Giant step menawarkan identitas ke tengah masyarakat pencinta musik dengan mengetengahkan ciptaan sendiri. Sebuah langkah berisiko tidak populer mengingat persoalan jati diri masih merupakan barang mahal saat itu. Toh, mereka berhasil merebut simpati publik lewat permainan kompak di atas panggung, di hadapan penonton yang melongo karena tidak akrab pada lagu-lagunya. Ketika banyak band di tanah air cenderung menjadi cover version Black Sabbath, Led Zeppelin, Grand Funk atau Deep Purple, mereka justru bermain di wilayah progresif rock.
“Dengan membawakan lagu-lagu ciptaan sendiri kami ingin membuktikan kecintaan pada tanah air,” kata Benny Soebardja sekitar tahun 1985. Ia adalah vokalis, gitaris, penulis lagu sekaligus pendiri. Atau dalam bahasa Triawan Munaf, pemain keyboard, vokalis, dan penulis lagu, “Sejak awal kami ingin tampil beda dari grup lain.”
Itulah heroisme a la musisi. Sebuah keakuan yang melahirkan sikap respek di kalangan musisi seangkatannya. Secara berseloroh orang tua Sherina itu mendeskripsikan spirit tampil beda dalam kehidupan sehari-hari. Tak ada seorang pun personel Giant Step terlibat penggunaan narkotika. Beberapa di antaranya bahkan tak merokok. Padahal paradigma sex, drugs, and rock ‘n roll nyaris melingkupi kehidupan musisi rock kala itu.
Di puncak kejayaannya, Giant Step dan progresif rock merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Menurut Albert Warnerin, gitaris dan pencipta lagu, formula itu lahir secara alamiah dikarenakan latar belakang kedekatan masing-masing kepada jenis musik tersebut. Sebelum bergabung, Albert personel inti Gang Of Harry Roeslie, kelompok eksperimental paling kondang di Bandung.
“Di rumah Kang Harry (Roeslie) banyak piringan hitam band progresif seperti Frank Zappa atau Gentle Giant. Saya jadi terbiasa dengerin musik seperti itu hampir setiap hari,” katanya.
Triawan Munaf seorang penggemar berat Genesis, ELP, Jethro Tull dan sebagainya. Benny Soebardja malah telah memainkan jenis musik psychedelic sewaktu masih tergabung dengan Shark Move, band yang dibentuknya bersama almarhum Soman Loebis (keyboard), Janto Diablo (bas), Sammy Zakaria (drum) dan Bhagu Ramchand. Band ini disebut-sebut sebagai pengusung aliran progrock generasi pertama di Indonesia.
Sayang, tidak bertahan lama. Setelah merilis Ghede Chokra’s (1970), Soman Loebis memilih bergabung dengan God Bless. Benny yang merasa kesulitan mencari penggantinya terpaksa membubarkan Shark Move. Setahun kemudian ia membentuk Giant Step bersama Deddy Stanzah (bas), Zammy Zakaria (drum) dan Yockie Suryoprayogo (keyboard) yang baru dipensiunkan dari God Bless.
Tahun 1972 Soman Loebis, mahasiswa Institut Teknologi Bandung itu, meninggal bersama Fuad Hasan (drummer God Bless) dalam sebuah kecelakaan sepeda motor di bilangan Pancoran, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Peristiwa nahas ini, entah kenapa, membawa perubahan mendasar pada formasi Giant Step. Yockie kembali memperkuat God Bless. Posisinya digantikan Deddy Dores. Pada saat hampir bersamaan muncul Adhy Sibolangit, eks bassis Minstrell’s. Ia mengisi kekosongan pemain bas karena Deddy Stanzah memilih bersolo karir. Sammy Zakaria pun mundur digantikan Janto Soejono, sebelumnya personel Freedom Of Rhapsodia. Belakangan Albert Warnerin turut pula bergabung. Benny Soebardja merespons masuknya nama terakhit ini dengan menerapkan konsep dobel gitar. Mereka biasa berlatih di jalan Lengkong Kecil, Bandung, tak jauh dari lokasi kantor majalah Aktuil. Pemilik tempat latihan seorang pengusaha Bus Bintang bernama Yayan.
