Panggung musik rock Indonenia setidaknya pernah mengenal dua trio tangguh : SAS dan Superkid. Yang pertama beranggotakan Soenatha Tanjung (vokal, gitar, harmonika), Arthur Kaunang (vokal, bas, piano) dan Syech Abidin (vokal, drum). Ketiganya jarang tersentuh pemberitaan media cetak kecuali aksi panggungnya dalam memainkan memainkan jenis musik rumit dari ELP (Emerson, Lake & Palmer). Sedangkan yang kedua beranggotakan Deddy Dorres (vokal, gitar, keyboard), Deddy Stanzah (vokal, bas, harmonika) dan Jelly Tobing (vokal, drum). Kehidupan personilnya selalu menjadi konsumsi publik karena beragam kontroversi yang mereka ciptakan.
Kedua trio ini kerap bertemu satu panggung. Dengan dibumbui persaingan yang menjadi gaya publikasi khas saat itu, SAS dan Superkid seolah merupakan kata kunci untuk bisnis pertunjukan yang selalu menyedot penonton. Isu adanya sabotase yang dilancarkan pihak-pihak tertentu menjadi hal jamak. Pernah dalam sebuah pertunjukan bas drum Jelly Tobing jebol sehingga mengakibatkan pedalnya tidak dapat kembali ke posisi semula. Bagi seorang drummer, ini peristiwa fatal mengingat hubungannya dengan dinamika sebuah lagu. Namun personil Superkid rata-rata telah memiliki jam terbang tinggi. Accident barusan tak sampai mempengaruhi konsentrasi Stanzah dan Dorres untuk tetap bermain maksimal. Usai pertunjukan, Jelly mengaku melihat bekas goresan pisau pada kulit bas drumnya. Ia juga melihat serbuk garam bertebaran di atas karpet merah yang menjadi alas set drumnya. Adakah hubungannya dengan peristiwa nahas tadi? Walla hualam.
Berbeda dengan SAS yang terbentuk akibat perpecahan dalam tubuh AKA, terbentuknya Superkid digagas oleh almarhum Denny Sabri, wartawan Aktuil, majalah musik terkemuka terbitan Bandung yang dikenal dekat dengan kalangan pemusik.
“Terus terang pada awalnya saya terinspirasi oleh supergrup luar seperti ELP dan Grand Funk Railroad,” ujarnya ketika suatu hari saya mewawancarainya untuk pembuatan buku Sepuluh Tokoh Showbiz. Ia bahkan menggunakan salah judul album Grand Funk Railroad, All The Girls In The World Beware! sebagai materi publikasi. Tentu dengan otoritas di tangannya ia bebas mengekspos secara besar-besaran sepak terjang artis orbitannya tersebut. Di hampir setiap penerbitan Aktuil cerita tentang Superkid seperti tak ada habisnya. Apalagi keseharian para personilnya memang akrab dengan nilai-nilai sensasi.
Deddy Stanzah seorang berpenampilan karismatik. Gayanya yang khas sulit ditiru pemusik mana pun, meski jika mau jujur sebenarnya tidak orisinal benar. Seperti kita ketahui, Stanzah adalah seorang pengagum berat Mick Jagger. Dalam kelompok Rollies, dialah satu-satunya personil yang mampu mengimbangi kegilaan Bangun Sugito. Keduanya sama-sama atraktif, sama-sama berambut kribo, dan sama-sama menjadi budak narkotik. Mereka kerap kali teler di tengah berlangsungnya pertunjukan Rollies. Cuma nasib yang kemudian membedakan. Gito dipertahankan setelah menunjukkan usaha keras untuk lolos dari perangkap iblis itu, sementara Stanzah dipecat karena disiplinnya dianggap sudah sangat payah.
