Toyota Fortuner warna putih itu berhenti tepat di depan rumah musik Galeri Malang Bernyanyi (GMB) di Jalan Puncak Borobudur, Perum Griya Santa Blok G 407, Malang. Tiga perempuan setengah baya keluar disambut kilatan lampu kamera. Mereka adalah Titiek AR dan adiknya, Lies AR, serta Susy Nander, mantan personel Dara Puspita. Mereka hadir untuk memenuhi undangan Hengki Hermanto, pemilik GMB.
Pada kesempatan ini Lies AR menghibahkan dua potong kostum panggung miliknya untuk melengkapi koleksi di rumah musik tersebut. Busana yang pernah menjadi saksi sepak terjang dirinya pada lima puluh tahun lalu itu sengaja dibawa dari Belanda, tempat Lies AR kini bermukim sebagai warga negara sana. Sebuah kostum berwarna kombinasi merah dan putih yang mirip dengan yang pernah dikenakan Jimi Hendrix saat menjadi bintang Woodstock 1969.
“Ya kami menghibahkan baju yang sudah (berusia) 50 tahun. Baju ini selalu saya simpan karena biar sudah jelek tapi buat saya suatu kenang-kenangan. Baju itu kami bikin sewaktu di Bangkok tahun 1965. Sedang yang satu lagi bikin sendiri waktu di Eropa tahun 1970,” cerita Lies AR kepada Rolling Stone.
Mereka nampak ramah dan bersahaja, sabar melayani permintaan tanda tangan dan foto bersama. Sedikit pun tidak menampakkan bahwa pada lima dekade silam ketiga sosok inilah, bersama vokalis dan bassist Titiek Hamzah, yang telah menggegerkan dunia panggung dan rekaman. Hampir tak mungkin membicarakan musik Indonesia tanpa melibatkan nama Dara Puspita, band perempuan total generasi pertama di Indonesia. Penjualan albumnya selalu laris. Aksi panggungnya tak pernah sepi dari histeria.
Usia band ini tergolong singkat, hanya sekitar tujuh tahun. Namun dalam kurun waktu sependek itu mereka telah berhasil memetakan dirinya sebagai salah satu bagian terpenting musik Indonesia. Membuka mata dunia, setidaknya Eropa, bahwa negeri ini pernah memiliki band yang sangat berbakat baik di panggung maupun rekaman. Menginspirasi bemunculannya tren band sejenis seperti The Singers, Princess Tone, The Beach Girls, Antique Clique, dan banyak lagi.
Seperti ingin meneriakkan isu emansipasi, Dara Puspita berjingkrak dalam raungan irama rock & roll. Titiek Hamzah memperlihatkan kepada kita bahwa seorang pencabik bas tak harus selalu berada di garis belakang sebagai penjaga rhythm section. Ia tampil menyanyi di bibir panggung, menaklukkan penonton. Susy Nander memiliki pukulan sangat keras dan cepat. Peran yang kurang lebih sama dilakukan Lies dan Titiek AR yang juga bertindak sebagai komandan.
“Dara Puspita adalah band rock & roll terbaik yang pernah dilahirkan Indonesia,” tulis Steven Farram, dosen sejarah dari Charles Darwin University yang menaruh perhatian khusus pada sepak terjang band tersebut.
Pengakuan atas keberadaan Dara Puspita terus bergulir hingga kini. Pada 5 sampai 8 September 2015 lalu digelar pameran poster Dara Puspita bertempat di Groovers Paradise Record Shop, Austin, Texas. Berbagai foto keempat perempuan itu ditampilkan setelah diberi sentuhan aura psychedelic. Kegiatan apresiasi keliling dunia yang berlangsung sejak tahun lalu ini digagas oleh Sticky Fingers Art Prints Cambodia yang dimotori perancang grafis Julien Poulson. Pemusik muda ini adalah sosok di balik Cambodian Space Project, band rock psychedelic yang bermarkas di Phnom Penh.
Di Indonesia sendiri tidak begitu banyak informasi tentang mereka. Musikus generasi sekarang niscaya akan tergagap untuk menjelaskan siapa Dara Puspita, band yang kepopulerannya berhasil menembus batas tanah air.
Cikal bakal band ini terbentuk pada 1960 dengan nama Nirma Puspita. Kala itu Nirma Puspita hanyalah sebuah band yang biasa mengiringi penyanyi lain. Setelah banyak personelnya mengundurkan diri, yang tersisa adalah gitaris Titiek AR, gitaris dan vokalis Ani Kusuma (nama panggung Prasetiani), bassist Lies AR, dan penabuh drum Susy Nander. Namanya pun berubah menjadi Irama Puspita. Penyanyi keroncong senior Mus Mulyadi tercatat pernah menjadi salah satu pelatihnya. Namun keempat perempuan tanggung tersebut masih menyimpan mimpi untuk menjadi terkenal seperti halnya Koes Bersaudara, Arulan, Zainal Combo, atau Los Suita Rama.
Selanjutnya adalah takdir.
Ketika Koes Bersaudara dijadwalkan menggelar pertunjukan di Taman Hiburan Rakyat Surabaya pada April 1964, Titiek AR segera menggunakan modus lama: mendekati panitia penyelenggara untuk mendapat kesempatan tampil. Namun saat mendatangi Hotel Simpang tempat rombongan menginap, mereka justru mendapati empat lelaki tengah duduk-duduk di teras kamar hotel. Itulah Tonny Koeswoyo bersama adik-adiknya: Nomo, Yon, dan Yok.