Melalui formasi ketiga ini lahir Mark I (1975) yang masih memperlihatkan proses pencarian bentuk. Meski terdapat beberapa nomor keras yang memperlihatkan pengaruh Deep Purple atau ELP, namun lima buah lagu ciptaan Deddy Dores cukup mendominasi. Masing-masing “Hancurnya Sebuah Harapan,” “Hati Yang Luka,” “Cintaku Untukmu,” “Hay Manusia,” dan “Cinta Terhina.” Fakta mencatat sejak dulu Deddy Dores adalah pakar lagu-lagu mellow.
“Strategi dagang Dores dari dulu memang seperti itu. Kalau mau melihat sosoknya sebagai rocker, ya harus di panggung,” ujar Benny mengomentari kelima lagu tadi.
Giant Step baru unjuk gigi pada album kedua, Giant On The Move (1976), setelah Triawan Munaf dan Haddy Arief bergabung menggantikan Deddy Dores yang hengkang diikuti Janto Soejono. Keduanya eks personel Lizzard, proyek solo Benny Soebardja dengan Bhagu Ramchand. Album ini seperti ingin menafikan faktor komersil yang biasa didiktekan para produser rekaman. Berisi sembilan lagu dan seluruhnya berbahasa Inggris, durasi setiap lagu-rata-rata di atas lima menit. “Air Pollution” yang berdurasi 8 menit 09 detik, misalnya, berbicara masalah lingkungan, isu yang sama sekali tidak populer. Atau “Waste Time” yang penuh sinkop dan cukup sulit diapresiasi oleh telinga awam. Menurut Albert Warnerin, lagu-lagu seperti itu memberikan celah untuk mendemonstrasikan kekompakan mereka di atas panggung. Salah satu yang paling sering dibawakan adalah “Decision.” Lagu berdurasi 7 menit 19 detik ini kerap menjadi ajang pameran skill.
Melalui Giant On The Move-lah terbentuk pencitraan Giant Step sebagai kelompok musisi yang memiliki integritas. Mereka dianggap palang pintu Jawa Barat, setelah The Gang Of Harry Roeslie, dan kerap dipertemukan dengan band besar dari kota lain seperti God Bless atau AKA. Namun sukses memberi mereka dua sisi mata pedang. Pemilihan tema serius dan aransemen cenderung njlimet menjadikan lagu-lagu Giant Step sulit menembus tangga lagu karena umumnya dianggap tidak radio hit. Saat itu karya musisi pop seperti Favourite’s Group, The Mercy’s atau D’lloyd-lah yang mendominasi. Band rock seperti God Bless, AKA atau Rhapsodia pun memasukkan unsur pop ke dalam album mereka. Giant Step bergeming. Satu-satunya dukungan datang dari radio Oz Bandung. “Itu pun karena saya dulu bekerja sebagai programmer di sana,” cerita Albert suatu sore di kantor Rolling Stone.
Kondisi ini semakin lengkap dikarenakan manajer Giant Step saat itu, Gandjar Suwargani, adalah pemilik radio swasta tersebut. Uniknya, pada saat di pegang oleh Gandjar Suwargani wilayah pertunjukan lebih terkonsentrasi di Jawa Barat saja. Padahal, menurut Albert, sebelumnya Giant Step justru lebih sering tampil di luar Jawa Barat. Banyak yang mengasosiasikan nama Albert Warnerin sebagai akronim ‘Allah Berkati Terus Warga Negara Indonesia.’ Bahkan dalam sebuah Apresiasi Jazz di TVRI, Kepra yang saat itu bertindak sebagai hostmenjadikan teka-teki ini sebagai salah satu materi quiz. Benarkah namanya berasal dari singkatan? “Yang tercantum di KTP saya adalah nama itu. Saya kan tidak mungkin menolak nama pemberian orang tua,” lelaki kelahiran Bukttinggi itu terkekeh. Setelah Gandjar Suwargani, manajer berikutnya Denny Sabri Gandanegara, salah seorang pendiri majalah Aktuil. Denny, putera pertama Sabri Gandanegara, wakil gubernur Jawa Barat periode 1966 – 1974.
