Kamarmusik.id – Perjalanan karirnya ibarat buku berisi coretan realitas. Mereka hadir di setiap peristiwa sosial maupun politik negeri ini melalui lirik lagu-lagu yang sarat kritik. Setelah mengalami jatuh bangun, lembar demi lembar kehidupannya kemudian terlihat penuh warna. Dari sekelompok pemuda tanggung yang dianggap tak punya masa depan, terlibat perseteruan antar personil, terjerumus dalam obat-obatan terlarang, melahirkan belasan album rekaman, hingga menjelma sebagai ikon rock n’ roll.
Semua diraih lewat kesetiaan pada pilihan: bernafas dengan musik.
Didirikan pada 1983 oleh Bimo Setiawan Almaczhumi, nama lengkap Bimbim (lahir di Jakarta 25 Desember 1966), bersama sepupunya, Denny A Ramadhan, Slank merupakan kelanjutan dari Cikini Stone Complex, band yang anggotanya terdiri dari para pelajar SMA Perguruan Cikini, Jakarta. Bimbim adalah sosok anomali dalam tradisi anak band yang biasanya menampilkan vokalis sebagai front man. Ia mengendalikan Slank dari balik set drum yang mengurung tubuh kurusnya. Jika silsilah keluarganya dirunut, ia merupakan cucu Dr. H. Soemarno Sosroatmojo, gubernur Jakarta pertama di era pemerintahan Soekarno.
Tahun-tahun pertama Slank ditandai bongkar pasang personil yang menjadikan band ini menyerupai terminal. Musisi datang dan pergi. Almarhum Nita Tilana dan Imanez, eks Metal Crew, pernah menjadi bagian dari proses bongkar pasang pemain. Seseorang bisa pindah posisi sesuai kebutuhan. Denny, misalnya, menjadi vokalis formasi ke-7 setelah empat tahun memainkan bas.
Sementara gitaris pertama Slank, Bongky, mengundurkan diri pada 1987 dan baru muncul kembali dua tahun kemudian. Namun saat itu sudah ada dua gitaris, Pay dan Jaya, sama-sama eks Navy Punk. Ia lantas mengisi kekosongan pemain bas yang ditinggalkan Imanez karena bersolo karir. Belakangan, Jaya mendirikan band sendiri: Roxx.
Denny sendiri setelah “turun panggung” pada 1988 kini mempimpin PT Pulau Biru Indonesia, manajemen yang mengurus segala aktivitas band tersebut.
Slank baru terlihat solid pada formasi ke-13 dengan bergabungnya Akhadi Wira Satriaji alias Kaka (vokal, lahir di Jakarta 10 Maret 1974)dan Indra Qadarsih (keyboard). Kaka sebenarnya personil Lovina yang juga beranggotakan Massto, adiknya Bimbim. Ia dipinjam dalam rangka pembuatan album pertama Slank. Ternyata keterusan sampai sekarang. Sementara Indra adalah personil Chivas bersama Andi Liany.

Gentayangan dari panggung ke panggung selama tujuh tahun, karir Slank mulai menampakkan titik cerah pada saat bertemu Boedi Soesatio, produser Proyek Q. “Sebagai musisi muda, mereka itu kreatif,” komentar Boedi. Mereka pun bekerjasama. Boedi Soesatio bertindak sebagai label.
Atmosfir rock ‘n roll dan blues yang menjadi referensi musik Slank terbingkai oleh kekaguman mereka pada The Rolling Stones. Antara lain bisa disimak lewat pola permainan Bimbim yang kerap mengadopsi gaya Charlie Watts. Begitu pun pemilihan tema lagu. Slank memotret sisi kelam dunia remaja seperti pengangguran (“Memang,” Suit-Suit…Gadis Sexy, 1990), minuman keras (“Bali Bagus,” Kampungan, 1991), kemacetan Jakarta (“BMW”, Piss, 1993), atau korupsi (“Birokrasi Complex,” Generasi Biroe, 1995).
Ketika menyaksikan bersama-sama konser the Rolling Stones di Perth, pada ’90-an, Pay yang duduk di samping saya nyaris menitikkan air mata. “Gila, dewa gue nih! Gara-gara mereka gue jadi musisi. Sekarang ada di depan mata!”
Pemilihan tema seputar persoalan akar rumput yang disampaikan melalui kalimat lugas menjadikan Slank pahlawan bagi generasi yang terbuang. Pangsa pasar musik mereka jelas masyarakat kelas bawah. Empat album pertama berhasil menyabet penghargaan BASF Awards untuk kategori Best Selling Album. Ini belum termasuk perolehan dari AMI (Anugerah Musik Indonesia), MTV Indonesia Music Awards, dan World Peace Awards.