Dibakar oleh pernyataan Tonny Koeswoyo bahwa band pengiring tak akan pernah bisa terkenal, keempat perempuan tersebut berbulat tekad untuk meninggalkan Surabaya. Berbekal tas kecil dan sedikit uang hasil dari menjual perhiasan, Titiek AR, Prasetiani, Lies AR, dan Susy Nander menggunakan kereta api Gaya Baru menuju Jakarta. Tiba di stasiun Gambir, keempatnya menumpang kendaraan seseorang hingga Bundaran HI untuk kemudian disambung oplet hingga kawasan Bulungan. Dari sana dengan berjalan kaki mereka segera mencari Jalan Mendawai III, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Inilah markas tempat Koes Bersaudara biasa berlatih. Kedatangan yang tiba-tiba ini jelas mengagetkan Tonny Koeswoyo beserta adik-adiknya.
“Bapak saya tidak tahu bahwa kami ke Jakarta. Kalau tahu pasti tidak boleh,” cerita Lies AR mengenang. Konon ibunyalah yang membantu “pelarian” ini dengan melepas gelang miliknya untuk bekal di perjalanan.
Nama besar Koes Bersaudara memang menjadi pintu masuk Irama Puspita menuju dunia yang lebih luas. Bukan saja sebatas penggunaan sarana berlatih tetapi juga pada pembinaan mental bagaimana menjadi anak panggung yang tangguh. Personel Koes Bersaudara punya panggilan unik untuk anak-anak Irama Puspita: monyet-monyet betina.
Fasilitas gratis yang diberikan grup musik kenamaan itu tidak disia-siakan oleh Titiek AR dan kawan-kawan untuk berlatih keras. Apalagi Tonny Koeswoyo sangat toleran dengan tidak mendikte karakter permainan. Bak dalam cerita novel, ada bunga di antara keseharian mereka, yakni tumbuhnya benih cinta di antara Yon Koeswoyo dan Susy Nander. Sebagai musikus muda dan terkenal, Yon termasuk personel yang paling sering diincar cewek. Ketika suatu hari Yon melirik perempuan lain, Tonny segera mengingatkan adiknya untuk tidak menyakiti Susy. Kabarnya peristiwa inilah yang mengilhami lagu “Andaikan Kau Datang”, terdapat pada album Koes Plus Volume 2. Belakangan lagu ini kembali dipopulerkan oleh Ruth Sahanaya.
Pada malam pergantian tahun 1965, Koes Bersaudara memberi kesempatan kepada Irama Puspita sebagai band pembuka mereka. Jeritan segera membahana ketika Prasetiani dengan lantang menyanyikan “No Reply” milik The Beatles. Itulah kali pertama Irama Puspita tampil di ibu kota. Lokasi pertunjukan saat itu adalah Kemayoran International Airport Restaurant, tempat hiburan paling bergengsi.
Sayang awal keberhasilan tersebut hanya seumur jagung. Setelah mampu membiayai hidup sendiri, Lies AR harus pulang ke Surabaya untuk menempuh ujian SMEA. Titiek AR mencari-cari pengganti adiknya dan bertemu dengan Hamziati Hamzah (kita mengenalnya dengan nama Titiek Hamzah), seorang multiinstrumentalis yang juga berbakat sebagai penulis lagu. Susy Nander mengenang personel baru ini sebagai sosok humoris, pintar menirukan suara orang lain, tetapi juga keras kepala.
Nama Irama Puspita tambah mencorong. Undangan tampil membanjir. Akan tetapi masalah baru juga muncul. Pertikaian antara Prasetiani dengan Titiek AR dan Titiek Hamzah berakhir dengan hengkangnya sang vokalis. Sempat terjun ke dunia perfilman, Prasetiani (belakangan lebih dikenal dengan nama Ani Kusuma), kemudian menekuni dunia musik lagi dan mendirikan The Beach Girls. Pengunduran dirinya memunculkan kembali peran Lies AR. Nama Dara Puspita muncul karena kesalahan panitia penyelenggara saat mereka tampil di Istora Senayan pada akhir Februari 1965.
“Tapi kami waktu itu ndak protes karena nama Dara Puspita lebih enak kedengarannya,” ungkap Susy Nander yang pernah mendapat gemblengan dari Jefrry Zaenal, penabuh drum Ariesta Birawa.
Dengan formasi terakhir ini Dara Puspita berkembang menjadi band menjanjikan. Kemauan keras, disiplin spartan, serta totalitas panggung menjadikan nama mereka jaminan suksesnya pertunjukan musik saat itu. Perlahan-lahan pamornya mulai menyusul Koes Bersaudara termasuk dalam soal bayaran. Mereka pun kerap tampil sepanggung.
Pada suatu hari Dara Puspita mengajak Koes Plus menghadiri pesta ulang tahun Salanti Bersaudara di bilangan Palmerah. Muncullah petaka itu. Beberapa saat setelah Dara Puspita membawakan “I Can’t Get No (Satisfaction)” milik The Rolling Stones, tiba-tiba sekelompok warga dibantu aparat kepolisian mendobrak pintu pagar. Tonny Koeswoyo dan adik-adiknya yang tengah kebagian tampil ditangkap, sementara Dara Puspita tidak. “Kami hanya diwajibkan lapor seminggu sekali,” kata Titiek AR.
Tanpa proses pengadilan, Jaksa Aruan SH menjebloskan seluruh personel Koes Bersaudara ke penjara Glodok (kini pusat pertokoan Harco) selama tiga bulan. Kabarnya mereka memang sudah lama diincar oleh Lekra, lembaga kebudayaan PKI. Merasa telah membuat susah, suatu hari Titiek AR berhasil menyelinap ke dalam penjara untuk menemui para mentornya.
Di tengah pergolakan suhu politik yang semakin memanas, sebuah tawaran datang untuk tampil di Bangkok selama tiga bulan. Sebuah sumber mengatakan bahwa peluang tersebut semula disiapkan untuk Koes Bersaudara, namun karena keburu dibui pilihan jatuh kepada Dara Puspita. Kebenarannya tentu saja masih dibuktikan. Yang pasti kesempatan ini terlalu sayang untuk diilewatkan.