Saat itu dia bos Denies International Inc. yang bergerak di bidang artis manajemen. Superkid adalah artis pertama yang bergabung di sana. Terdongkraknya popularitas Giant Step sedikit banyak disebabkan oleh peran Denny di majalah tadi. Ia menyediakan peralatan musik. Albert merupakan gitaris Bandung pertama yang mengusung gitar dobel neck di atas panggung. Gitar merk Gibson warna putih itu membuatnya terlihat lebih gagah. “Tapi sangat merepotkan juga karena berat sekali,” katanya.
Denny Sabri yang pernah bermukim di Hamburg dan bersahabat dengan Deep Purple kerap berceloteh tentang solo gitar Ritchie Blackmore. Sebagai front man, Benny sudah tentu terinspirasi untuk meningkatkan penampilan. Keterbatasan media informasi memaksa dirinya mengerahkan imajinasinya agar dapat membayangkan aksi sang dewa gitar. “Padahal sebenarnya nggak tahu juga apakah gaya Ritchie Blackmore memang seperti yang dia ceritakan? Satu-satunya informasi waktu itu hanya TVRI. Jadi, saya percaya saja, he-he!” Pancapaian Giant On The Move kemudian berkembang pada Kukuh Nan Teguh (1977). Triawan Munaf melakukan eksperimen dengan memasukan elemen diatonis kedalam “Mekar.” Lagu ini seolah jawaban atas eksperimen Guruh Gipsy yang setahun sebelumnya merilis album progresif dengan memadukan elemen pentatonis.
Eksistensi Guruh Gipsy dan Giant Step akhirnya menjadi semacam perlawanan kreatif terhadap dominasi musik pop yang cenderung mengikuti selera pasar. Langkah yang menyeret-nyeret musik etnik belakangan dilakukan Krakatau dan Gong 2000. Album Giant On The Move dan Kukuh Nan Teguh merupakan puncak pencapaian artistik Giant Step. Tak seorang pun berani menyangkal inilah dua masterpiece yang tidak akan pernah lekang oleh waktu. Kasetnya kini menjadi ajang perburuan para kolektor. Tak percaya? Sekali-kali luangkan waktu Anda ke jalan Surabaya, Jakarta Pusat. Seorang pedagang kaset dan CD bekas di sana menyebut angka Rp 250.000 untuk salah satu judul di atas. Namun pamor yang mencorong ternyata tak berbanding lurus dengan kehidupan personelnya. Proses pendewasaan telah menumbuhkan mereka pada realitas bahwa profesi sebagai anak panggung tak menjanjikan apa pun kecuali keangkeran jati diri. Apalagi saat itu kondisi musik rock di tanah air mulai meredup, gelegar panggung kian sepi.
Triawan Munaf, misalnya, melihat ‘kegelapan” tengah bersembunyi di balik nama besar Giant Step. Masa depan tak bisa disandarkan pada aplus atau pun pujian media cetak. Alumnus Universitas Parahyangan ini dengan berat hati menyatakan mundur dari kelompok yang telah memberinya ruang untuk berekspresi. Ia berangkat ke London untuk memperdalam studi periklanan. Langkahnya kemudian diikuti Haddy Arief, kini bekerja sebagai eksekutif di sebuah bank swasta di Jakarta. “Apa boleh buat, kondisi saat itu mengharuskan saya berpikir ulang kalau mau terus di musik.” Pengganti Triawan adalah Erwin Badudu, putera Yus Badudu, pengasuh rubrik Bahasa Indonesia di TVRI. Formasi baru ini melahirkan Persada Tercinta (1978).