Deddy Dorres tidak disangsikan lagi perannya dalam membesarkan Rhapsodia. Ia bergabung pada 1969 menyusul terbentuknya Rollies. Seorang pemetik gitar andal sekaligus penulis lagu produktif. Meski begitu, pada 1972 namanya identik dengan “Hilangnya Seorang Gadis”, singel hit yang justru diciptakan oleh J. Sarwono, salah seorang personil Rhapsodia. Akan tetapi popularitas bandnya tak cukup memberi kebutuhan hidup. Dengan maksud mencari penghasilan ia kemudian meninggalkan band, belakangan mengganti namanya menjadi Freedom Of Rhapsodia, yang telah berjasa membesarkan namanya tersebut untuk memulai karir solo.
Uniknya, karakter lagu-lagu yang dia hasilkan merupakan titik balik dari kegarangannya di atas panggung. Dorres sangat khatam menciptakan lagu cinta yang berlarat-larat. Ia laiknya tokoh Two Faces dalam cerita Batman. Ketika muncul di atas panggung dirinya tetaplah seorang rocker seperti yang diperlihatkannya saat bergabung dengan God Bless, 1974. Tak sempat melahirkan album rekaman, setahun kemudian ia meloncat ke Giant Step, band beraliran progresif rock.
“Kalau mau melihat Dorres sebagai rocker, ya, harus di panggung,” komentar Benny Soebardja, vokalis sekaligus gitaris Giant Step.
Lalu siapa tak kenal Jelly Tobing? Drummer dengan gaya permainan explosive. Suka atau tidak, ia turut andil menaikkan posisi drummer tidak lagi sekadar penjaga beat, melainkan sosok yang mampu memberi tontonan tersendiri. Ia memulai karirnya pada usia 17 tahun sebagai drummer Otista, kemudian Arulan dan C’Blues, band Bandung yang namanya dimodifikasi dari kata seblu (dekil). Tahun 1971 ia hengkang ke Medan untuk memperkuat Minstrel’s.
Embrio kelahiran Superkid berawal dari suatu “kecelakaan”. Entah mendapat informasi dari mana, tiba-tiba saja Dorres mendengar kabar bahwa Janto Soejono bermaksud mengundurkan diri sebagai drummer Giant Step. Terdorong untuk mencarikan peggantinya, diam-diam Ia meminta pertolongan Denny Sabri agar menghubungi Jelly Tobing.
Pada hari yang telah ditentukan mereka berangkat menjemput Jelly Tobing ke bandara (ketika itu) Halim Perdana Kusumah. Dalam perjalananan pulang menuju Bandung, sempet-sempetnya Dorres mengajak mampir ke nite club Copacabana untuk mencoba peruntungan. Ia dikenal hobi berjudi. Ternyata kalah terus. Sementara Jelly, yang cuma ikut-ikutan, malah menang. “Menurut Dorres, duit gue waktu itu cukup buat beli satu buah mobil,” pria bernama lengkap Mangaradja Jelly Jusuf Langitan Loemban Tobing itu mengenang. Tapi namanya uang haram, hasil judi akhirnya amblas lagi malam itu juga.
Yang membuat Jelly kecewa justru adalah kenyataan sesampainya di Bandung. Giant Step ternyata dalam keadaan kompak, bahkan sudah terikat kontrak untuk tampil di beberapa tempat. Ia bingung karena sudah menyatakan keluar dari Minstrel’s. Merasa terlanjur memberikan janji, Dorres segera menampung Jelly di rumahnya, jalan Galunggung, Bandung. Ia sendiri lantas mengundurkan sebagai pemain keyboard Giant Step. “Mungkin karena nggak enak sama gue, he-he-he-!”
Denny Sabri memandang unsur ketidaksengajaan ini malah sebagai peluang bisnis. Mengetahui keduanya lontang-lantung, ia segera mempertemukan mereka dengan Stanzah yang baru saja ditendang oleh Rollies. Tiga rocker yang masing-masing telah memiliki nama tentu akan menjanjikan tambang emas jika berhasil dipersatukan. Pada 1976, Superkid pun terbentuk. Denny Sabri tentu bertindak sebagai manajer.