Setelah pecah peristiwa G30S/PKI, Dara Puspita bertolak meninggalkan tanah air di pagi buta pada 1 Oktober 1965. Kabar kepergian mereka cukup menggemparkan. Bagaimana mungkin band yang usianya belum genap setahun, rekaman pun belum pernah, mampu mendapat kesempatan unjuk gigi di luar kandang? Namun semua keraguan atas diri mereka segera menguap saat Dara Puspita kembali ke tanah air dengan membawa seperangkat alat musik lengkap termasuk drum Premier milik Susy Nander. Titiek AR pun makin atraktif dengan Fender Stratocaster barunya.
Namun cerita sukses di Bangkok rupanya tak cukup menjadi senjata untuk membuka pintu perusahaan rekaman. Kedatangan Dara Puspita ditolak Mas Yos, nama akrab Soeyoso Karsono, bos perusahaan rekaman Irama dengan alasan mereka belum cukup pengalaman. Demikian pula dengan Remaco. Namun harapan muncul dari Dimita Moulding Industires/Mesra Record. Meski relatif masih baru, perusahaan rekaman piringan hitam milik Dick Tamimi ini memiliki studio rekaman serta percetakan sendiri. Perangkat rekamnya masih serba sederhana. Ada tape recorder Presto dan Ferrograph Mono. Untuk monitor digunakan Pioneer tabung. Mixer-nya sendiri adalah hasil rakitan Dick Tamimi dan tentu saja output-nya mono. Tak kalah sederhana yakni sampul album yang digarap Imam Kartolo, kakak kandung Rahmat Kartolo, pelantun “Patah Hati” yang legendaris itu.
Album debut Jang Pertama dirilis pada Maret 1966. Sebanyak 500 cakram piringan hitam ludes terjual dalam waktu singkat. Dalam catatan Handiyanto berjudul Mengenang Dara Puspita 1965–1972, tiras penjualan Jang Pertama menjangkau angka 25 ribu keping, sebuah pencapaian fantastis bahkan untuk zaman sekarang. Handi adalah sosok yang menjalankan fungsi manajerial Dara Puspita.
Sumbu ledak album tersebut adalah “Surabaja” ciptaan Rachman A, sound engineer Dimita. Liriknya mengangkat semangat kepahlawanan seraya mengajak negeri ini untuk tidak begitu saja melupakan peristiwa heroik di ibu kota Jawa Timur tersebut pada 10 November 1945. Isu lokal itulah yang menjadikan “Surabaja” sangat ikonik, baik untuk Dara Puspita maupun untuk kota kelahiranya. Titiek AR mengaku bangga bahwa lagu tersebut hingga kini masih berkumandang di stasiun kereta api kota kelahirannya.
Menurut Susy Nander, “Surabaja” sebenarnya hanya tambahan. Pada saat proses rekaman berlangsung, mereka kekuarangan satu buah lagu untuk melengkapi materi yang sudah ada. Rachman A lantas mengusulkan ciptaannya yang sebelumnya pernah dibawakan oleh penyanyi May Sumarna. Dara Puspita langsung mengiyakan tanpa menduga sama sekali lagu itu akan meledak.
Namun masih terdapat amunisi lain yang membuat Jang Pertama hingga kini diburu para kolektor, antara lain “Mari-Mari” ciptaan Titiek Puspa dan “Kenangan Indah”, sebuah karya kolaborasi Tonny Koeswoyo dengan Dara Puspita.
Dua album berikutnya, Special Edition dan Green Green Grass, mengulang sukses album pertama. Dari sisi kualitas rekam jauh menunjukkan kemajuan. Asal tahu saja, hubungan kerja antara pemusik dan perusahaan rekaman ini sama sekali tidak didasari oleh surat kontrak yang berkekuatan hukum. Semuanya berlangsung atas dasar prinsip kekeluargaan.
Dengan empat album rekaman dan rata-rata laris terjual, nama Dara Puspita segera menjadi rebutan promotor. Nyaris tidak ada pertunjukan yang sepi jika sudah melibatkan keempat cewek yang memiliki aksi panggung sangat atraktif ini. Pada Juli 1968, band yang namanya tengah menjulang itu menerima tawaran keliling Eropa selama satu tahun penuh dan bahkan dapat lebih lama dari itu jika penampilan mereka dianggap berhasil. Pengundangnya tak lain adalah Wilhelm Butz Production, sebuah impresario yang bermarkas di Baldham, Munchen, Jerman Barat.
Sejak penandatanganan kontrak dengan Wilhelm Butz, Dara Puspita mulai mengurangi frekuensi pertunjukan, menolak tawaran manggung, dan terutama menutup rapat-rapat rencana keberangkatan ini dari publik. Hingga menjelang Agustus 1968 muncul pemberitaan di surat kabar tentang sebuah band Indonesia yang mengadakan lawatan keliling Eropa. Bukan cuma penggemar beratnya yang dibuat ternganga, tetapi juga kalangan pemusik. Pada saat itu pemusik yang tampil di luar kandang masih terhitung dengan jari, di antaranya yaitu The Peels, AKA, dan The Rollies.
Murdono saat itu memimpin keberangkatan. Ayah pengusaha Subronto Laras ini sebenarnya pemilik rumah kontrakan yang ditempati oleh Dara Puspita. Penunjukannya sebagai manajer lebih didasari oleh penguasaannya akan bahasa Inggris, Jerman, Perancis, dan Belanda. “Dia yang menjadi penerjemah dan penasihat kami,” kata Titiek AR.
Tiba di Teheran, kota pertama dalam lawatannya, Dara Puspita mendapat kesempatan menghibur keluarga Syah Reza Pahlevi. Orang nomor satu Iran ini terlihat sangat menyukai lagu “Burung Kakak Tua”.