Fenomena kehadiran Slank lebih pada pemberontakannya atas kaidah bahasa Indonesia. Lirik lagu-lagunya menggunakan idiom keseharian. Terasa amburadul jika dikaitkan pada struktur kalimat yang baik dan benar, namun memiliki kedekatan emosi, terasa efektif untuk menyampaikan pesan moral tertentu.
Kemasan fisik album adalah bentuk kebengalan yang lain. Perhatikan saja Minoritas (1996). Lirik lagu dicetak terbalik, Anda terpaksa harus menghadapkannya ke arah cermin terlebih dahulu untuk dapat membaca isinya.
Susunan lagu pada sampul album Tujuh (1997) dibuat secara acak, tak mengikuti urutan di dalamnya. Tentu ini bukan kesalahan teknis sebab di situ terdapat catatan: ini bukan urutan lagu. Album Slow But sure (2007) bahkan memberikan bonus celana dalam, menyusul kondom pada album sebelumnya.
Dengan segala spontanitas dan kejujurannya, perlahan-lahan Slank mulai membangun imperium. Kediaman Bunda Iffet, orang tua Bimbim di jalan Potlot III no 14, Duren Tiga, Jakarta Selatan, disulap menjadi markas. Di sana kehidupan berjalan serba permisif. Musisi, penggemar, penyelenggara acara, datang dan pergi silih berganti tanpa kenal waktu. Tak ada filter. Slankers tidak hanya membawa secarik kertas untuk ditandatangani, atau sekadar curhat masalah pribadi – yang kerap menjadi inspirasi sebuah lagu. Tetapi juga ganja dan minuman keras.

“Dulu orang datang membawa ganja bisa segini,” cerita Bunda Iffet menadahkan kedua telapak tangannya untuk memperlihatkan betapa liar penggunaan ganja di jalan Polot. Slank pun terseret jauh. Uang hasil jerih payah rekaman dan konser ludes di tangan bandar. Denny berang dan memutuskan keluar dari orbit Potlot.
“Gue merasa dibohongi sama mereka. Bilangnya cuma minum-minum, nggak taunya make narkoba. Gue nggak terima.” Ia kemudian bekerja sebagai karyawan Bursa Efek Jakarta.
Sepeninggal Denny, manajemen Pulau Biru Indonesia terlantar. Didera kejenuhan bermain musik, Slank memutuskan istirahat dari kegiatan manggung dan rekaman. Akan tetapi dalam masa vakum itu tersiar kabar Bimbim dan Kaka menyiapkan materi baru.
“Ini solo album gue dengan bantuan Kaka,” ujar Bimbim ketika itu.
Namun Bongky, Indra dan Pay menuduh mereka ingkar janji. Pertikaian pun pecah menjadi perang terbuka. Bongky diberhentikan oleh Bimbim melalui selembar surat. “Gue dipecat dari Slank,” katanya saat itu pada saya sambil memperlihatan surat yang dimaksud. Yang lain idem dito.
Hingga kini penyebab perpecahan tetap menjadi misteri karena masing-masing memiliki versi sendiri-sendiri. Belakangan, tiga nama terakhir itu membentuk BIP (Bongky, Indra, Pay). Bimbim sempat berpikir untuk membubarkan Slank, namun seorang Slankers mengirim sepucuk surat yang ditulis dengan tetesan darah. Isinya mengancam akan membunuh Bimbim jika ia membubarkan band itu. Keterlibatan dengan narkoba dan kisah perpecahan sesama personil merupakan episode paling chaos dalam sejarah karir Slank.
Kepergian Bongky, Indra, dan Pay ternyata diikuti pula oleh mereka yang biasa nongkrong di jalan Potlot seperti Oppie Andaresta, Imanez serta Dade, pemain bas BOP (Bandnya Oppie). Markas Slank perlahan-lahan berubah sunyi senyap.
Bimbim dan Kaka rupanya terlanjur basah. Materi album yang semula diklaim sebagai album solo tadi akhirnya dirilis menggunakan bendera Slank (Lagi Sedih, 1996). Direkrutnya Reynold (gitar) dan Ivanka (bas), eks Flash.
Reynold dikenal gitaris yang taat beribadah. Keseharian Slank yang rock ‘n roll segera membuatnya ciut. Ia menghilang ketika Slank menanda tangani kontrak untuk manggung. Bunda Iffet hanya menerima kabar pengunduran Reynold melalui ibunya. “Alasannya, Reynold takut dirinya ikut-ikutan terseret narkoba,” kenang Bunda.