Benar saja, dalam waktu relatif singkat nama band yang bermarkas di jalan Martadinata 70, Bandung, ini meroket. Melalui majalah Aktuil dimana ia turut merintis, Denny terus-menerus memberitakan artisnya dengan pencitraan sebagai band yang tidak takut tampil di mana pun, sehingga lambat laun publik pun menjadi penasaran. Mereka umumnya ingin tahu bagaimana penampilan trio yang personelnya terdiri para superstar tersebut. Menjelang pemunculan perdana di Aula ITB, 1975, tak kepalang tanggung Jelly diberitakan siap menggilas drummer top se-Bandung. Tak seperti Stanzah atau Dorres yang sudah mendapat tempat di hati publik rock Bandung, Jelly Tobing sepertinya harus berjuang keras untuk mendapat pengakuan kembali. Akibatnya beberapa hari sebelum pertunjukan ia mengaku tak bisa tidur. “Pokoknya latihan dan berdoa terus agar diberi kelancaran. Gue yakin Tuhan tak pernah tidur,” ceritanya.
Menurut Jelly Tobing, saat itu para drummer umumnya hanya memasang mikrofon pada jenis perangkat tertentu seperti bas atau snare. Ia lantas berpikir keras untuk tampil beda. Caranya antara lain dengan memasang mikrofon pada seluruh perangkat drumnya agar suara yang dihasilkan terdengar lebih menggelegar. Simbal dihajarnya dari arah bawah ke atas. Melalui teknik pukulan yang tak biasa ini Jelly Tobing bermain habis-habisan di hadapan penonton yang nyaris lebih dari sembilan puluh persen terdiri atas para pemusik.
Sejak itu nama Superkid identik dengan pertunjukan panggung yang selalu gegap gempita. Pernah ketika membuat atraksi penghancuran gitar Dorres, yang pada dasarnya bukan seorang “destroyer yang baik”, nampak ragu-ragu. Melihat temannya bertindak tanggung, Jelly segera merebut gitar tersebut dan menghancurkannya hingga berantakan. Begitulah. Penonton selalu mendapat kepuasan setiap kali Superkid muncul. Permintaan tampil pun mengalir. Nyaris tak ada waktu untuk beristirahat. Harus diakui bahwa mempersatukan ketiga superstar dalam sebuah format trio adalah tindakan jitu yang pernah dilakukan Denny Sabri. Superkid laksana bayi perkasa yang cepat menanjak dewasa.
Namun sukses tersebut rupanya berbanding lurus dengan potensi masalah di dalamnya. Stanzah seperti biasa tenggelam dengan narkoba yang menciptakan kebiasaan muncul di tempat latihan atau gedung pertunjukan dalam keadaan teler. Tidak jarang ia tiba-tiba menghilang tanpa kabar. Dorres, yang tetap menjalankan profesi sebagai pemandu bakat, bermasalah dengan kebiasaan judi dan kawin cerai, hal yang juga dialami Jelly Tobing.
Di tengah situasi seperti itulah mereka memasuki studio rekaman. Nampaknya ini semacam pembuktian bahwa mereka bukan sekadar macan panggung. Maklum, media cetak di luar Aktuil mulai mengeritik Superkid semata-mata hanya mengandalkan karya orang lain. Repertoar mereka saat itu memang selalu berputar pada lagu-lagu hit Rolling Stones, Led Zeppelin, Deep Purple atau Styx. Namun tekad membuat rekaman ini tidak disertai perencanaan matang laiknya sebuah band tengah menyiapkan album perdana. Terlihat dari konsep tambal sulam di dalamnya. Lagu “How”, misalnya, tidak lebih dari medley lagu-lagu asing seperti “Bohemian Rhapsody” (Queen), “Smoke On The Water”, “Honky Tonk Woman” dan “Jumping Jack Flash” (Rolling Stones). Ada pula cover version milik Elton John berjudul “Sixty Years On”. Oya, Anda tak usah berpikir bagaimana mereka melaksanakan kewajiban membayar royalti kepada para pemilik lagu karena saat itu industri musik kita tengah berada di jaman jahiliyah.