Namun dalam perjalanan menuju Jeman dan Belgia kesulitan menghadang rombongan. Minimnya pemahaman tentang iklim pertunjukan di luar negeri dari para personel serta ketiadaan pengalaman Murdono dalam manajemen band segera mencemplungkan mereka ke dalam pusaran masalah. Jika di Indonesia kehadiran mereka selalu dielu-elukan, kali ini tak ada seorang pun yang mengenalnya. Tidak ada lagi tim mengurus segala tetek bengek keperluan panggung maupun latihan. Kini segalanya harus dikerjakan sendiri. Titiek AR, Titiek Hamzah, Lies AR, dan Susy Nander memasang dan membongkar peralatan panggung, dan itu harus dilakukan dengan serba cepat. Tidak jarang ini berlangsung di bawah tatapan mata penonton, padahal beberapa saat sebelumnya mereka terlihat jejingkrakan. Mereka sungguh tidak siap menghadapi peralatan ngadat, kabel putus, dan lain sebagainya.
Memang berat medan yang harus dijalani Dara Puspita. Saat mengisi acara di Jerman dan Belgia misalnya, tak jarang mereka harus tampil dua kali di tempat pertunjukan berbeda dengan jarak 80 km. Kondisi ini memaksa mereka untuk bongkar pasang alat dalam waktu sesingkat-singkatnya. Pertengkaran demi pertengkaran mulai mewarnai keseharian mereka. Satu sama lain saling tuding. Puncaknya terjadi saat Murdono jatuh sakit yang mengharuskan dirinya pulang ke Indonesia.
Sendirian di negeri orang tanpa pimpinan rombongan membuat seluruh anggota Dara Puspita frustrasi. Kini segala sesuatunya harus dilakukan sendiri. Tak ada lagi penerjemah, jadwal makan makin tidak teratur, sementara udara beku dan sisa tur masih enam bulan lagi. Namun semua kesulitan ini berbanding terbalik dengan pencapaian pertunjukan yang rata-rata menuai sukses. Itulah sebabnya ketika kontrak berakhir Mr Butz memberi opsi kepada Dara Puspita: memperpanjang kontrak dengan bayaran dinaikan dua kali lipat termasuk liburan ke Eropa Barat selama dua minggu plus rekaman album atau mengakhiri kontrak kerja sama dengan risiko Dara Puspita pulang ke Indonesia atas biaya sendiri. Ternyata mereka memilih putus kontrak.
Rupanya diam-diam Dara Puspita telah menjalin kesepakatan dengan promotor dari London Little, King & Hubbard Music. Belakangan baru disadari bahwa isi kontrak dengan King berpotensi sangat merugikan pihak Dara Puspita. Artinya, Dara Puspita menerima honor jauh lebih kecil daripada yang diberikan Wilhelm Butz Production. Kendati demikian dalam periode inilah Dara Puspita berkesempatan mengganti seluruh peralatan musiknya menjadi lebih lengkap dan modern. Ada yang sedikit unik. Di Inggris nama Dara Puspita diganti menjadi Tikki-Takki-Susy-Leese. Titiek AR mengaku tidak begitu ingat kenapa terjadi perubahan nama. Namun dalam catatan Mengenang Dara Puspita 1965–1972 tadi jelas tercantum bahwa usulan tersebut justru datang dari dirinya
Pada suatu hari sepulang dari keliling Belgia, Perancis, dan Spanyol, kabar buruk menjemput. London Little, King & Hubbard Music telah dibubarkan. Setelah menjalin komunikasi dengan sejumlah agen lokal di Belanda, Dara Puspita kembali melanjutkan tur.
Perjalanan panjang selama tiga setengah tahun keliling Eropa memberi banyak pengalaman berharga. Keempat perempuan polos itu perlahan menjelma menjadi pemusik tangguh. Di Belanda, Dara Puspita merekam ulang lagu “Surabaja” dalam lirik bahasa Inggris. Berbeda dengan versi asli, kali ini aransemennya amat kental dengan warna etnik Jawa. Bagi telinga orang asing, progresi nada seperti ini adalah sebuah daya tarik. Penjualan single yang beredar di bawah label Decca Records terhitung sukses. Itulah sebabnya pihak Decca Records lantas menawarkan pembuatan album penuh, namun rupanya kerinduan akan tanah air sudah begitu menggumpal. Dara Puspita akhirnya memilih pulang.
Pada 3 Desember 1971 pukul 22.10, band yang mengharu biru Eropa selama tiga setengah tahun itu mendarat di Kemayoran International Airport. Nampaknya kepulangan ini tak serta merta memberi mereka kesempatan untuk benapas. Keesokan harinya, di tengah rasa lelah oleh perjalanan dan faktor perubahan cuaca yang membuat stamina rontok, Dara Puspita telah disodori kontrak untuk berkeliling Indonesia. Itu tidak termasuk rencana pertunjukan di Istora Senayan pada 18 dan 19 Desember. Padahal peralatan yang dibawa masih dalam perjalanan. Akibatnya, meski jumlah penonton membludak Dara Puspita tidak bermain maksimal.
Beberapa hari setelah pertunjukan yang menuai pujian dan kritik tersebut, barulah peralatan seberat enam ton yang diangkut dengan menggunakan kapal Sam Ratulangi tiba di Jakarta. Dara Puspita kembali perkasa di atas panggung. Tetapi perpecahan semakin nyata di pelupuk mata. Titiek Hamzah mengundurkan diri.
