Kamarmusik.id – Merilis album berskala internasional, itulah mimpi terbaru mereka. Mimpi yang digenggam erat selama 24 tahun berkarir di dunia musik. Bulan Mei ini mimpi tersebut segera terwujud dengan cara memasuki pasar Jepang, judulnya Slank. Di Indonesia album yang sama beradar menggunakan judul Slank – The Big Hip.
Ini memang hasil kolaborasi dengan band asal Negeri Matahari Terbit itu. Sebelas lagu di dalamnya dikemas dalam bahasa Indonesia, Jepang dan Inggris, plus bonus dua lagu dalam format VCD cuplikan konser ultah Slank ke 24 di Ancol, Jakarta, Desember 2007.
Untuk mendapatkan mood yang diinginkan, proses rekamannya dibuat secara live. Adalah personel The Big Hip, Shirai Mikiyo (keyboard) dan Kajiwara Tetsuya (drum), yang mengirim e-mail berisi ajakan kerjasama rekaman.
Menurut Abdee Negara, sebelumnya The Big Hip telah mencari kelompok yang memainkan rock ‘n roll untuk partner rekaman, namun tidak menemukan karakter yang diinginkan. Baru setelah mendengarkan lagu-lagu Slank, Shirai dan Kajiwara segera memutuskan pilihan.
“Perjalanan karir mereka hampir sama dengan Slank,” kata Bimbim tentang alasan menerima tawaran tersebut. Majalah Rolling Stone yang mendapat kesempatan pertama menyimak hasil rekamannya beroleh kesan bahwa The Big Hip cenderung mengikuti patron permainan Slank. Oleh karena itu, secara musikal album ini tak berbeda jauh dengan album-album sebelumnya. Apalagi penggarapannya dilakukan di studio Parah, milik Slank.
Proses berbeda terjadi pada Anthem For The Brokenheart, album lainnya yang akan dirilis di Amerika sekitar bulan Juni. Khusus untuk album ini Slank menunjuk Blues Saraceno, eks gitaris Poison, sebagai produser. Inilah pertama kalinya band tersebut “membuka diri.” Lima lagu diantaranya merupakan hit lama, antara lain “I Miss U But I Hate U,” “Virus,” “Too Sweet To Forget” (Terlalu Manis) dan “Caricature” (Karikatur). Di tangan Saraceno musikalitas Slank memang bikin pangling. Pencapaian aransemen dan kualitas rekaman lebih fresh.
Cover Slank – The Bigh Hip terlihat genit, menampilkan pinggul perempuan berbalut celana jins. Sepintas menyerupai cover album The Donnas yang sama-sama terinspirasi oleh Stiky Fingers-nya The Rolling Stones. Cover Anthem For The Broken Heart lebih terlihat garang. Darah muncrat dari lima buah ulu hati, menginformasikan jumlah personel Slank. Kenapa harus merilis dua album sekaligus? Saya mencoba mencari tahu. Kelima personil Slank menjawab blak-blakan. Perbincangan berkembang pada soal politik diselingi ketawa-ketiwi, terutama ketika membahas soal cewek.
I. Album Baru
Apa sebenarnya goal dari mengedarkan album di Jepang dan Amerika?
Bimbim : Ini mimpi Slank sejak dulu. Soalnya kalau tetap bikin di Indonesia, tiga lima tahun lagi selesai karena nggak ada yang gue kejar lagi. Sekarang anak band apa sih yang dikejar? Banyak uang, banyak cewek, dikenal maysrakat, kan itu. Ya, kami harus mencari mimpi yang lebih besar lagi.
Kaka : Ini mimpi lama …
Kalian merasa sudah tidak punya tantangan di Indonesia?
Slank : Nggak ….!
Ridho : Ini untuk melengkapi perjalanan.
Abdee : Apalagi sih, yang belum kami lakukan di Indonesia? Semua sudah pernah dicoba. Tapi kalau tugas yang kami kerjakan di sini memang belum selesai.
Sejauh mana persiapannya?
Abdee : Untuk yang di Amerika udah dijajaki sejak dua tahun lalu….
Bimbim : Tahun 2006 kami bikin showcase di lima kota. Waktu itu sudah (ada) penjajakan dengan beberapa produser, ada dari Kanada, Los Angeles dan San Fransisco. Akhirnya kami putuskan dengan produser di Los Angeles.
Abdee : Mereka berempat sih yang mau di LA, gue maunya di Kanada….
Bimbim : Soalnya mau dari New York, Kanada atau mana pun ujung-ujungnya pasti ke LA. Lagi pula di LA banyak komunitas Indonesia yang bisa bantuin kami.
Ridho : LA itu semacam basic-nya musik dunia. Dulu pernah ada Seattle sound, tapi balik-baliknya kan ke LA juga.
Abdee : Semua industri bermuara di situ.
Di sana bekerjasama dengan label setempat?