Jika kemudian terdapat karya sendiri, itu merupakan materi lama yang sebelumnya pernah dibawakan. Contohnya, “Come Back To Me”, ciptaan Stanzah semasa bergabung dengan Rollies. Dengan teknik menyanyi khas Mick Jagger, notasi lagu ini sungguh manis dan tak pernah membosankan untuk didengar hari ini. Atau “My Iggi” yang diambil dari album Rollies berjudul “Let’s Start Again”. Begitu pula dengan “Diriku Berjanji” merupakan ciptaan Jelly Tobing ketika masih menjadi drummer Minstrel’s. Lagu inilah yang kemudian paling sering diputar di radio terutama di daerah.
Album pertama Superkid berjudul Trouble Maker (Nova Records, 1976), berasal dari lagu ciptaan Dorres dan Denny Sabri yang selalu terdengar megah jika dibawakan di atas panggung. Di sini kuat sekali pengaruh “Stormbringer”nya Deep Purple. Semasa hidupnya Denny konon akrab dengan personil supergrup asal Jerman tersebut. Terlepas dari plus-minus album album yang covernya didesain cukup menarik ini, Superkid seperti memiliki peluru baru untuk melakukan serangkaian tur panjang. Bulan November 1976 bertempat di Gelora Pancasila, Surabaya, mereka kembali bertemu satu panggung dengan SAS. Promotornya kali ini adalah Log Zhelebour. Tetapi, lagi-lagi Jelly Tobing mengalami nahas. Ia tersengat aliran listrik hingga pingsan sesaat mengadakan sound check. Suasana berubah kalang kabut.
Setelah siuman, tubuhnya diletakan di dalam sebuah mobil. Log memberinya air putih hingga berbotol-botol. Seorang teman berusaha memberinya pertolongan melalui transfer tenaga dalam – konon inilah yang menyebabkan bahu kanan Jelly Tobing, bagian yang tersengat aliran listrik, retak hingga hari ini. Samar-samar didengarnya pula suara seseorang yang mengusulkan bahwa dirinya diganti saja agar pertunjukan tetap berlangsung. Maklum, tiket sudah beredar luas. Usul tidak simpatik ini seketika membuat Stanzah berang. Ia segera meninju bagian atap mobil sambil mengeluarkan makian kasar sebagai ungkapan ketidaksetujuannya. Jelly sendiri tak ingat peristiwa selanjutnya karena Log keburu melarikannya ke rumah sakit. Di sana, dokter menyarankan operasi. Drummer garang itu ketakutan setengah mati. Akhirnya setelah bersiasat dengan seorang kerabat yang ikut menunggui, malam harinya ia meloloskan diri melalui kamar mayat, dan kembali ke hotel Simpang, tempat rombongan menginap. Aparat kepolisian malam itu juga mengumumkan bahwa pertunjukan dibatalkan. Kabarnya, kecelekaan tersebut bersumber dari terlepasnya kabel ground yang menyebabkan terjadinya arus pendek.
Pernah pula ketika hendak tampil di Solo, Superkid mendapatkan panggung kosong melompong tanpa sound system. Untunglah saat itu seorang pemilik rental bernama Atjan turun tangan sehingga pertunjukan tetap berlangsung meski mengalami keterlambatan. Bagaimana hal seperti itu dialami band sekelas Superkid?
“Jaman itu yang namanya manajemen artis kan cuma istilah saja. Semua diserahkan sama Kang Denny, kami nggak pernah tahu menahu. Bagaimana sound system bisa nggak siap atau berapa dibayar sekali main, gue tahunya dari Kang Denny,” papar Jelly Tobing.