Titiek AR masih berkutat mempertahankan nyawa grupnya dengan merekrut bassist Yudith Manoppo untuk mengisi kekosongan serta Dora Sahertian pada keyboard. Selain sebagai instrumentalis berbakat, keduanya memiliki karakter vokal yang kuat. Formasi baru dengan nama Delima Puspita ini sempat muncul di TVRI namun tidak mampu bertahan lama. Lies AR yang telah berkeluarga hengkang ke Belanda dan menjadi warga negara sana.
Berempat, Titiek AR memutuskan jalan terus dengan mengganti nama Delima Puspita menjadi Dara Puspita Min Plus. Formasi ini melahirkan satu buah album di bawah label Indra. Uniknya, tujuh dari sepuluh lagu di dalamnya adalah ciptaan Titiek Hamzah. Sebagai personel, baru Yudith dan Dora nampak berusaha keras mengimbangi kematangan permainan Titiek AR dan Susy Nander. Secara musikalitas album ini menunjukkan kemajuan. Aransemen vokal pun terdengar lebih hidup. Lagu “Apa Arti Hidup Ini” dan “Berangkat Pulang” termasuk komposisi yang paling menonjol.
Meski sempat mengadakan tur ke sejumlah kota, toh napasnya sulit dipertahankan. Apalagi masing-masing personel sibuk berkarier solo. Di penghujung 1972, Dara Puspita dibubarkan.
Titiek AR yang tidak ingin karier musiknya ikut kandas segera bergabung dengan Daughters Of Zeus, kelompok musik Top 40 asal Australia. Sekali lagi dia mengelilingi Eropa ditambah Afrika selama kurang lebih dua tahun. “Awalnya Daughters Of Zeus membawakan lagu-lagu disko, tapi lalu saya kasih tahu bagaimana seharusnya membawakan musik untuk show,” cerita Titiek AR.
Sementara itu Titiek Hamzah nampaknya masih penasaran dengan band yang telah membesarkan namanya. Pada 1974, bassist yang sangat produktif menulis lagu ini kembali masuk dapur rekaman bersama Susy Nander yang ketika itu telah menetap di Bontang. Dengan hanya dua anggota, album Pop Melayu dirampungkan lewat perusahaan Remaco. Inilah jejak terakhir Dara Puspita.
Lima belas tahun kemudian, tepatnya pada 1987, spirit Dara Puspita pernah coba dihidupkan lewat kelompok Adarapta (akronim Anak Dara Puspita) bentukan Titiek Hamzah. Ia merekrut Titi DJ, Atiek CB, dan Endah Soebroto untuk menerjemahkan ulang sebelas lagu lagu Dara Puspita. (*)
“Lebih Enak Main di Indonesia”
Terpisah selama puluhan tahun tidak mampu memutus hubungan emosional ketiga mantan personel Dara Puspita. Kakak beradik Soedarmiyati (Titiek AR) dan Soetisnowati (Lies AR) yang bermukim dan menjadi warga negara Belanda berusaha untuk secara teratur pulang ke kampung halamannya di Mojokerto. Kesempatan itu selalu dimanfaatkan untuk bertemu dengan Susy Nander (Sugen) yang menetap di Sidoarjo. “Kalau kami pulang Susy selalu datang dan menginap di rumah saya,” kata Titiek AR. “Biasanya kalau Titiek pulang suka bikin acara musik di rumahnya. Nyanyi-nyanyi begitulah,” tambah Susy.
Nama Dara Puspita memang sudah lama terkubur dalam ingatan. Namun keinginan untuk menghidupkan kembali macan panggung tahun 1960-an ini seperti tak pernah pudar. Kepada Rolling Stone mereka berbagi cerita tentang peristiwa penggerebekan Palmerah yang berakhir dengan dijebloskannya Koes Bersaudara ke penjara Glodok, serta hubungan unik dengan perusahaan rekaman. Dan tentu saja aktivitas mereka sekarang.
Anda setiap tahun pulang ke Mojokerto?
Titiek AR: Ya, boleh dibilang begitu. Kemarin sempat ke Malang diundang GMB (Gema Malang Bernyanyi). Terus sempat menyanyi-nyanyi sedikit. Mengharukan, he-he.
Sampai sekarang masih aktif bermusik?
Titiek: Kalau di Holland sih iya masih. Nama bandnya Stand By. Dulu anggotanya berlima, sekarang cuma berdua. Biasanya kami main di pesta-pesta ulang tahun. Mainnya sering pada hari Jumat atau Sabtu.
Jenis musik apa yang dimainkan?
Titiek: Ya musik pop begitulah. Biasanya main di pesta ulang tahun atau pernikahan.
Susy: Di kompleks rumah saya ada studio latihan. Kalau lagi kangen memukul-mukul sebulan sekali biasanya saya ke situ barang satu dua jam.
Kenapa Dara Puspita harus dibubarkan?
Titiek: Lies (AR) kan ke Holland, menikah. Sayang sih, tapi saya kan masih terus main.
Lies: Kami sudah berumur dan ingin sendiri. Waktu itu Titiek Hamzah mulai jatuh cinta. Saya juga, ha-ha!
Faktor apa lagi penyebab bubarnya Dara Puspita?
Titiek: Enggak tahu ya, he-he. Saya sendiri sudah lupa. Mungkin perjanjiannya memang begitu. Mungkin sudah perjanjian, kalau pulang dari Eropa kita bubar saja…
Susy: Karena waktu itu kan Lies (AR) dan Titiek Hamzah menikah duluan.
Apakah benar karena sistem keuangan yang tidak transparan?
Titiek: Enggak benar . Siapa yang ngomong itu? Nggak pernah.
Susy: Itu sebenarnya nggak ada.
Lies: Kalau soal keuangan sih nggak ya.
Apakah sangat sulit menghidupkan Dara Puspita?
Titiek: Sebetulnya kalau kami bertiga (Titiek AR, Lies AR, Susy Nander) tidak keberatan. Cuma ada satu yang nggak mau, yang berpikir lain, [bahwa] kalau sudah bubar ya bubar saja. Nggak usah diteruskan.