Terjadi pergeseran konsep musik menjadi lebih ngepop. Salah satu lagu yang sempat populer saat itu, “Bingung” ciptaan Soman Loebis, merupakan daurulang dari Ghede Chokra’s. Albert Warnerin dapat memahami pengunduran diri teman-temannya. Ia melihat lemahnya hubungan kerja antara band dengan produser sebagai hal serius dan mengkhawatirkan. Tidak seperti jaman sekarang di mana kontrak rekaman terdiri atas sejumlah aturan yang mengikat kedua belah pihak, saat itu keadaannya sangatlah longgar. Sebuah band dengan mudah dapat berpindah-pindah label tanpa harus cemas dikenai sangsi. Sebaliknya, produser pun dapat seenaknya menduplikasi album tanpa ada keharusan memberikan tranparansi karena saat itu yang berlaku adalah sistem flat pay (jual putus).
Pertikaian antara Bimbo dengan pemilik perusahaan rekaman Remaco tentu masih menyisakan luka industri rekaman. Hal itu pula yang mendorongnya turut angkat kaki pada tahun yang sama. Albert bertekad menyelesaikan kuliahnya di Universitas Pajajaran Bandung jurusan Hukum yang selama ini terbengkalai karena kesibukannya bersama Giant Step dan Gang Of Harry Roeslie. Fenomena hubungan antara band dengan produser rekaman tadi kemudian ia jadikan topik disertasinya.
Di Bandung nuansa pertemanan antar musisi sedemikian kental. Seseorang memiliki lebih dari satu band bukan soal aneh. Albert, Triawan dan Erwin Badudu, contohnya, dalam waktu bersamaan pernah terlibat dalam pembuatan album Harry Roeslie, Tiga Bendera (1977). Album solo Benny Soebardja, Give Me A Piece Of Gut Rock (1976), musiknya dikerjakan sekaligus oleh personel Giant Step dan Lizzard. Albert Warnerin bahkan masih memiliki kegiatan dengan Trio Bimbo. Waktunya sungguh tersita. “Jangan tanya kapan lulus karena saya nyaris jadi mahasiswa abadi,” katanya mengenang. Kepergian Albert, Triawan, dan Haddy Arief tidak mampu menyurutkan semangat Benny. Berbagai cara ditempuh untuk mempertahankan eksistensi bandnya. Antara lain dengan merekrut adiknya, Harry Soebardja, untuk menggantikan posisi Albert Warnerin, serta mantan drummer Brother Hood bernama Tommy sebagai pengganti Haddy Arief.
Formasi keenam ini berturut-turut melahirkan Tinombala (1979) dan Volume III (1980). Inilah periode muram di mana Giant Step mulai dilupakan publik. Nyaris tak ada satu pun karya yang memiliki daya saing terhadap membanjirnya para pendatang baru. Nama Giant Step perlahan-lahan menghilang. Benny Soebardja banting stir sebagai pengusaha furnitur. Triawan Munaf, sekembali dari London pada 1981, sempat bekerja di biro iklan Fortune sebelum kemudian memimpin AdWork. Dua tahun terakhir ini dia duduk sebagai Penasihat Komunikasi KPK (Komunikasi Pemberantasan Korupsi). ErBadudu mengabdikan hidupnya pada pelayanan rohani sebagai pendeta. Albert Warnerin bekerja di sebuah perusahaan swasta. Ia membentuk Big City bersama, antara lain, Donny Suhendra (gitar), Mates (bas) dan Nadjib Kertapati, eks Rasela (keyboard). Band session ini memainkan blues setiap Jumat malam di B’bs, Menteng, Jakarta.
Pemiliknya seorang teman lama Albert. Sudah sepuluh tahun ia sebagai pengisi acara. “Saya diberi kebebasan tampil di sana. Sampai bosan.” Adalah Benny Soebardja yang pada 1984 berusaha menghidupkan kembali Giant Step. Ia berhasil mendapatkan kontrak rekaman sebanyak dua album dari JK Records, label spesialis penyanyi wanita berwajah licin. Mengumpulkan teman-temannya dimana situasi telah jauh berubah memerlukan kesabaran tersendiri. Alber Warnerin, Erwin Badudu, dan Triawan Munaf menyambut ajakan tersebut. Tapi Adhy Sibolangit dan Haddy Arief absen. Kandidat akhirnya jatuh pada Jelly Tobing dan Uce F Tekol eks New Rollies.