Denny Sabri sendiri mulai menambah barisan artisnya dengan menangani Giant Step dan band penemuan terbarunya, Farid Bani Adam. Ia juga menjadi pencari bakat dan berhasil mengorbitkan sejumlah penyanyi baru. Temuannya bukan sebatas penyanyi berwajah cantik seperti Nike Ardila, Lady Avisha, Nicky Astria, Cut Irna atau Tuti Gareta (harap maklum, semuanya bukan nama asli), tetapi juga pemain sinetron dan bintang film seperti Nurul Arifin dan Meriam Bellina. Kemampuannya dalam membidik talenta baru mungkin belum tertandingi hingga saat ini. Meriam Bellina, misalnya, ia temukan pertama kali saat yang bersangkutan tengah menyeberang di jalan Asia Afrika, Bandung. Dalam sekelebatan ia segera menangkap adanya bakat terpendam pada gadis yang masih berseragam sekolah itu.
“Saya tegur dia sambil memperkenalkan diri. Terus saya tawarkan kesempatan untuk terkenal. Dianya bersedia. Sederhana itu,” kisah Denny Sabri membeberkan salah satu kiatnya dalam menjaring bibit baru. Seiring kesibukannya perlahan-lahan perannya dalam Superkid mulai mengecil sebatas mengurus kontrak manggung dengan promotor. Soal manajemen secara keseluruhan diambilalih Sanny Muchsin.
Pertimbangan serba sederhana itu turut menumbuhkan situasi serba permisif. Akibat kesibukan masing-masing personilnya di luar band, disiplin pun amburadul. Mereka jarang berkumpul. Dalam pembuatan album December Break (Nova Records, 1977), Albert Warnerin dari Giant Step terpaksa dilibatkan untuk mengisi gitar karena Dorres sulit dihubungi. Bahkan menjelang album ketiga, Preman (Purnama Records, 1978), Dorres menghilang sama sekali. Perannya kemudian digantikan gitaris Joko Yuwono, eks Freedom Of Rhapsodia, yang juga turut menciptakan lagu. Stanzah masih muncul dan menulis lagu. Sisanya diisi ciptaan Denny Sabri (“Lelaki”) dan istri pertama Jelly, Diana Iman (“Hening”). Lucunya, pada sampul album piringan hitam Superkid tampil dengan format kuartet. Melihat ketidaknyamanan ini mau tidak mau Denny Sabri berinisiatif menonaktifkan untuk sementara.
Sulitnya mengatur pertemuan segera memunculkan peran Jelly Tobing sebagai produser album Cemburu (Pratama Record, 1983). Naik pangkat?
“Mau gimana lagi? Sebagian besar album itu gua yang ngerjain. Main gitar dan bas. Stanzah datang cuma stor lagu dan tinggal isi vokal,” kata Jelly Tobing. Yang terjadi kemudian adalah main comot pemain. Mus Mudjiono, misalnya, direkrut begitu saja ketika adik penyanyi Mus Mulyadi itu muncul untuk suatu keperluan di studio rekaman milik Prosound. Lagi, mereka tak memiliki konsep yang jelas. Kekurangan materi disumpal oleh “I Saw Her Standing There” (The Beatles) dan “It’s All Over Now” (Rolling Stones). Kalau pun harus mencari bobot kualitas, itu berarti menyebut “Korean Airlines” ciptaan Stanzah bareng dramawan Putu Wijaya yang bertema kritik sosial.
Meski penanganannya amat menguras energi, namun Superkid tetap merupakan band dengan nilai jual tinggi. Selama itu pula berbagai upaya mempersatukan mereka tetap ditempuh. Salah satunya adalah memberlakukan kontrak sendiri-sendiri untuk pengerjaan album selanjutnya, Gadis Bergelang Emas (Prosound, 1988). Akan tetapi keutuhan sudah sulit dipertahankan. Album barusan menjadi persembahan terakhir Superkid.