Yang dimaksud adalah Titiek Hamzah?
Titiek: Ya. Pertimbangannya kalau sudah bubar ya bubar saja. Biar anak cucu yang mengenang. Kalau saya tidak masalah. The Rolling Stones saja sudah tua masih main, he-he.
Susy: Beberapa waktu lalu saya nonton di televisi, The Who juga masih main terus.
Lies: Kalau dari saya, Titiek AR, dan Susy hal itu memungkinkan tapi yang susah kan Titiek Hamzah. Sayang, mungkin dia selalu sibuk. Padahal dulu dia yang mengajak reuni.
Susy: Sekitar tahun 2007 saya dan Lies sempat ke Jakarta dan bertemu Titiek Hamzah. Waktu itu dia bersedia reuni tapi tapi maunya langsung di tempat yang besar seperti di Istora. Padahal supaya orang mengingat kembali Dara Puspita kan bisa dengan cara lain. Misalnya lewat (wawancara) radio.
Setelah Dara Puspita bubar dan menetap di Belanda, apa saja kegiatan Anda?
Titiek: Saya pernah bergabung dengan band dari Australia, Daughters Of Zeus. Kami sempat keliling Jerman lalu tur ke Eropa sampai Afrika selama kurang dua tahun. Awalnya saya kurang senang di band ini karena musiknya apa ya…seperti lagu-lagu night club begitu lho. Lalu saya kasih tahu ke teman-teman bagaimana kalau tampil untuk show.
Susy: Saya tinggal di Dumai dan aktif main untuk band Pertamina selama lima tahun. Lalu dihubungi Titiek Hamzah untuk rekaman (album) pop melayu. Dari sana pindah ke Bontang selama 17 tahun. Saya bermain untuk band perusahaan dan gereja.
Bisa cerita waktu pertama kali rekaman?
Titiek: Album Jang Pertama itu rekamannya malam terus. Jadi kami pun sampai terkantuk-kantuk. Kenapa harus malam ya? Mungkin karena sepi. Kalau sekarang kan tidak perlu begitu ya?
Susy: Waktu itu kami kekurangan satu lagu, lalu Om Rachman A (sound engineer) menyodorkan ciptaannya berjudul “Surabaja”. Sebelumnya lagu itu sudah pernah dinyanyikan oleh May Sumarna cuma nggak booming. Om Rachman meminta kami membawakan lagi. Katanya, “Dari pada kamu cari-cari lagu lagi. Kebetulan kalian orang Surabaya.” Kami manut saja. Latihannya cuma dua kali kok, langsung rekaman.
Titiek: Begitu ya? Lupa saya, he-he. Sampai sekarang kalau naik kereta api turun di (stasiun) Surabaya pasti masih diputar. Terus terang saya bangga sekali.
Benarkah selama berada di bawah label Dimita Moulding Industries tidak ada perjanjian kontrak sama sekali?
Titiek: Nggak ngerti. Saya kok lupa. Mungkin karena masih terlalu muda jadi tidak memikirkan soal itu. Yang penting senang. Kami tak terlalu memikirkan duit, he-he- he.
Lies: Benar, nggak pernah ada kontrak antara Dara Puspita dengan Dimita. Waktu itu Om Dick Tamimi (pemilik perusahaan rekaman Dimita) dan Om Rachman yang menolong dan memercayai kami. Padahal kami masih baru mulai dan nggak punya alat. Kami nggak akan pernah lupa atas kebaikan mereka.
Kalau pembayaran royalti, dapat?
Titiek: Sepertinya dapat tapi tidak banyak juga. Kami dulu sering tur. Jadi pendapatan terbanyak dari situ. Kalau dari rekaman sih tidak banyak.
Bisa cerita seputar penggerebekan di Palmerah yang berakhir dengan ditangkapnya Koes Bersaudara?
Susy: Kami sempat main tapi nggak sampai ditahan, hanya disuruh wajib lapor seminggu sekali. Tapi Koes (Bersaudara) ditahan. Mungkin karena lagu The Beatles itu.
Waktu itu Dara Puspita menyanyikan lagu apa saja?
Susy: Waduh, saya lupa. Pokoknya campuran, Indonesia iya barat juga iya. Kalau Koes Bersaudara membawakan “I Saw Her Standing There”.
Titiek: Kami waktu itu membawakan ini lho…[bersenandung lagu I Can’t Get No (Satisfaction) dari The Rolling Stones]. Yang dilarang kan lagu The Beatles. Kalau The Rolling Stones nggak apa-apa.
Lies: Saya kebetulan nggak ikut karena sudah pulang ke Surabaya.
Di atas panggung Dara Puspita sangat atraktif. Band mana saja yang memberikan inspirasi?
Titiek: Lho, itu kami sendiri. Pokoknya lagu yang akan dibawakan seperti apa kami langsung menyesuaikan diri. Tidak ada inspirasi dari band mana pun. Begitu tahu lagunya kami langsung ke podium.
Susy: Kami biasanya spontan kok.
Masih menyimpan Fender Stratocaster yang dulu dibeli di Jakarta?
Titiek: Masih ada dong. Sekarang disimpan di Tropenmuseum, Amsterdam. Disewa. Mereka menginginkan sekali gitar itu. Saya sebetulnya keberatan karena gitar itu menyimpan banyak kenangan. Tapi [mereka] menjanjikan jaminan asuransi kalau terjadi apa-apa. Mudah-mudahan tidak hilang ya? Jadi gitar itu dipajang mulai 16 Oktober sampai Maret tahun depan.
Pernah mencoba merek lain?
Titiek: Tidak pernah. Waktu itu saya beli lagi tapi mereknya sama.
Pertimbangannya?