Dari sejumlah materi yang direkam di Dian Studio, kawasan Jelambar, Jakarta Barat, tersirat keinginan untuk mengembalikan citra yang pernah mereka genggam. Hal ini tersimak lewat beberapa lagu semisal “Panggilan Jiwa,” “Lagu Perdamaian,” atau “Sisa Hari Ini” yang tetap mempertahankan konsep progresif meski tak lagi sekental dulu. Perjalanan waktu rupanya tak sepenuhnya berhasil menggerus kemampuan mereka untuk menghasilkan karya-karya yang patut diperhitungkan. Jelly Tobing yang berpengalaman mendukung sejumlah band antara lain C’Blues, Minstrell’s dan Superkid, memerlukan transisi terlebih dahulu untuk dapat menyesuaikan diri. “Membawakan lagu-lagu Giant Step harus pandai menahan emosi. Gue nggak bisa main hajar,” guraunya waktu itu. Menjelang rekaman selesai, Judhy Kristanto, produser JK Records, meminta materi yang lebih komersil – sebuah permintaan wajar dan masuk akal diajukan produser musik kita.
Tetapi bagi sebuah band yang terbiasa memainkan musik konseptual seperti Giant Step, permintaan si bos cukup bikin repot. Mereka dihadapkan pada situasi sulit karena pihak label menolak mengedarkan album tersebut jika tidak tercapai kompromi. Benny sendiri kali ini tak satu pun melahirkan lagu. Triawan Munaf lantas bernisiatif membuat lagu dadakan: “Geregetan.” “Lagu itu nggak sampai satu jam saya bikin,” ia tersenyum mengingat proses penciptaannya. Strategi merebut pasar dengan menjadikan “Geregetan” sebagai andalan rupanya meleset. “Lagu Perdamaian” ternyata lebih sering diputar di radio-radio. Kenyataan ini mendorong pihak JK Record untuk segera mengubah judul album namun tetap tak menolong. Diluncurkan tahun 1985, Geregetan menjadi anti klimaks dari perjalanan karir sekelompok musisi yang pernah memiliki sikap tegas dalam bermusik. Kini nampaknya kita harus menyimak kembali Giant On The Move atau Kuh Nan Teguh untuk dapat memahami bahwa pada suatu masa Kota Bandung pernah melahirkan sebuah band dahsyat bernama Giant Step. (*)
Benny Soebardja, Energi Itu
Oleh Denny MR |
Giant Step tergolong band yang paling sering ganti formasi. Dari sejumlah musisi yang keluar masuk, hanya ada satu nama tetap bertahan, yaitu Benny Soebardja, sang pendiri. Ia mengawali karir musiknya tahun 1966 bersama The Peel’s yang beraliran pop. Meski cukup dikenal di kawasan Jawa Barat, band ini justru menghasilkan debut albumnya di Singapura, The Peel’s By Public Demand In Singapore (1967). Saat itu The Peels berkesempatan ambil bagian dalam acara Panggung Negara di Negeri Singa tersebut.
Berkat penampilannya, Benny dan teman-teman menerima undangan main di berbagai tempat. Antara lain National Theatre, Hotel Singapura Intercontinental, Wisma House, dan tentu saja TV setempat. Setelah Soman Lubis bergabung, The Peel’s menambah repertoar dengan memainkan lagu-lagu dari Jimi Hendrix dan John Mayall & The Bluesbreaker. Tahun 1968 The Peel’s pulang ke Indonesia setelah sebelumnya merampungkan album mini Selamat Tinggal Singapura. Di tengah kesibukannya sebagai frontman Giant Step, ia menggagas album solo berjudul Give Me A Peace Of Gut Rock (1977). Album ini merupakan kelanjutan kerjasama Benny Soebardja dengan Bob Dook, seorang warga negara Inggris yang dikenal lewat kakaknya. Kolaborasi Benny-Bob sudah berlangsung sejak debut album Mark I, dan berlanjut melalui Lizzard. Ketika pamor Giant Step surut, Benny telah menyiapkan karir solo. Ia merilis Night Train (1977). Namun langkah yang berhasil melambungkan namanya adalah saat mendukung Lomba Cipta Lagu Remaja Prambors 1978. Karakter vokalnya yang telah memberi napas pada dua buah lagu pemenang lomba, “Sesaat” (Harry Sabar) dan “Apatis” (Inggrid Wijanarko).