Dorres pernah membangun Lipstick bersama Harry Soebardja atau Keyboard bersama Rere, mantan drummer Grass Rock. Namun hasilnya tidak sedahsyat Superkid. Kesadaran sebagai penulis lagu pop mengantarkan dirinya pada babak baru kehidupannya sebagai pemandu bakat. Mulailah ia berburu sebagai tallenscouting. Yang dijaring umumnya penyanyi berwajah cantik. Ia berhasil melambungkan Nike Ardilla sebagai pop star melalui album Seberkas Sinar (Blackboard, 1990) yang terjual ratusan ribu keping. Album Bintang Kehidupan (Blackboard, 1992) kabarnya bahkan berhasil menembus hingga 2 juta keping. Inilah periode dimana Dorres memburu penghasilan. Namun jika langkahnya dalam industri rekaman tergolong cemerlang, tidak begitu halnya dengan kehidupan rumah tangganya. Ia berkali-kali kawin cerai. Salah seorang istrinya, Dagmar, adalah mantan penyanyi orbitannya.
Hal serupa juga dialami Jelly Tobing. Dari empat kali pernikahannya ia dikarunia sembilan putera. Radjasa Ikmal Tobing, drummer The Rock, adalah buah cintanya dengan Utje Anwar, penyanyi yang pernah tergabung dalam kelompok Drakhma. Sekadar mengingatkan, Utje adalah adik Ade Anwar, mantan personil The Crabs yang populer melalui hit “Hilang Permataku”.
Stanzah, sementara itu, mencoba bertahan dengan merilis beberapa album solo seperti Gadis Dalam Rock dan Play It Loud. Dengan Gito Rollies sempat rekaman duet seperti Higher & Higher sebelum kemudian mendirikan Staccato. Namun narkoba sedemikian dahsyat menjeratnya hingga terkucil dari perkembangan jaman. Di senja usianya sang legenda seolah berjalan dalam sunyi. Sesekali ia tampil sendirian dengan hanya ditemani gitar akustik, membawakan repertoar Rolling Stones.
Pada suatu hari, 16 Januari 2001, Stanzah tampil dalam sebuah acara di kafe Pasir Putih, Jakarta Selatan. Jelly Tobing yang merasa telah lama tidak bertemu menyempatkan datang sebagai penonton. Usai membawakan serangkaian lagu, ia mengajak sahabatnya itu makan malam di Hotel Hyatt. Dari salah satu ketinggian lantai hotel mewah tersebut, mereka memandang ke bawah, pada suasana kemerlip Jakarta diwaktu malam. “Sekali-kali kita berlagak jadi orang kaya, Ded,” seloroh Jelly. Pertemuan yang mengharukan.
Stanzah nampak lebih kalm dan santun. Bahkan ketika dipancing dengan minuman keras ia hanya meminta air putih. Berdua, ditemani alunan musik sayup-sayup, mereka membahas berbagai topik kehidupan. “Urang hayang hirup siga maneh (saya ingin hidup seperti kamu),” ucap Stanzah lirih. Jelly, yang kini menjadi calon legistatif PDI-P mewakili daerah pemilihan Bekasi, hanya terkekeh. Menjelang subuh kedua rocker gaek tersebut berpisah. Itulah pertemuan terakhir mereka. Pada 23 Januari 2001 Stanzah menghembuskan nafas.
Superkid mungkin tak pernah menghasilkan rekaman yang bagus. Tetapi mereka telah menjadi bagian penting sejarah panggung rock Indonesia yang berlangsung gegap gempita. Kehadirannya memberi gengsi tersendiri untuk Bandung sebagai kota yang dikenal banyak mencetak pemusik berbakat. (*)
*) Dimuat pertama kali di Majalah Rolling Stone edisi 43, November 2008