Titiek: Enak sekali dipakainya. Nggak sakit.
Lies: Kostum kami nanti akan dipajang juga. Mereka mengambil baju lama yang sudah cacat karena dipakai. Untuk museum ini sangat berharga sebab baju itu mempunyai [nilai] sejarah. Mereka rupanya heran kenapa pada 1960 di negara Indonesia ada band perempuan. Baju yang dipinjam adalah punya saya sebab saya selalu menyimpannya untuk kenang-kenangan.
Benarkah gitar Burns warna putih yang digunakan Tonny Koeswoyo itu milik Anda?
Lies: Ya, waktu itu baru menikah mau pindah ke Holland dan gitar itu tidak saya bawa karena (bagasi) hanya boleh 20 kilo. Lalu dijual hanya saya nggak tahu kalau yang beli itu Mas Tonny. Tetapi saya senang gitar itu berada di tangannya.
(Gitar yang dimaksud bisa Anda temukan pada sampul album Koes Plus Volume 8).
Anda mengoleksi gitar apa saja?
Lies: Aduh, saya sering gonta-ganti gitar sebab waktu tur ke Eropa sering disimpan di mobil. Eh, hilang!
Bagaimana suka duka sewaktu keliling Eropa?
Susy: Sepertinya lancar-lancar saja.
Titiek: Saya sebenarnya kurang senang bermain di sana. Kalau main harus semalaman. Main satu bulan di tempat yang sama, terus terang itu berat buat saya. Di Indonesia enak, kalau show paling satu jam. Kalau pun penonton minta tambah paling jadi satu setengah jam.
Tapi kan sesuai dengan pendapatan?
Titiek: Soalnya kami masih bodoh. Dengar Eropa sudah senang, ya berangkat. Semua ditanggung, hotel dan sebagainya. Tapi makan bayar sendiri. Makanya kami beli kompor kecil untuk masak di hotel, padahal kan tidak boleh. Soalnya di Eropa susah ketemu nasi. Yang repot kalau main di kota kecil. Makannya kentang terus sampai bosan. Nggak ada tahu tempe, he-he. Tapi kalau main di Belanda senang. Cari makanan lebih gampang. Semua ada. Nggak tau, pokoknya di sana lebih menyenangkan.
Benarkah Syah Iran sangat menyukai “Burung Kakak Tua” yang dibawakan Dara Puspita?
Susy: Ya, kami pernah diundang ke sana. Waktu itu rajanya masih Syah Reza Pahlevi. Nah, ada anaknya yang sedang berulang tahun dan Dara Puspita membawakan lagu “Burung Kakak Tua” . Itu kebetulan saja, kami juga nggak mengerti kok tiba-tiba harus main di sana.
Titiek: Oh ya, pernah diundang main di sana. Waktu itu main berdua bersama band dari Inggris. Nggak tahu juga kok main di sana. Agen dari Eropa yang mengurus. Kami tahunya main saja, ha-ha!
Pernah sepanggung dengan band terkenal?
Titiek: Dulu di Belanda pernah main dengan George Baker Selection.
Benarkah Dara Puspita pernah dibayar lebih mahal The Tielman Brothers?
Titiek: Wah, nggak betul itu. Siapa yang bilang? Dulu kami di Eropa malah dapatnya sedikit sekali. Belum mengerti apa-apa. Pokoknya asal dengar Eropa, wis!
Susy: Tidak juga. Kami kan sudah dikontrak dan terima honor setiap bulan. Ya sepertinya tidak pernah. Semua diurus agen. Tidak betul berita itu. Dara Puspita selama keliling Eropa menggunakan sistem kontrak. Kecuali waktu di Indonesia, baru setiap habis show kami terima bayaran.
Apakah lingkungan Anda sekarang mengenal Anda sebagai pemain drum Dara Puspita?
Susy: [Tertawa] Yah kalau ibu-ibu arisan umumnya tahu. Teman-teman di gereja juga.
Masih sering mengingat masa kejayaan Dara Puspita?
Titiek: Masihlah, he-he. Kadang kalau nonton band terkenal (main) di Eropa dan mendapat sambutan meriah, kami dulu juga pernah begitu. Saya tidak mungkin lupa pengalaman dengan Dara Puspita.
Susy: Masih dong. Saya sering SMS-an dengan Lies dan Titiek AR di Holland. Bertanya-tanya kabar. Kalau mereka pulang ke Mojokerto kami bertiga bertemu. (*)
Sepuluh Tembang Terbai Dara Puspita
Menelaah sebuah lagu hampir tidak mungkin dilepaskan dari konteks sosial budaya bahkan pencapaian teknologi yang melahirkannya. Tolok ukurnya sering harus berangkat dari sebuah toleransi. Dara Puspita lahir dan besar dalam periode tahun 1960-an, ketika subkultur pop masih sangat tergantung pada informasi yang datang dari Barat. Wajar jika beberapa ciptaannya terdengar banyak memiliki kemiripan dengan karya milik pemusik yang saat itu tengah mendunia seperti The Beatles, The Rolling Stones, Creedence Clearwater Revival, atau Little Richard. Ada yang sekadar mengambil inspirasi, dan ini lumrah dilakukan oleh musikus mana saja. Ada juga yang secara telak mengadopsi secara telanjang tanpa melalui filter kreatif. Salah satu hit terbesar mereka, “Mari-Mari”, termasuk dalam kategori terakhir.
Dengan pertimbangan di atas, lagu tersebut tidak kami masukan ke dalam sepuluh karya abadinya.