Dalam keadaan panik, Slank mencari pengganti Reynold dari mulut ke mulut. Ivanka menyodorkan gitaris Flash, Abdee Negara (lahir di Donggala 28 Juni 1968). Pada saat audisi muncul pula Mohammad Ridwan Hafiedz (lahir di Ambon 3 September 1973), belakangan akrab dipanggil Ridho Slank.
Merasa tak cukup waktu, kedua gitaris tersebut langsung di ujicoba sekalian memenuhi kontrak tadi. Mereka tampil di Bandung, September 1997. Itulah pemunculan pertama duet Abdee-Ridho. Keduanya lantas diangkat sebagai personil karena Slank kebingungan menentukan pilihan.
Bak mendapat suntikan darah baru, formasi “kecelakaan” ini tampil segar dan lebih fashionable. Meski tetap mengetengahkan isu politik seperti “PR SI-SUM,” secara fisik tak ada lagi kaos lusuh atau jins butut robek-robek. Lagu “Balikin” yang bertema pop berhasil melambungkan kembali pamor Slank yang sebelumnya diramalkan bakal rontok.

Sepanjang karir mereka pemilihan tema lagu tak pernah beranjak jauh dari isu sosial dan politik. Ketika tuntutan reformasi meletus yang memakan korban jiwa sejumlah mahasiswa Trisakti dan memaksa Presiden Soeharto lengser, Slank mendokumentasikannya dalam Matahati Reformasi (1998). Dua lagu di antaranya, “Missing Person (Trend Orang Hilang)” dan “Aktor Intelektual” jelas memperlihatkan persentuhan dengan peristiwa bersejarah tersebut.
Namun “Punk Java,” lagu berdurasi 1 menit 18 detik, layak diberi perhatian khusus karena memperlihatkan reformasi dalam musikalitas Slank. Berbeda dengan “H.A.M Burger” (album Minoritas) yang juga mengetengahkan irama etnik jawa, kali ini Slank mempertemukan kultur timur dan barat tanpa harus ada salah satu yang dikalahkan. Tradisi jawa nan gemulai tampil enerjik dalam balutan irama punk.
Lagu “Orkes Sakit Hati” (album 1999), upaya penjelajahan musikalitas yang lain, termasuk salah satu karya penting. Bukan karena menyajikan tingkat kesulitan bermain, melainkan lebih pada keikhlasan mereka dalam mengeksploitasi irama Melayu. Saat itu Slank adalah band rock Indonesia terbesar. Membawakan lagu Melayu yang jauh dari distorsi gitar membutuhkan keberanian tersendiri. Namun alih-alih dianggap melacur, “Orkes Sakit Hati” malah menjadi salah satu hit yang wajib dibawakan di atas panggung.
Berhasil merilis 15 album studio dan 5 album live, eksistensi Slank kini seperti tak terbendung. Dengan penggemar berjumlah puluhan ribu, mereka adalah kekuatan yang diperhitungkan oleh banyak pihak, termasuk pihak keamanan. Beberapa konsernya berakhir dengan tawuran, sehingga band ini identik dengan kerusuhan. Tak ada satu pun lagu Slank memprovokasi perbuatan anarkis.
Kekerasan dalam konteks pertunjukan mereka adalah konsekuensi logis dari strata masyarakat bawah yang mereka jadikan segmentasi. Inilah sebuah komunitas yang setiap harinya kelelahan menghadapi beban hidup, kemudian berusaha menemukan pelepasan melalui penampilan sang idola. Sedikit gesekan dengan mudah menyulut perkelahian.
Tragedi tewasnya 11 penonton dalam konser musik underground di Bandung, 9 Februari lalu, memberikan sebuah “bonus.” Kabarnya biaya keamanan mereka, yang sebelumnya sudah berbeda dari band lain, kini semakin mahal.
Kegigihan Slank dalam menentang korupsi dan nepotisme menjadi magnet bagi para tokoh politik dan agama untuk bergantian mengunjungi markas mereka, termasuk Kontras, KPK, Amien Rais dan seterusnya. Banyak pihak mencemaskan Slank akan terseret arus kepentingan politik. Namun Kaka memandangnya sederhana saja. “Mereka datang baik-baik. Ya, kami terima.” (Bersambung).
Foto-foto : Kelvin Oking & Dokumentasi Pribadi.
(Tulisan ini dimuat pertama kali di Majalah Rolling Stone Indonesia Edisi Maret, Mei 2008. Diunggah kembali secara bersambung di kamarmusik.id dalam rangka menyambut ulang tahun Slank ke-39, 26 Desember 2022)