Ridho : Sampai saat ini masih cari distributor (beberapa hari setelah wawancara, Slank akhirnya memutuskan Red Music sebagai distributor. Distributor yang sama dengan The Black Crowes).
Bimbim : Tapi kami sudah dapat agent dan lawyer. Mereka itulah yang menetapkan tanggal edar yang bertepatan dengan momen-momen tertentu.
Kaka: Kalau bisa sih, tetap as independent.
Abdee : Selama rekaman di sana kami shopping produser dan distributor. Kami mencari tahu produser mana aja yang bisa membantu Slank. Kami nggak kerjasama semata-mata berdasarkan bisnis dengan pihak yang kalau menguntungkan baru mereka kerjakan. Nah, lawyer kami mengerti itu dan mencoba mencarikan.
Di Jepang seperti itu juga?
Ridho : Di Jepang prosesnya lebih enak karena di album itu ada (musisi Jepang) yang main juga. Jadi lebih mulus.
Bimbim : Iya. Malah di Jepang kami bikin label baru dengan The Big Hip. Tapi tetap independen label. Namanya apa, Ka? (menoleh kepada Kaka)
Kaka : Paramusic.
Dengan mendirikan label berarti akan ada produksi lanjutan dong?
Bimbim : Bisa aja. Mungkin produksi band Jepang atau Indonesia dan diedarin di sana.
Oke, apa langkah selanjutnya setelah album di Jepang beredar?
Bimbim : Bulan Mei kami mau konser di Tokyo dan Nagoya. Untuk Amerika rilis bulan Juni, langsung kami tur ke beberapa kota. Udah ada promotor yang mau “nampung” kami.
Kenapa untuk Amerika beredar bulan Juni?
Abdee : Mereka nawarinnya Mei, tapi kan ini menyangkut kesiapan. Marketnya harus jelas dulu. Industri musik di Amerika (selalu) melihat dulu sebelum merilis album, ini jalurnya mainstream atau independen. Slank ini bisa dibilang mainstream tapi tetap ada independennya. Sebenarnya mereka rada bingung, mau dipasarkan di jalur mainstream atau indie, karena (kami) masuk di keduanya.
Sebenarnya siapa sih, yang menjadi sasaran tembak album ini?
Abdee : Nah, itu yang sekarang mereka lagi berpikir.
Bimbim : Cuma kayaknya kami lebih milih ke independen.
Kaka : Minimal kami harus dikenal dululah, istilah kasarnya.
Abdee : Sebenarnya kalau mau main di mainstream akan lebih mudah. Slank kan udah punya pasar di Indonesia, punya album-album lama yang masih punya daya jual, dan itu menjadi nilai bargaining untuk label di sana. Tapi mereka (lawyer) bilang, kalau main di mainstream lo akan terikat, nanti mau ngapa-apain di Indonesia nggak bebas lagi. Semua diatur dari sana. Lo mau nggak ngelepas (semua) itu? Begitu pertanyaan mereka. Buat mereka akan lebih mudah kalau bernegosiasi dengan major label.
Kaka : Contohnya kalau di sana kita sama Sony, begitu pulang ke sini kan pasti jadi anak buah Sony …
Abdee : Give up your freedom ….. Lo laku 500.000 (keping) di jalur major bisa nggak dapat apa-apa, tapi laku 50.000 (keping) di jalur indie udah bisa dapat duit.
Bimbim : Nggak bebas lagi. Memang (menempuh) jalur indie lebih susah, untuk bisa (menjadi) gede bakal lama, tapi dapat duitnya lebih banyak.
Apa perbedaan paling mendasar dari sistem kerja di Amerika dan Jepang?
Ivanka : SDM sama sistem.
Abdee : Amerika lebih punya template. Misalnya untuk set drum presetnya begini. Gue lihat sih, mereka lebih banyak menggunakan preset-preset aja. Misalnya ada beberapa pre amp yang khusus dibuat untuk sound drum. Tinggal ngatur posisi micking. Amerika lebih profesional. Kami belum pernah kerja seperti itu.
Ridho: Kayak orang kantoran. Bangun pagi….
Bimbim : Sebelum berangkat ke Amerika kami sudah dapat jadwal kerja. Jam segini ngapain aja. Semua udah clear. Sampai kapan harus istirahat, jalan-jalan, itu sudah ada.
Apa tantangan buat Slank sekarang ?
Bimbim : Kami akan lebih concern ke sosial, kayak kemarin main di KPK. Lebih membereskan keadaan, membangkitkan semangat masyarakat. (Soalnya) apa yang kami teriakkan ‘kami harus begini, kami harus begitu’ kayaknya sudah dilakukan fans kami. Pada akhirnya Slank bermusik untuk itu. Musik menjadi media dalam menjalankan misi sosial kami. Kami berusaha survive, quick learning gitulah.
II. Industri Rekaman
Album Bajakan mencerminkan puncak kejengkelan Slank, ya?
Bimbim : Iya, salah satunya karena itu.
Tapi bukankah banyak Slankers justru membeli album Slank produk bajakan?