- “Surabaja”
Progresi nada lagu ini nyaris datar tanpa hook yang lumrah menjadi daya tarik sebuah komposisi. Aransemen sepertinya terlepas dari konteks semangat perjuangan. Heroisme baru terlacak pada saat menyimak penggalan liriknya yang menuntun kita ke situasi berdarah-darah di masa revolusi fisik. Lagu “Surabaja” dirilis pada 1965, saat Indonesia baru terkoyak oleh persitiwa G30S/PKI. Temanya menjadi pemicu yang melambungkan nama Dara Puspita sebagai band wanita Indonesia paling diperhiitungkan hingga saat ini. Pada 1972 “Surabaya” direkam ulang dalam versi bahasa Inggris.
- “Pantai Pataya”
Riff yang diulang-ulang secara tanpa sadar menjadi racun sehingga lagu bertempo medium ini sangat mudah untuk diingat. Gitar dan bas menghadirkan rally dari intro hingga koda. Riang. Menggoda. Tapi juga kurang memberi ruang pada bebunyian perkusi untuk berimprovisasi. Inilah ‘oleh-oleh’ sepulang mereka keliling Bangkok untuk melakukan serangkaian pertunjukan. Temanya sangat ringan, sekadar menggambarkan keindahan pantai yang ‘letaknya di ujung kota’, yang debur ombaknya dilukiskan sebagai ‘mutiara putih’. Setelah “Surabaja”, inilah karya klasik Dara Puspita yang paling sering diingat orang.
- “Pesta Pak Lurah”
Teriakan para personel Dara Puspita di tengah pukulan drum yang menderu-deru jelas bukan hal yang lumrah. Diambil dari album Dara Puspita Spesial Edition (1966), artinya lagu ini direkam ketika pertumbuhan dunia musik Indonesia masih sangat sederhana dan karenanya lagu ini telah melakukan lompatan pada zamannya. Sebuah ekspresi keliaran yang belum pernah dilakukan oleh band perempuan Indonesia mana pun hingga hari ini.
- “Musafir Cinta”
Titiek AR mulai memunculkan efek delay meski terdengar masih sangat sederhana. Susy dan Titiek Hamzah tidak banyak membuat variasi dan karena itu lebih mudah untuk menangkap kekompakan permainan mereka. Judul lagunya menggambarkan kekhasan zaman itu, yakni memaksimalkan setiap kata untuk merebut empati. Sekarang mungkin kedengarannya berlebihan.
- “Bandung Selatan”
Tidak terlalu banyak mengeksploitasi bebunyian, namun tetap memperlihatkan adanya keberanian dalam memasukan unsur pop ke dalam karya musikus besar yang sudah dianggap sakral ini. Dalam konteks Dara Puspita, “Bandung Selatan” menjadi terasa istimewa karena selalu dibawakan dalam setiap pertunjukan selama melakukan lawatan ke Eropa. Alasannya: lagu ini sangat efektif untuk memperkenalkan Indonesia di mata internasional.
- “Ba Da Da Dam”
Aransemen vokalnya mungkin yang terbaik dari seluruh lagu yang pernah dibuat Dara Puspita. Kemampuan musik para personilnya semakin terasah. Beberapa tikungan nada muncul dengan wajar, sama sekali tidak dipaksakan.
Ini single yang dirilis saat mereka berada di Inggris dan beredar melalui CBS Records.
- “Soal Asmara”
Diciptakan khusus untuk Dara Puspita, lagu ini memperlihatkan bahwa Titiek Puspa semakin mengenal karakteristik para personelnya. Jika menyimak liriknya dengan saksama maka akan terbayang keseharian mereka. Keriangan tema ditangkap melalui ekspresi yang penuh kejenakaan. Cabikan bas Titiek Hamzah banyak berkontribusi dalam memaksa kaki kita untuk mengentak.
- “A Go Go”
Untuk band yang terbiasa memainkan irama rock & roll klasik, lagu ini terdengar cukup istimewa. Titiek AR berusaha memasukan pengaruh blues di tengah sinkop yang dibuat oleh rhythm section Susy Nander-Titiek Hamzah. Bercerita tentang sebuah jenis tarian yang tengah populer ketika itu. Bagi alam pemikiran yang masih sederhana, liriknya hampir mirip sebuah ajakan untuk memasuki dunia hedonis.
- “Apa Arti Hidup Ini”
Tidak seperti umumnya lagu Dara Puspita yang cenderung berirama riang, “Apa Arti Hidup Ini” berwarna balada. Liriknya menceritakan kegalauan sebuah hati. Ujung-ujungnya sih bicara cinta. Namun setidaknya dari konsep aransemen terlihat adanya upaya untuk mengimbangi tren. Duet vokal Dora Sahertian-Titiek AR berhasil meletakkan lagu ini sebagai salah satu karya penting dalam perjalanan kreatif Dara Puspita.
- “Berangkat Pulang”
Seluruh instrumen seakan berlomba menyuarakan keriangan yang bersumber pada lirik. Mudah ditebak, lagu ini ditulis menjelang kepulangan Dara Puspita ke tanah air dari lawatannya di Eropa. Permainan ketat Yudith Manoppo pada bas diimbangi kocokan gitar Titiek AR melahirkan bebunyian energetik yang menggelitik. Lalu ada sinkop di bagian interlude untuk menghindari aransemen lagu ini dari kesan datar. ‘Siasat’ ini cukup menjadikan “Berangkat Pulang” salah satu daya tarik album album Dara Puspita Min Plus. Liriknya sederhana dan jernih. (*)
*) Dimuat pertama kali di Majalah Rolling Stone Indonesia, edisi Oktober 2015
Catatan : Judul asli tulisan ini adalah “Betina Macan Panggung” yang merupakan bagian dari enam buah tulisan yang menjadi cover story Majalah Rolling Stone Indonesia edisi bulan Oktober. Ada pun judul “Raksasa Musik Indonesia Yang Terlupakan adalah” merupakan judul utama pada sampul. Saya ubah mengikuti judul terakhir agar maknanya tidak keluar dari konteks. Terima kasih.