Sampai sekarang, kedua lagu tersebut masih sering terdengar melalui sejumlah radio. Setahun kemudian berturut-turut meluncur “Setitik Harapan” (1979) dan “Lestari” (1980). Ia menyelesaikan kuliahnya di fakultas Pertanian UNPAD Bandung, 1979. Gelar master diraihnya beberapa tahun kemudian disela kesibukan manggung dan rekaman. Nama Benny Soebardja kembali menjadi pemberitaan saat terlibat perseteruan dengan Rhoma Irama. Entah bagaimana muasalnya, tiba-tiba saja ia diisukan telah menghina musik dangdut, yang menyebabkan raja dangdut itu murka dan menantangnya duel dalam satu panggung. Belakangan, saat kedua superstar itu akhirnya bertemu, baru ketahuan mereka bersaudara. Sama-sama dari Tasikmalaya, Jawa Barat.
Setelah aktivitasnya di musik surut, Benny Soebardja segera mengembangkan bisnis furnitur melalui bendera Bents. Usahanya berkembang pesat. Pertengahan April lalu ia bertolak ke London untuk meresmikan showroom Bents di Crystal Palace. Sementara itu setiap tahun penggemar Queen dan The Beatles ini rajin mengikuti Tong Tong Fair di Denhaag, yang telah diikutinya sejak 12 tahun lalu. Ia semacam pasar malam. Di sana ia membuka Pondok Sate Betawi. Sambil menggelar jajanan, ia dapat mengunjungi putera sulungnya, Anggara Rhabenta Ramadutya Nalendra (23), mahasiswa Design Graphic Binus yang tengah mengambil program master di Netherland dan kini memasuki tahun terakhir. Talenta musiknya menurun pada Rama Nalendra Soebardja (22), si bungsu yang mahir memainkan gitar, drum dan piano.
Bersama sejumlah teman yang tergabung dalam Idealego, Rama kini tengah menyiapkan album rekaman. Tampaknya Benny ingin mempertahankan klan Soebardja dalam industri musik dengan mendukung sepenuhnya kegiatan Rama. Maklum, dua orang adiknya telah terjun lebih dulu mengikuti jejak sang kakak. Mereka adalah Harry Soebardja, eks personel Lizzard, Giant Step dan Rawerontek, serta Lina Soebardja. Benny Soebardja sosok yang tak bisa diam. Kegiatannya seabrek. Sekali waktu pernah kena batunya. Ia menerima undangan tampil sendirian di Jakarta, sementara di saat bersamaan Giant Step harus tampil di Bogor.
“Saya ingat ketika itu Kang Gandjar bawa mobil menuju Bogor kayak orang kesetanan,” kata Benny yang berencana menghidupkan kembali Shark Move. Pada kesempatan lain, saat berlangsung promosi album Geregetan di TVRI, ia bahkan tidak muncul hingga acara selesai. Dalam keadaan panik, Triawan Munaf mengambil inisiatif menggantikan posisinya. “Akhirnya saya menyanyi sambil pura-pura memainkan gitar,” kenang Triawan.
Lantas, di mana Benny Soebardja berada saat itu? Anda tak akan pernah mendapat jawaban karena Benny sendiri kebingungan ketika Triawan Munaf menanyakan hal itu, saat keduanya bertemu pada pekan kedua Februari lalu. Pertanyaan terlontar setelah 23 tahun! “Memangnya Giant Step pernah muncul tanpa saya?” Triawan Munaf tersenyum kecut. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menyeruput minuman. (*)
*) Dimuat pertama kali di Majalah Rolling Stone Indonesia, edisi Mei 2008