam album ini terdapat lagu menarik lain seperti “Skip Away”, mungkin “Crazy Joe”lah karya masterpiece AKA yang tak akan pernah bosan untuk didengar sampai sekarang. Kegarangan lagu ini terasa bertolak belakang dengan “Senyum” yang dikemas dalam aransemen yang sederhana. Soenatha menunjukan kapasitasnya sebagai pemain ritem yang layak diperhitungkan. Lagu ini mungkin dipersiapkan untuk mengulang sukses “Akhir Kisah Sedih”, tapi pesona “Crazy Joe” telah menenggelamkannya.
Sky Rider
Indra Records, 1974
Dibuat ketika dunia tengah dilanda genre hard rock, album ini paling banyak menebar hit berbahasa Indonesia, terutama “Badai Bulan Desember” yang sempat dirilis ulang dengan aransemen baru dalam Puber Kedua (1997) dengan featuring Ian Antono. Ditulis dan dinyanyikan oleh Ucok, “Badai Bulan Desember” memperlihatkan kematangan AKA dalam menciptakan aransemen. Ucok memainkan organ dengan irama terukur. Hit lainnya adalah “Karena Dia” dan “Cintaku Kembali” yang memperdengarkan vokal bening Syech Abidin. Bagan lagu “Sky Rider” (interlude gitar yang didahului solo keyboard) sendiri menginformasikan kepada kita bahwa pengaruh Deep Purple merasuk di dalamnya. Soenatha Tandjung dan Syech Abidin bersenyawa lewat “Groovy” yang menggelitik. Sky Rider adalah album terbaik yang pernah dihasilkan oleh AKA.
Cruel Side Of Suez War
Indra Records, 1975
Lagi-lagi AKA memperlihatkan kefasihannya dalam mengemas lagu berbahasa Inggris. Kali ini mereka mengangkat isu perang Suez lewat “Suez War” yang saat itu tengah menjadi pusat keprihatinan dunia. Daya tarik lagu ini terletak pada permainan keyboard Ucok Harahap yang berhasil menampilkan nuansa Timur Tengah. Soenatha melengkapinya dengan riff-riff pendek namun bermakna. Sementara “Bertemu Untuk Berpisah” merupakan satu-satunya lirik berbahasa Indonesia yang mampu merebut perhatian. Tak fenomenal seperti “Akhir Kisah Kisah Sedih” atau “Badai Bulan Desember”, namun lagu tersebut terpilh sebagai titel untuk album terakhir AKA dengan Indra Records yang mengontrak mereka hingga delapan album.
*) Dimuat pertama kali di Majalah Rolling Stone Indonesia edisi Februari 2008