Bimbim : (Terdiam). Itu karena faktor ekonomi.
Kaka : Ekonomi mereka seperti itu. Itu justru menjadi gambaran jelas bahwa ekonomi Indonesia memang parah.
Bimbim : Ginilah, keadaan di sini memang sudah parah banget. Kalau mereka punya uang mereka pasti lebih milih yang asli, karena (album) kami bagus – selalu ada bonus.
Itu namanya pembenaran dong?
Bimbim : Insya Allah buat next harga CD album Slank akan sama dengan harga kaset. Memang margin-nya jadi lebih kecil…
Kenapa harga CD lebih mahal dari kaset?
Abdee : Ini di luar konteks, dulu ada semacam ketakutan bahwa kalau harga CD sama dengan kaset, maka industri kaset akan hancur. Makanya CD tetap dimahalin. Tapi ketika kaset sekarang sudah susah, dan player-player di rumah pun sudah CD, ya udah harga CD diturunin.
Merilis album di Jepang dan Amerika bisa menjadi simbol ketidakpercayaan Slank terhadap industri musik di sini?
Kaka : Nggak sih, ini kan sebenarnya mimpi lama yang benar-benar kami rintis dari dulu. Karena kalau memilih jalur indie prosesnya akan seperti ini, lama. Akan lebih mudah kalau bergabung dengan major. Misalnya, gue (artis) Sony, ah gue pengen rekaman sama Sony Jepang dong. Mungkin akan lebih mudah. Nah, karena kita indie dan ini mimpi dari jaman dulu, jadinya baru terealisasikan sekarang. Ini aja baru proses rekamannya baru kelar. Mimpi selanjutnya, ya merilis album tersebut. Itu yang belum. Kami rintis lagi pelan-pelan. Kalau ada pendapat kami frustrasi sama industri di sini, itu planningnya aja pas.
Bimbim : Kami justru lagi survive, belajar lagi, Kami nggak bisa bersaing melawan pembajak. Yang memperparah ya, ekonomi itu. Kami harus bayar pajak, keluar untuk produksi, belum promosi. Eh, mau jual 3000 (keping) aja susahnya minta ampun.
Ini album indie dengan biaya “major” ya?
Abdee : Untuk ukuran Indonesia, iya. Tapi untuk ukuran Amerika tetap aja indie.
Ongkos mimpi kalian ini dari mana sih? Royalti, show atau iklan?
Slank : He-he-he…
Bimbim : Kayak nggak tau aja!
Ridho : Kita mau beriklan antara lain ya untuk (rekaman) itu.
Bimbim : Itu kan seperti lagu Slank “ Mau (Beli) Tidur.” Mimpi itu memang harus dibeli.
Seberapa jauh kalian melakukan kompromi dengan diri sendiri?
Abdee : Itu tergantung pada seberapa jauh tujuan kami. Kalau tujuannya kecil, ngapain (menjadi model iklan)?
Bimbim : Sebenarnya kalau kami mendekati salah satu partai, tanpa harus beriklan juga mampu (membiayai rekaman). Tapi hati nurani kami nggak segitunya. Kami melihat juga dengan muka kami dipajang di mana-mana, Slankers marah nggak?
Abdee : Kami mau beriklan tapi tetap ada beberapa persyaratan. Pertama, nggak boleh terlalu komersil ke produk. Kedua, ada pesan dari Slank. Misalnya dengan Jinggo, oke kami terima tapi mereka harus bikinin program. Contohnya, mengenal budaya Indonesia. Dengan Super Mie lain lagi. Isunya komunitas. Di Indonesia sekarang antar komunitas saling gontok-gontokan. Nah, makanya di iklannya kita gabungin, ada anak motor, ada Slank, olahragawan, jadi satu.
Pembenaran lagi?
Kaka : Ha-ha-ha……!
Abdee : Mungkin bisa dianggap pembenaran, tapi itu benar-benar kami lakukan lho. Kalau ngomong doang, baru namanya cuma pembenaran. Kami ngajuin syarat kok. Lo mau kontrak, ini syaratnya …!
Ridho : Kalau mereka keberatan, kami nggak akan mau. Kami lihat juga, sebanding nggak sih dengan pengorbanan.
Bimbim : Istilahnya, mengalah untuk menang.
Abdee : Secara tidak langsung, mimpi Slank adalah mimpi Slankers juga, Kebanggaan Slank terhadap Indonesia menjadi kebanggaan mereka juga. Kalau Slank bisa menembus pasar internasional itu akan menjadi kebanggaan penggemar kita. Itu tujuan akhirnya.
Ridho : Kami ini bertaruh lho… (Bersambung)
Foto-foto : Kelvin Oking & Dokumentasi Pribadi.
(Tulisan ini dimuat pertama kali di Majalah Rolling Stone Indonesia Edisi Maret, Mei 2008. Diunggah kembali secara bersambung di kamarmusik.id dalam rangka menyambut ulang tahun Slank ke-39, 26 Desember 2022)